Perbandingan Implementasi Adagium Hukum antara Ignorantia Facti Excusat dan Ignorantia Juris Non Excusat, dalam Konteks Hukum Positif dan Hukum Islam.
Dalam bahasa Indonesia, kita telah mengenal suatu istilah yang sering disebut dengan antonim. Antonim menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata yang berlawanan makna dengan kata lain atau biasa disebut juga dengan perlawanan kata atau lawan kata.
Misalnya, kita bisa ambil contoh seperti kata timur, lawan katanya adalah barat, yang jika kita contohkan dalam sebuah kalimat “dimana ada timur, disitu juga akan ada barat”. Contoh lain seperti kata besar, lawan katanya adalah kata kecil, yang jika kita contohkan dalam sebuah kalimat “bola itu besar dan kelereng itu kecil”, dan contoh-contoh lainnya.
Hal ini berarti bahwa selain kata, bahkan semua objek yang berlawanan tentu selalu ada bersamaan. Oleh karena itu, kita bisa memahami bahwa ketika ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa dimana terdapat pengetahuan tentu pula disitu juga akan terdapat ketidaktahuan, yang berarti lawan kata dari pengetahuan itu adalah ketidaktahuan.
Di sisi lain, terdapat konsep tentang adagium atau peribahasa yang telah kita kenal. Beberapa pandangan menyatakan bahwa kedua istilah tersebut memiliki makna yang serupa, namun ada pula yang berpendapat bahwa keduanya memiliki makna yang berbeda.
Adagium adalah istilah yang sering digunakan untuk merujuk pada ungkapan atau pepatah yang mengandung kebenaran umum, kebijaksanaan, atau prinsip moral yang diakui secara luas.
Adagium sering kali bersifat singkat, padat, dan mudah diingat. Dalam berbagai budaya dan konteks, adagium digunakan untuk memberikan nasihat, pedoman, atau pelajaran hidup. Meskipun mirip dengan peribahasa, adagium lebih sering digunakan dalam konteks filosofis, hukum, atau sastra. Contoh dari adagium misalnya, seperti: “Justice delayed is justice denied” yang berarti bahwa keadilan yang ditunda adalah keadilan yang tidak diberikan.
Contoh lain misalnya seperti “Knowledge is Power” yang berarti bahwa pengetahuan itu memberikan kekuatan atau pengaruh, dan juga seperti: “The Pen is Mightier Than The Sword” yang berarti bahwa tulisan atau kata-kata itu memiliki kekuatan yang lebih besar daripada pedang atau kekerasan fisik.
Adapun peribahasa adalah ungkapan atau kalimat yang memiliki makna khusus, yang biasanya digunakan untuk menyampaikan pesan, nasihat, atau kebijaksanaan secara tidak langsung.
Peribahasa sering kali menggunakan kiasan atau metafora dan biasanya terdiri dari kalimat yang pendek dan padat. Peribahasa adalah bagian dari budaya dan warisan suatu masyarakat dan sering kali digunakan dalam percakapan sehari-hari untuk mengekspresikan ide atau pandangan secara ringkas namun mendalam.
Contoh peribahasa di dalam Bahasa Indonesia misalnya, seperti: “Air beriak tanda tak dalam,” yang berarti orang yang banyak bicara atau berlagak biasanya tidak memiliki pengetahuan yang mendalam. Contoh lain misalnya: “Bagai air di daun talas,” yang berarti bahwa sesuatu yang tidak tetap, mudah berubah, atau tidak stabil.
Peribahasa dapat membantu menyampaikan pesan dengan cara yang lebih halus dan indah, serta sering kali digunakan untuk mengajarkan nilai-nilai moral atau etika.
Mengenai adagium atau peribahasa hukum yang berbunyi “Ignorantia Facti Excusat” dan “Ignorantia Juris Non Excusat” merupakan dua ungkapan dalam bahasa Latin yang secara harfiah memiliki makna bahwa “ketidaktahuan atas fakta dapat menjadi suatu alasan (untuk membebaskan seseorang dari tanggung jawab hukum)”, dan memiliki makna bahwa “ketidaktahuan terhadap hukum tidak menjadi alasan”.
Dalam konteks hukum positif, kedua adagium atau peribahasa ini berakar dalam hukum pidana dan hukum perdata. Adagium atau peribahasa “Ignorantia Facti Excusat” mereflesikan bahwa seseorang tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya jika ia tidak mengetahui fakta yang relevan dengan tindakan tersebut.
Adagium atau peribahasa ini juga mencerminkan keadaan dalam kasus-kasus di mana kesalahan fakta menjadi alasan untuk membebaskan seseorang dari tanggung jawab pidana, atau dengan pengertian lain bahwa jika seseorang melakukan suatu tindakan yang dianggap melanggar hukum tetapi tidak mengetahui fakta-fakta penting yang membuat tindakan tersebut ilegal, maka ketidaktahuan tersebut bisa menjadi dasar pembelaan untuk meringankan atau bahkan menghapus tanggung jawab hukum mereka.
Sebagai gambaran dan contoh dari hal tersebut, misalnya jika seseorang tidak menyadari bahwa barang yang mereka beli adalah barang curian, ketidaktahuan mereka tentang fakta tersebut dapat menjadi alasan untuk membebaskan mereka dari tuduhan penadah.
