Seperti halnya semua anak yang lahir mepet era akhir Orde Baru, saya sangat berkeinginan menjadi dokter. Ya, cita-cita sejuta umat yang tak asing di telinga anak-anak TK dan SD.
Cita-cita ini, entah kenapa, terbawa hingga saya SMA — yang pastinya sudah paham lebar luas dan pahit gurih dunia cita-cita, bukan lagi seorang bocah yang hanya bermodal imajinasi semata.
Aku menulis segeluntir cita-cita menjadi dokter pada sebuah kertas kecil dengan goresan tinta hitam, kugulung dan kumasukkan gulungan kertas tersebut ke dalam sebuah botol kecil. Sebuah botol yang aku, eh kami ding.
Kami menyebutnya sebagai botol ajaib, mengapa?
Ya lihat saja, selama kurang lebih tiga tahun, kertas itu akan terus berada di dalam botol kecil yang bertuliskan cita-cita dan nama yang dikunci rapat-rapat dan akan kubuka lagi kala kegiatan proses belajar telah usai, alias lulus SMA.
Itu tak aku lakukan sendiri. Alias sama teman-teman. Hampir semua teman-temanku, melakukan perihal yang sama. Mereka menulis cita-cita pada selembar kertas, menggulungnya, dan menyimpan seperti yang aku lakukan.
Saat itu, saat semua pelajar baru SMA Sampoerna Academy Bogor (tempat saya menghabiskan masa remaja), menuliskan cita-citanya, saya memang langsung memilih dokter sebagai cita-cita pilihan. sosok putih, cantik, pintar, serta memiliki uang berlimpah ruah. Akuuu banget kan? Hmmm
Daaannnn… hal tak terduga pun terjadi. Kutemukan goresan tinta hitam pekat yang menggoncang sekujur ragaku.
Lantas, apa yang membuat aku tercengang? Apa yang aku tulis bermetamorfosis menjadi sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya.
Tiga tahun lamanya aku menghabiskan sebagian masa remaja bersama kawan-kawan dan guru-guru di SMA Sampoerna Bogor. Banyak ilmu dan pelajaran yang saya dapatkan. Baik pelajaran sekolah maupun pelajaran kehidupan. Lukisan kesan-kesan banyak yang terpigura di dinding hati kami.
Dari semua pelajaran yang saya dapatkan selama kurang lebih tiga tahun itulah, yang memicu semua pikiran saya berubah. Ada urusan yang harus saya revisi. Terutama tentang sesuatu yang harus saya raih: cita-cita.
Goresan tinta hitam dalam gulungan kertas yang saya simpan pada sebuah botol kecil tiga tahun silam, aku buka. Dan benar saja, apa yang aku baca sudah tak sama dengan apa yang pernah aku tuliskan sebelumnya.
Pembaca tahu, barangkali inilah hakikat hidup. Segalanya bisa berubah. Bahkan apa yang pernah kita yakini secara sadar, bisa dengan mudah bergeser menjadi sesuatu yang tak pernah mau kita pikirkan, alih-alih meyakininya.
Mata saya membaca sesuatu yang tak pernah saya tulis. Cita-cita yang bahkan alpa dari proposal hidup saya pada sang maha pengasih. Entah apa yang membuat mata saya tak membaca kata “dokter” melainkan kata baru yang jauh dari keinginan masa kecil saya, “guru”.
Banyak orang yang tak ingin menjadi seorang guru,bukan? Karena banyak alasan yang menghantui mereka. Seperti: tak bisa menyampaikan materi, tidak sabaran, gajinya cuman sedikit, dan alasan-alasan lain yang tentu lebih luas dari Alas Dander.
Memang, semua alasan tersebut memang benar. Bahkan saya juga membenarkannya. Profesi guru adalah profesi yang amat jauh dari konsep cita-cita ideal. Tapi, bukankah dalam hidup memang tak ada yang ideal??
Hidup ini tak ada yang ideal. Kata orang-orang pintar, yang ideal adalah rasa menerima pada apa yang diberikan Tuhan. Rasanya, kalimat itu sangat ringan dan mudah dilakukan. Tapi kenyataannya, huft sekali kan.
Menjadi guru mengantar saya belajar memahami karakter satu demi satu anak didik. Dan itu, tentu bukan perkara yang mudah dilakukan. Apalagi mengajak mereka untuk belajar. Pastinya amat sangat butuh kesabaran.
Tapi, saya percaya jika sikap sabar ini, sangat penting buat bekal kita ngajak seseorang untuk ngejalin hubungan serius ~
Memang, seringkali saya jengkel sama ulah anak-anak yang usil, jahil, tengil dan menjengkelkan. Namun kadang, mereka mampu mengobati rasa jengkel saya dengan tingkah laku yang membuat kucing ngantuk pun bisa tertawa terpingkal-pingkal.
Ini pelajaran penting bagi saya. Bukankah hidup selalu mempertemukan kita (kita??) pada perkara-perkara usil, jahil dan menjengkelkan, yang padanya kita sering hampir hilang kesabaran? Dan bermacam goda hidup itu, mampu saya temukan saat saya menjadi seorang guru.
Menjadi guru memang bukan cita-cita ideal. Bukan pula profesi yang ideal. Tapi, karena di dunia ini yang namanya ideal hanya imajinasi utopis, menjadi guru bukan lagi sekadar cita-cita atau profesi biasa. Ia adalah kehendak yang mulia. Saya sangat bangga menjadi guru.
Nabs, Selamat Hari Guru Sedunia !