Segala sesuatu yang bersifat ditinggal — entah ditinggal lulus maupun ditinggal menikah — duluan, sering membikin hati terasa mau nangis, tapi nangisnya di luar angkasa. Biar nggak kelihatan manusia.
Kamu mengawali kesadaran ketika menyadari hari itu, kamu sudah tidak bisa lagi pergi ke kampus. Selain sudah terlalu lama membolos, hari itu juga, sejumlah kawanmu diwisuda dan sudah akan memakai toga di kepalanya.
Kesadaran itu memicu proses evaporasi terjadi pada tubuhmu. Cairan tubuhmu tiba-tiba mengalami penguapan. Uap air itu naik dan berkumpul menggelapkan pandangan. Dan matamu, segera membutuhkan bumi untuk menjatuhkan hujannya. Kamu menangis.
Kamu tidak mengakui jika itu sebuah tangisan. Sebab bagimu, menangis harusnya bersuara. Dan saat itu, hanya ada air mata yang ndlewer begitu saja, tanpa suara. Sepertinya kamu jarang menangis. Atau memang asing dengan tangisanmu sendiri.
Teman-teman yang dulu menghabiskan waktu bersamamu, kini sudah menemui titik terang masing-masing. Mereka sudah lulus dari perjuangan berat menjadi seorang mahasiswa. Kamu ingin menyaksikan prosesi pelepasan mereka. Tapi, entah kenapa, terasa berat.
Kamu tak percaya jika akhirnya, kamu tak pernah mengundang ibu dan bapak untuk melihatmu menggunakan baju toga, sambil berjalan mantap membawa seperangkat map yang memastikanmu ber-label sarjana.
Tiba-tiba kamu asing dengan diktat dan buku-buku yang sebelumnya pernah kau tenteng ke mana-mana.
Kamu rasanya ingin bercerita pada tembok kamar kos, bahwa perjuangan ini terlalu sunyi dan menyakitkan. Tapi tembok kamar kos terasa kian dingin dan membuatmu ingin segera keluar dari persembunyian.
Tapi kamu tak tahu mau ke mana? Sebab semua tempat di muka bumi ini terasa seperti Gedung Wisuda.
Melalui pesan pendek, kamu ucapkan selamat pada kawan-kawanmu yang hari itu diwisuda, sekaligus meminta maaf karena tak bisa menyaksikan prosesi pelepasan mereka. Lalu, dengan keberanian seorang tentara, kamu pergi ke Terminal Bungurasih.
Kamu memutuskan untuk pulang, tapi tak tahu pulang ke mana. Sebab kamu sadar diri, kamu belum berani pulang ke rumah untuk menatap wajah ibu-bapakmu.
Di perjalanan, kamu menggembol perasaan bersalah dan segenggam pertanyaan, “selama ini kamu kemana?”
Angkutan Kota Lyn P2 dan Bus Jaya Utama menjadi tempat yang cukup hangat. Setidaknya, di dua moda transportasi itu, kamu bisa pura-pura melelapkan mata. Meski sesungguhnya, matamu tak pernah lelap secara sungguh-sungguh.
Kamu sudah sampai di kota kelahiranmu. Tapi belum juga sampai di rumah. Butuh dua hari mengendapkan kecemasan, untuk benar-benar berani pulang. Di dua hari itu, kamu hanya anjangsana-anjangsini mengunjungi tempat yang sebelumnya pernah kamu singgahi.
Akhirnya, dengan ketenangan dan kekuatan seonggok polisi tidur, kamu memberanikan diri pulang ke rumah, menemui ibu dan bapak. Kamu siap dimarahi. Siap menerima hukuman dan siap menanggung kesalahan.
Anehnya, ibu dan bapak sangat senang kamu pulang. Kamu disambut dengan hangat. Dipeluk. Dan tidak lupa, kamu cium tangan kedua orang yang telah menjadi wasilah kamu lahir di dunia itu. Mereka berdua, sangat bahagia tahu kamu pulang ke rumah.
Ibu membuatkanmu teh hangat dan menyiapkan makanan. Bapak di teras sambil mengisap rokok. Sementara kamu, di ruang tengah masih bingung menyusun dan mempersiapkan cerita untuk mereka berdua.
Ternyata, ibu dan bapak sudah tahu apa yang belum kamu ceritakan. Seperti biasa, mereka berdua kembali memaafkan kesilapanmu. Mereka sudah cukup senang ketika kamu mau pulang dan menyusun cita-cita baru di rumah.
Tapi, perkara belum selesai di sana. Di meja, ada 3 undangan pernikahan teman-temanmu. Teman-teman dekat yang dulu sering main ke rumahmu. Teman-teman yang rencananya ingin kau temui itu, justru memberi kabar akan segera melangsungkan pernikahan.
Tubuhmu kembali mengalami evaporasi. Cairan tubuhmu tiba-tiba mengalami penguapan. Uap air itu naik dan berkumpul menggelapkan pandangan. Namun tak ada hujan yang jatuh dari matamu. Hanya keringat dingin yang membasahi punggung dan dahimu.
Kamu baru sadar kalau ternyata, kamu sedang jomblo. Kamu tidak punya pacar, alih-alih punya calon pasangan untuk dikenalkan ke orang tua. Sejak saat itu juga, kamar tidurmu menjadi tempat nyaman untuk sekadar tidak pergi ke mana-mana.
Kesedihan mahasiswa yang tidak lulus kuliah, kian tebal saat melihat temannya diwisuda. Sedang kegetiran seorang jomblo, sangat terasa ketika menyaksikan temannya sudah pada menikah. Begitulah. Begitulah.
Kamu memejamkan mata, lalu membukanya kembali. Memejamkan mata, lalu membukanya kembali. Kamu merasa: terkadang hidup begitu menyedihkan. Kesedihan yang tentu dapat menguap kapan saja. Seperti saat kamu memejamkan, lalu kembali membuka mata.