Hujan identik kenangan. Hujan menyimbolkan diri sebagai ekspresi tangis bahagia maupun kesedihan. Bahkan, rintik hujan yang membentuk pahat genangan, kerap hadirkan keistimewaan. Terutama bagi para Pluviophile: mereka yang sangat menikmati hujan.
Semua produk dari langit amat banyak nan indah. Mulai dari awan, pelangi, senja, kerlip bintang hingga hujaman hujan. Sejatinya, hujan memberikan keteduhan. Hujaman jarum air yang tidak menyakitkan. Namun, mampu menumbuhkan keasyikan tersendiri bagi penikmat hujan.
Hujan merupakan siklus alam, tanpa hujan, bumi akan kehilangan sebagian keindahannya. Maka dari itu, kamu diwajibkan bersyukur saat hujan datang. Bukan malah takut terpenjara kenangan. Meski hujan sedikit mengganggu aktivitasmu di luar ruangan, ia tetap layak dinikmati.
Hujan menjadi penghalang bagi sebagian orang. Namun hujan bukanlah penghalang bagi Pluviophile. Seribet apapun kondisi saat musim hujan — mulai dari harus pakai mantel badan hingga mantel alas kaki — Pluviophile akan tetap mendamba hujan.
Pluviophile adalah mereka yang sangat menikmati dan mengagumi hujan. Dalam istilah psikologis, Pluviophile merupakan sebutan bagi pecinta hujan. Saat hujan turun mengenai tanah. Pluviophile akan merasakan ketenangan, kedamaian, rindu yang mendalam, cinta hingga ihwal manis lainnya dalam bentuk genangan, atau kenangan.
Sebagian orang memilih untuk menghindari hujan. Baik dengan membawa payung maupun berteduh. Ini tidak berlaku bagi para Pluviophile. Pluviophile malah merasa bahagia saat hujaman hujan mengguyur tubuhnya.
Pluviophile justru lebih merasa damai ketika hujan datang. Mungkin ini waktu yang tepat untuk menikmati waktu. Sambil menyeruput kopi atau teh panas, terbelit dengan selimut di kamar. Layaknya anak senja pecinta kopi yang memandangi langit di sore hari. Hmm
Cukup dengan derasnya hujan sebagai latar suara, Pluviophile bisa mendapatkan kedamaian. Beserta memutar kembali memori kenangan yang tergenang dalam enzim mogwai dalam tubuhnya.
Sambil menghadap jendela layaknya Smart TV 4K sebesar 60 inch. Sedalam dan sejauh mata memandang fokus dengan tetes air yang turun dari genteng rumah. Juga tak melewatkan pemandangan air hujan yang jatuh ke pelataran rumah.
Ditambah dengan seekor burung mungil nan menggemaskan. Seolah dengan serunya mandi dengan shower langit. Sambil bergumam dalam hati, inilah saatnya bergembira. Atas rasa syukur karena datangnya hujaman hujan.
Saat orang lain lebih memilih berdiam dalam rumah. Bahkan mempercepat langkah kaki karena takut basah, Pluviophile justru sebaliknya. Pluviophile tidak peduli ketika harus keluar rumah. Meski di luar sedang dihujam hujan deras.
Segala kenikmatan dan kedamaian yang ditawarkan hujan, sekejap menyihir untuk segera keluar rumah. Menikmati guyuran air hujan. Hujan-hujanan bisa membuatmu lebih ceria, memutar kembali kenangan masa kecil dan sejenak melepaskan beban orang dewasa.
Jangan lupa sekalian keramas dengan shampoo sachetan. Lari-lari di sekitar komplek perumahan, dan kalau sedang khilaf, mengambil mangga muda milik tetangga. Lho lho lho, jangan lah.
Hujan momen mendengar sekaligus menyaksikan orkestra alam yang diturunkan langit. Waktunya mematikan televisi dan radio hanya untuk mendengarkan notasi nada dari hujan.
Bagi Pluviophile, hujan serupa pertunjukan orkestra. Ini bisa menghibur dan menenangkan. Bedanya, orkestra ini gratis tak berbayar atau harus membeli tiket.
Tak lupa menikmati aroma khas yang muncul setelah hujan reda. Berupa udara yang lembab dan bersih. Diakhiri dengan tawa dan senyum bahagia. Dengan berkaca pada genangan air sisa pertunjukannya.
Rabindranath Tagore, seorang penyair dari India, kerap melibatkan hujan dalam syair yang dibuatnya. Reputasi Tagore sebagai penyair diakui dunia. Baginya, hujan selalu membawa rindu akan kenangan semasa kecil.
Tagore merupakan sosok penulis Asia pertama yang mendapat anugerah Nobel Sastra (1913). Sejumlah karyanya sangat berpengaruh terhadap sejumlah penyair dan sastrawan setelahnya.
“Aku tak tahu mengapa, setiap kali aku melihat rintik hujan, aku selalu rindu masa kecilku,” tulis Tagore dalam syairnya.
Tak perlu jauh hingga Tagore, seorang Pluviophile asal Bojonegoro, Nugroho juga merasakan perihal yang sama. Hujan, bagi Nugroho memang anugerah yang sangat patut dinikmati dan disyukuri.
Lelaki 27 tahun itu bahkan punya niat membentuk Paguyuban Penikmat Hujan (PPh) dalam waktu dekat. Meski terkesan menye-menye, niat Nugroho tidak sepele. Bahkan cenderung mulia. Sebab, dari menikmati hujan, bisa mensyukuri nikmat sekaligus mengenal pencipta hujan.
Terlepas fungsi hujan sebagai pelengkap konfigurasi alam semesta, hujan juga mampu teduhkan apa yang ada di dalam hatinya. Awalnya, dia menikmati hujan demi menyembunyikan tangisan. Namun setelahnya, dia benar-benar menikmati hujan sebagai hujan itu sendiri.
“Awalnya hanya suka menangis saat hujan agar tidak kelihatan menangis. Namun lama-kelamaan, saya benar-benar menikmati hujan sebagai hujan itu sendiri,” kata Nugroho.
Kata Nugroho, tak perlu hujan-hujanan, cukup hanya mendengar tetesannya yang ritmis atau melihat rintiknya saja, ia sudah mampu memvisualisasi keteduhan. Begitulah hujan, keindahannya tiada akhir.
Nabs, buat kamu yang Pluviophile atau mau menjadi Pluviophile, silakan. Asal jangan berlebihan ya. Biar nggak pilek. Soalnya, kalau pilek itu mau apa-apa susah. Jangankan menikmati hujan. Mau menghirup udara aja susah. Hehe