Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Figur

Hikayat Toleransi dan Seni Mengalah ala Gus Dur

Ahmad Wahyu Rizkiawan by Ahmad Wahyu Rizkiawan
October 18, 2020
in Figur
Hikayat Toleransi dan Seni Mengalah ala Gus Dur
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Toleransi, dalam semesta Gus Dur adalah seni mengalah dalam konteks yang maha luas.

Seorang teman memberitahu saya dan kawan-kawan saya, bahwa dia baru saja diusir oleh oknum organisasi keagamaan tertentu, kala menggelar diba’an di mushala. Menurut teman saya itu, mushala di desanya kini tak boleh lagi digunakan untuk diba’an.

Teman itu memang tinggal di kampung sebelah. Tapi, mendengar kabar pengusiran dan perebutan mushala tersebut, saya dan kawan-kawan yang kala itu masih duduk di kelas 1 SMA, tak perlu pikir panjang untuk langsung melakukan “tindak lanjut”, atas nama solidaritas.

Kami, saya dan kawan-kawan beserta teman yang melapor kejadian tadi, ngeluruk (mendatangi) lokasi mushala yang ada di kampung sebelah tersebut. Kedatangan kami tentu bertujuan untuk tawuran atasnama ikatan emosional.

Di kepala kami kala itu, selama yang melarang diba’an dan ngusir teman kami tadi masih anak muda dan seumuran kami, tawuran adalah harga mati. Toh menang kalah bukan urusan lagi. Asal, perlakuan buruk harus dibalas.

Kami, yang kala itu berjumlah kurang dari 10 anak dan naik sepeda motor, sudah berada di sekitar mushala tujuan, untuk mencari anak muda yang memarahi dan mengusir teman saya. Tentu saja dengan api yang masing-masing tergenggam di dalam dada.

Tapi tiba-tiba, seorang sesepuh desa (mungkin Pak RT), meredam kemarahan kami. Kami diajak ngopi di warung di dekat lokasi tempat kami berniat tawuran. Mungkin beliau tahu apa yang akan kami lakukan. Sehingga daripada tawuran terjadi, beliau mengajak kami ke sebuah warung kopi.

Dan benar. Tokoh masyarakat yang rambutnya sudah beruban itu, ternyata tahu kalau kami sedang ingin ngeluruk dan mencari seseorang di tempat tersebut. Sambil mentraktir kami kopi, beliau meredam kemarahan kami, agar kami membatalkan niat tawuran, lalu kembali pulang dengan hati-hati.

Kepada kami, sesepuh desa itu bercerita tentang kisah nyata hubungan pertemanan antara dua orang pemuda beda organisasi. Yang satu pemuda NU dan satunya pemuda Muhammadiyah. Meski keduanya tak sepaham soal perkara agama, tapi keduanya bersahabat dan saling menghormati.

Dua pemuda itu, kata sesepuh desa tadi, meski merepresentasikan dua kubu ormas yang berbeda, tapi saling menghormati dan bersahabat. Bahkan saling tolong menolong saat ada pergesekan antar kedua ormas. Hingga berusia tua, dua pemuda itu masih bersahabat. Kisah persahabatan itu jadi sejenis folklore bagi warga setempat.

Yang membuat saya kaget, saya sangat mengenal dua tokoh yang diceritakan sesepuh desa tadi. Satu diantara dua tokoh itu, adalah Bapak saya. Sementara satunya lagi, seorang tokoh Muhammadiyah yang merupakan kawan Bapak. Saya kenal karena beliau sering main ke rumah.

Saya dan kawan-kawan langsung memutuskan untuk pulang. Tak jadi berniat tawuran. Kepada sesepuh desa tadi, saya pura-pura tak mengenal dua tokoh yang diceritakan tersebut, yang notabene adalah Bapak dan kawan Bapak saya. Saat itu, saya merasa sangat malu sekali kalau sampai ketahuan jika saya anak dari salah satu nama yang diceritakan tadi.

** **

Bapak orang yang hobi ziarah Wali. Tiap usai pergi ziarah makam Wali, selalu pulang membawa buku-buku tentang Waliyullah sebagai oleh-oleh. Meski bapak bukan seorang pembaca buku yang telaten, beliau selalu membelikan buku untuk dibaca saya dan adik-adik saya. Buku-buku itu disimpan di sebuah almari.