Namun, penting dicatat bahwa ini berbeda dengan adagium atau peribahasa “Ignorantia Legis Non Excusat,” yang berarti “ketidaktahuan terhadap hukum tidak menjadi alasan,” dimana seseorang tidak bisa membela diri dengan alasan tidak mengetahui bahwa suatu tindakan dilarang oleh hukum.
Prinsip ini merupakan aturan dasar dalam hukum yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat menghindari tanggung jawab atau hukuman dengan mengklaim bahwa mereka tidak tahu bahwa tindakan mereka melanggar hukum.
Selain itu, prinsip ini juga bertujuan untuk memastikan bahwa hukum dapat ditegakkan secara adil dan merata, serta untuk mendorong masyarakat untuk memahami dan mematuhi hukum.
Misalnya, jika seseorang melakukan pelanggaran lalu lintas, mereka tidak bisa mengklaim tidak tahu bahwa tindakan mereka ilegal sebagai pembelaan. Dalam praktiknya, prinsip ini menunjukkan bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum di negara atau wilayah tempat mereka berada.
Hal ini juga mencerminkan keyakinan bahwa membiarkan ketidaktahuan sebagai alasan bisa merusak sistem hukum dan membuat penegakan hukum menjadi sulit.
Ketika kita mulai mendiskusikan perbandingan tentang dua hal, topik yang dibicarakan tentunya tidak hanya mencakup perbedaan di antara kedua hal tersebut, tetapi juga membicarakan kesamaan yang dimiliki oleh keduanya.
Dalam tulisan ini akan didiskusikan secara ringan dan ringkas mengenai perbandingan kedua adagium atau peribahasa tersebut dalam konteks hukum positif dan hukum Islam. Dalam hukum positif, yang merujuk pada hukum yang diatur oleh negara, adagium atau peribahasa hukum “Ignorantia Facti Excusat” diterapkan dengan prinsip kehati-hatian atau tidak sembarangan alias sembrono atau gegabah.
Misalnya, seperti yang telah dicontohkan sebelumnya, bahwa jika seseorang membeli barang yang ternyata barang curian tetapi ia tidak mengetahui bahwa barang tersebut hasil dari pencurian yang berupa suatu bentuk kejahatan, maka ia dapat dibebaskan dari tuduhan penadahan.
Namun, pembebasan ini biasanya bergantung pada bukti bahwa ketidaktahuan tersebut memang asli dan wajar. Dalam hukum Islam, prinsip ini juga diakui, tetapi dengan pendekatan yang lebih memperhatikan niat (niyyah) dan pengetahuan seseorang.
Jika seseorang melakukan tindakan yang melanggar syariat tanpa mengetahui bahwa tindakannya tersebut terlarang, maka ia dapat dimaafkan. Namun, seperti dalam hukum positif, ketidaktahuan haruslah asli dan tidak disengaja.
Adapun mengenai adagium atau peribahasa hukum “”Ignorantia Legis Non Excusat”, dalam hukum positif secara tegas menerapkan prinsip ini. Setiap warga negara dianggap tahu akan undang-undang yang berlaku, dan ketidaktahuan atas hukum tidak dapat dijadikan alasan pembelaan.
Misalnya, seseorang yang melanggar peraturan lalu lintas tidak dapat beralasan bahwa ia tidak mengetahui peraturan tersebut. Prinsip ini penting untuk menjaga ketertiban umum dan memastikan bahwa hukum diterapkan secara konsisten.
Sedangkan dalam hukum Islam, juga menerapkan atau mengimpelentasikan adagium atau peribahasa hukum ini, meskipun dengan penekanan yang sedikit berbeda. Dalam Islam, umat muslim diharapkan mempelajari dan memahami hukum syariat.
Namun, terdapat pengecualian dalam kasus-kasus tertentu, terutama bagi mereka yang baru memeluk Islam atau tinggal di wilayah di mana ajaran Islam belum tersebar luas. Dalam situasi tersebut, ketidaktahuan mungkin dapat dianggap sebagai alasan yang valid, tetapi hanya dalam batasan tertentu.
Ketika kita coba membandingkan kedua adagium atau peribahasa ini dalam konteks hukum positif dan hukum Islam, terlihat bahwa keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu menjaga keadilan dan ketertiban.
Namun, cara pengimplementasian atau penerapannya mungkin berbeda berdasarkan konteks budaya, sosial, dan keagamaan. Hukum positif cenderung bersifat lebih absolut dalam penerapan adagium atau peribahsa hukum ini, dengan sedikit ruang untuk fleksibilitas.
Hal ini dikarenakan adanya kebutuhan untuk menjaga ketertiban umum dan konsistensi dalam penegakan hukum. Sebaliknya, hukum Islam lebih mempertimbangkan faktor-faktor seperti niat dan keadaan individu, terutama dalam hal ketidaktahuan atas hukum.
So, last but not least, adagium atau peribahsa hukum “Ignorantia Facti Excusat” dan “Ignorantia Juris Non Excusat” merupakan dua adagium atau peribahasa hukum yang esensial dalam berbagai sistem hukum, termasuk hukum positif dan hukum Islam.
Meskipun terdapat perbedaan dalam penerapan dan penekanannya, keduanya bertujuan untuk mencapai keadilan dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan konsisten. Pemahaman mendalam tentang kedua adagium atau peribahasa hukum ini membantu individu dan masyarakat untuk lebih memahami hak dan kewajiban mereka dalam sistem hukum yang berlaku.
Penulis adalah Dosen Prodi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Adab Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (UNUGIRI) Bojonegoro.