Perang, meski menggunakan bermacam alat baru, sesungguhnya adalah teknik penyelesaian masalah yang paling primitif.
Rakyat Iran berkumpul di tengah kota saat pemakaman Jenderal Besar Iran, Qasem Soleimani. Sebelumnya, Soleimani tewas pada 3 Januari 2020. Kematiannya akibat dari serangan drone tanpa awak milik Amerika Serikat. Kejadian ini meruncingkan hubungan AS-Iran. Relasai ke dua negara tersebut turut memanas.
Kabar ini memicu keriuhan warga dunia. Hingga muncul dugaan peristiwa ini sebagai awal Perang Dunia 3. Berhari-hari menjadi trending di media sosial twitter.
Selain itu, kondisi politik Indonesia juga memanas. Ini terkait soal Pulau Natuna di wilayah teritorial bagian utara Indonesia. Kedaulatan Indonesia sedang diuji China. China melakukan klaim atas Pulau Natuna yang masih berasa di zona Laut China Selatan.
Tentu saja Indonesia tidak akan menerima klaim sepihak tersebut. Upaya diplomasi akan terus diusahakan. Namun, diplomasi dianggap akan menunjukkan kelemahan Indonesia. Apakah benar demikian? Ini akan menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia.
Kabar ini turut menyedot pandangan seorang budayawan asal Semarang, Prie GS. Prie membagi pandangannya tersebut melalui akun Instagram miliknya. Menurutnya, yang disebut perang tidak seharusnya terjadi.
“Berunding itulah kekuatan sebenarnya zaman baru. Karena perang, walaupun diusung dengan peralatan baru, sebetulnya adalah teknik terprimitif dalam peradaban,” tulis Prie GS melalui caption unggahan akun Instagram (8/1/2020).
Menurutnya, perang termasuk penyelesaian masalah yang sangat primitif. Rasa takut adalah landasan dari berani berperang. Manusia terdahulu, melakukan agresi atau serangan karena rasa takut. Takut pada kemiskinan, kekalahan dan kematian.
“Takut kepada kemiskinan, kekalahan dan kematian itulah yang membuat manusia senang mengagresi. Itulah impuls lahirnya penjajahan dan pencaplokan wilayah,” tulis Prie GS.
Karena perang adalah cara yang primitif, Indonesia tidak perlu melakukannya. Masyarakat Indonesia adalah masyrakat yang beradab. Kebudayaan baru itu ditandai dengan kemampuan menghindari Zero Zum Game. Itu menjadi strageti yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi.
“Ya komitmen-komitmen kerja sama di pulau-pulau terluar Indonesia kan komitmen yang sudah cukup lama. Jadi responnya Jepang ya sangat positif dan akan diperkuat. Karena kita dan Jepang hubungannya sangat intensif,” ujar Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi dikutip dari Detiknews (10/1/2020).
Indonesia melakukan kerja sama dengan Jepang. Itu terkait penjagaan kedaulatan Indonesia mengenai wilayah laut terluar. Termasuk di Pulau Natuna.
Kartunis berkumis tebal itu menuliskan, bahwa akan budi yang harus diupayakan. Bukan asal menyatakan atau menerima peperangan. Ada cara yang lebih menggambarkan kemajuan budaya ketimbang asal berperang. Berperang bukan dengan cara militeristik, melainkan dengan perang akal budi.
Di zaman ini, berperang bukan hanya soal menang dan kalah. Lebih dari itu. Sebuah negara bersama warganya bisa hancur dan musnah. Taruhan yang cukup besar untuk alasan berperang. Sehingga pilihan berperang hanyalah berbasis pada kenekatan dan nyali.
“Maka perang yang paling harus diupayakan di zaman peradaban ini adalah perang akal budi,” lanjut Prie GS.
Banyak kisah kelam peradaban dan kemanusiaan akibat peperangan. Sejarah panjang yang tidak layak diulang. Lalu, untuk apa mewujudkan peperangan? Itu hanya untuk orang yang berani mati. Padahal, daripada berani mati, berani hidup itu lebih menantang.
Keberanian untuk bertahan hidup tidak dimiliki sembarang orang. Ketertarikan melanjutkan hidup hanya dimiliki orang yang benar-benar kuat. Untuk melanjutkan hidup, tentu membutuhkan akal budi sebagai alat utama kehiduapan. Kalau bukan itu, cukup nyali dan nekat saja untuk bisa mati. Mudah kan?
Menurut Prie, berakal berisi seluruh elemen sains dan filsafat. Sedangkan berbudi berisi seluruh moral dan tauhid. Untuk berakal saja susah, apalagi berbudi. Keduanya memang berat dilakukan. Tapi, sebagai makhluk berakal, apa yang harus dilakukan manusia? Kuncinya ada pada kedua kata tersebut.
“Dua kata kerja ini berat sekali tanggungannya tetapi itulah dua kata yang akan membuat manusia menjadi manusia,” tulis Prie GS dalam paragraf terakhir tersebut.
Lalu, mengapa harus terjadi peperangan? Peradaban dunia semakin maju. Tentu kebudayaan manusia juga harus semakin maju. Cara-cara beradab harus diutamakan. Gunakan akal dan budi untuk bekerja sama. Tidak semuanya harus dilakukan dengan cara perang militeristik.
“Rasa berani perang sebenarnya adalah rasa takut mati.” – Ki Ageng Suryo Mentaram.