Suatu hari, waktu itu saya masih duduk di bangku SMP, saya menemukan buku tentang kisah biografi Hasan Al-Banna. Tentu saja itu mengherankan saya. Meski masih SMP, saya sudah tahu, bahwa nama tersebut bukan tokoh Ahlussunah wal Jamaah, apalagi Nahdliyyin.

Saya menyimpan keheranan itu.
Beberapa hari saya bawa dan baca-baca buku itu. Sambil tentu saja, merenungi bagaimana bisa buku itu berada di almari rumah saya.

Karena tak juga menemukan jawaban, saya pun bertanya pada Bapak, sosok yang jelas paling tahu tentang keberadaan buku itu.

“Itu hadiah dari kawan Bapak,” jawab Bapak saat saya tanya perihal buku itu, “dia seorang Muhammadiyah.” katanya.

Ternyata buku biografi Hasan Al-Banna — tokoh Ihwanul Muslimin — itu hadiah dari kawan bapak yang seorang Muhammadiyah. Bapak memang punya beberapa kawan Muhammadiyah. Saya sering ngonangi kawan-kawan Bapak itu main ke rumah.

Meski waktu itu bapak aktif di Nahdlatul Ulama, beliau bersahabat dan berhubungan baik dengan kawan-kawan beliau dari organisasi Muhammadiyah. Dan buku yang sempat mengherankan saya itu, ternyata hadiah dari kawan Muhammadiyah-nya.

Sikap dan cara berpikir bapak amat Gus Dur sekali. Beliau sangat mengidolakan Gus Dur. Nama Gus Dur sejenis dongeng yang sering beliau kisahkan saat saya dan adik-adik saya masih kecil dan belum kenal apa-apa.

Kata Bapak, Gus Dur itu orang yang selalu bersahabat dengan siapa saja. Tak hanya menyimpan buku dan kisah tentang Gus Dur, bapak juga sering menyimpan foto atau kalender bergambar Gus Dur di rumah.

Kepada saya, dulu bapak sering bercerita tentang Gus Dur. Bahkan saat membujuk saya untuk berani disunat, beliau membawa nama Gus Dur. Kata Bapak, “Gus Dur itu jadi hebat setelah beliau disunat. Kamu harus berani disunat agar bisa hebat seperti Gus Dur.” Ucapnya.

Pada 2001, saat Gus Dur dilengserkan dari tampuk kepresidenan, Bapak adalah satu di antara banyak orang yang sangat marah dan kecewa. Tapi bagi bapak, saat Gus Dur tidak jadi presiden, ada baiknya juga. Biar mudah disowani, katanya. Wqwq ~

Meski semarah apapun para pendukung Gus Dur, pasti semua akan damai dan baik-baik saja. Begitu keyakinan bapak. Sebab, Gus Dur identik berdamai. Gus Dur identik mengalah. Cara Gus Dur mengalah tanpa terlihat mengalah, kata bapak, adalah karomah Gus Dur.

“Gitu aja kok repot” adalah ucapan dan pameo populer. Tapi jarang yang tahu bahwa sesungguhnya, itu konsep-mengalah-yang-amat-dalam. Yang saking dalamnya, sampai tak jelas apakah Gus Dur marah atau tidak, saat mengucap kalimat demikian. Hal itu, menurut bapak, karena Gus Dur ikhlas.

** **

Sebelum saya lahir ke dunia, Bapak memperkenalkan saya pada para Waliyullah, salah satunya Gus Dur,  dengan cara bercerita banyak hal pada Ibuk, yang kala itu sedang hamil saya. Sementara saya, konon sudah ikut mendengar kisah itu sambil bobok santuy di dalam perut Ibuk.

Kelak ketika usia saya 5 tahun, Bapak sudah sering mengajak saya wira-wiri kesana-kemari, ngalap barokah dan menziarahi makam para Wali. Di tiap perjalanan ziarah, Bapak sering berkisah tentang KH. Hasyim Asy’ari dan Gus Dur. Tak ayal ketika dewasa, saya seperti begitu dekat dengan Gus Dur.

