Bhineka Tunggal Ika memiliki arti berbeda-beda tapi tetap satu jua. Nah, karena saat ini sedang riuh debat akan perbedaan, jangan-jangan, adagium Bhineka yang kita kenal sejak kecil itu sebatas ilusi semata.
Ngobrol soal perbedaan, selalu saja menimbulkan perdebatan. Layaknya menanti asa Bhinneka yang tak kunjung tiba. Walaupun perdebatannya segelintir, tapi jika dibiarkan saja, akan menjadi bom waktu untuk kedepannya.
Sebab sebuah perbedaan, perdebatan masih saja terus terjadi. Dari sebelum pemilu hingga kini sudah selesai. Bukannya membuahkan sebuah kesatuan.
Namun malah menimbulkan sikap saling bermusuhan. Hingga memaksakan kehendak orang lain. Bersi keras terhadap apa yang dipilihnya.
Jangankan dalam dunia nyata, bahkan saling singgung satu dengan yang lain juga terjadi dalam dunia virtual. Belum lagi bagi kamu yang punya grup WA keluarga. Dari yang sebar-sebar artikel hingga di-kick dari grup juga ada. Hanya karena sebuah perbedaan.
Sepertinya produk perbedaan sangat diminati bagi konsumen nusantara. Bahkan dengan memunculkan produk perbedaan yang kecil saja, bisa dengan cepat laris menjadi bahan obrolan. Baik dalam guyonan maupun yang nantinya memicu perdebatan.
Apa sih yang tidak diributkan dari perbedaan? Urusan beda pilihan politik ribut, urusan beda agama ribut, bahkan urusan milih bubur dan mie juga diributkan.
Sampai menghadirkan kelompok tertentu. Yakni kelompok terserah. Bukannya ini malah berlawanan dari semiotika kata Bhinneka?
Semestinya, perbedaan akan membuahkan keindahan. Kamu bisa mengkombinasikan satu perbedaan dengan yang lainnya menjadi kesatuan yang indah.
Di situlah letak seni dari perbedaan. Bukannya malah menjual perbedaan dari kulitnya saja. Yang membuahkan perdebatan berujung keributan.
Gaduh sana-sini, apa tidak malu sama tetangga? Bagaimana jika nantinya tetangga tahu kalu nusantara sedang tidak baik-baik saja? Bisa saja intrik adu domba tetangga akan berakibat buruk bagi nusantara. Akibat keributan dari sebuah perbedaan.
Kalau sudah begini, mungkinkah kita bersikap netral? Bahkan yang katanya “netral” turut meributkan perbedaan yang ada. Sepertinya kamu yang netral merasa tidak seru jika tidak turut serta dalam ribut-ribut perbedaan.
“Jika telah menyatukan Nusantara, saya (baru akan) menikmati palapa.”
Begitulah bunyi potongan sumpah yang diucapkan Gajah Mada pada upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit,1258 Saka (1336 M).
Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa pertengahan pararaton. Sumpah ini diucapkan ketika Majapahit belum menguasai nusantara sepenuhnya.
Begitu besar ambisi Majapahit untuk menyatukan nusantara. Tentu ini sesuai mandat dari Raja, bukan hanya dari sisi Gajah Mada.
Sebagai patih, Gajah Mada hanya menjalankan misi. Tujuannya untuk menyatukan perbedaan agar bersatu menjadi nusantara. Sesuai dengan mandat Raja.
Setelah sukses dengan misinya. Perlahan Majapahit gugur dengan sendirinya. Kini, utopia Bhinneka malah terjadi sebaliknya. Tujuan ingin bersatu dengan latar belakang perbedaan, kini hanya ilusi semata. Karena hadirnya perbedaan membuat perdebatan yang tak ada hentinya.
Memang susah menyatukan yang tadinya tak berpola. Dari perbedaan kecil sampai yang besar. Semua menimbulkan perdebatan. Saling mengusung setiap kelompok yang ada. Hingga akhirnya Sumpah Palapa hanya ilusi Bhinneka.
Saat ini nusantara sedang krisis moral akibat dari produk perbedaan. Jauh dari tujuan yang sebenarnya. Perbedaan justru mengantarkan ke dimensi keterasingan. Dengan menjadikan keributan sebagai transmisi menuju kehampaan.
Ada juga yang melempar gagasan dengan dalih kita sedang berkembang. Hati-hati dalam berkembang, karena sejatinya berkembang sama dengan berbunga. Sedangkan menurut sebagian orang, berbunga sama dengan riba dan akan mengundang dosa.
Sudah saatnya mengkombinasikan perbedaan. Agar Sumpah Palapa bukan lagi sebuah ilusi Bhinneka. Karena sejatinya perbedaan akan membuahkan keindahan dari keberagaman. Yang bisa menjadi satu kekuatan besar dari sebuah kesatuan.
Jadi, apa kita harus diam saja melihat keributan yang terjadi? Pilihan ada pada kita semua, bersikap netral meributkan atau megubah sudut pandang tentang perbedaan. Agar tak kehilangan lagi akan semiotika kata Bhinneka.
Mengutip novel Inferno karya Dan Brown, “Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang tetap bersikap netral pada saat krisis moral.”