** **

Semasa awal Kuliah, saya mulai serius membaca buku-buku pemikiran Gus Dur. Mulai Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Tuhan Tidak Perlu Dibela; atau Kiai Nyentrik Membela Pemerintah. Dari tulisan-tulisan itu, saya tahu bahwa Gus Dur sosok yang suka mengalah.

Tuhan Tidak Perlu Dibela, adalah kumpulan esai yang paling banyak berisi pandangan-pandangan Gus Dur akan sikap toleransi, yang tidak lain sesungguhnya adalah seni mengalah. Toleransi, dalam semesta Gus Dur adalah seni mengalah dalam konteks yang luas.

Dalam esai berjudul Islam Kaset dengan Kebisingannya, misalnya. Lihatlah. Betapa Gus Dur adalah sosok yang pandai “mengalah” dan amat lihai mencari alasan untuk “mengalah”. Ini yang membuat saya terharu: keberanian untuk mengalah dan bijaksana.

Di saat “membangunkan tidur orang untuk beribadah” adalah langkah heroik nan berpahala, dengan sikap rendah hati, Gus Dur mampu mencari alasan bahwa “tidak membangunkan tidur orang untuk beribadah” pun, menjadi sesuatu yang amat heroik dan bijaksana.

Kecintaan dan kekaguman saya pada Gus Dur, bahkan terbentuk sebelum saya lahir ke dunia. Tentu melalui wasilah Bapak saya, yang juga amat mengidolakan Gus Dur.

Saya sangat mengidolakan Gus Dur, dalam hal kemampuan beliau mengalah. Kemampuan beliau menoleransi perkara-perkara yang kadang tak perlu ditoleransi. Dan di zaman penuh kompetisi yang kemrungsung ini, mengingat Gus Dur adalah mengingat kemampuan mengalah.

Tags: Abdurrahman WahidGus Dur

BERITA MENARIK LAINNYA

Jurnalektika bersama Ana, Perempuan dari Blora yang Menggurat Karya di Bojonegoro
Figur

Jurnalektika bersama Ana, Perempuan dari Blora yang Menggurat Karya di Bojonegoro

March 17, 2021
Enin Supriyanto dan Gerak Optimistis PBI Menuju Istanbul Bienal 2021 (2)
Figur

Enin Supriyanto dan Gerak Optimistis PBI Menuju Istanbul Bienal 2021 (2)

February 3, 2021
Ngluyur Bareng Jurnabis: Widodo sang Pendongeng Kehidupan
Figur

Ngluyur Bareng Jurnabis: Widodo sang Pendongeng Kehidupan

February 1, 2021

REKOMENDASI

Al-Khabiburosul dan Kegigihan Mempertahankan Budaya Sholawat (4)

Al-Khabiburosul dan Kegigihan Mempertahankan Budaya Sholawat (4)

April 16, 2021
Syifa’ul Qolbi dan Pengenalan Sholawat Sejak Dini (3)

Syifa’ul Qolbi dan Pengenalan Sholawat Sejak Dini (3)

April 15, 2021
Hadrah Al-Isro’, dari Santri Ngaji hingga Perjuangan Syiar Sholawat (2)

Hadrah Al-Isro’, dari Santri Ngaji hingga Perjuangan Syiar Sholawat (2)

April 14, 2021
Asy-Syabab Nusantara dan Perkembangan Sholawat Kontemporer di Bojonegoro (1)

Asy-Syabab Nusantara dan Perkembangan Sholawat Kontemporer di Bojonegoro (1)

April 13, 2021
Larangan Mudik, Cara Pemerintah Menyelamatkan Para Jomblo

Larangan Mudik, Cara Pemerintah Menyelamatkan Para Jomblo

April 12, 2021
Bupati Bojonegoro Gelar Pasar Murah Menjelang Ramadhan, Semoga Tidak Jadi Pasal Kerumunan

Bupati Bojonegoro Gelar Pasar Murah Menjelang Ramadhan, Semoga Tidak Jadi Pasal Kerumunan

April 11, 2021

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved