“Puisi adalah notasi-notasi kasar
dari musik yang adalah keseluruhan diri kita”
~ Jalaluddin Rumi
Siapa yang masih belum kenal dengan Maulana Jalaluddin Rumi? Sebagian besar dari kita pasti sudah pernah mendengar namanya. Bahkan, mungkin membaca karya-karya yang pernah dia tulis.
Maulana Jalaluddin Rumi lahir di Kota Balkha, wilayah Khurasan. Tepat pada 30 September 1207 M dan wafat pada 17 Desember 1273 M.
Sosok bernama asli Muhammad ini hidup pada masa Persia. Dia masih keturunan dari Abu Bakar As-Siddiq melalui trah ayahnya.
Rumi merupakan tokoh besar di berbagai kalangan. Mulai dari ulama hingga sastrawan. Bahkan, dia dianggap sebagai mursyid besar para kaum sufi.
Karya-karya yang dilahirkannya pun sangat banyak dan amat dahsyat. Salah satunya adalah kitab Fihi Ma Fihi. Kitab ini salah satu dari 3 kitab Rumi yang berbentuk prosa.
Dengan bahasa sastra yang indah, kitab ini sangat menarik untuk dibaca. Terlebih bagi kita yang ingin belajar mengenali dunia spiritualitas. Selain kitab, Rumi juga terkenal dengan sajak-sajak yang mampu menggetarkan batin.
Saya termasuk penggemar karya-karya Rumi. Atau bisa dikatakan Rumi adalah bagian dari hidup saya. Sejak 2015, saya mulai belajar dan mendalami hal-hal berbau spiritualitas.
Getaran demi getaran sering saya rasakan. Begitu aneh rasanya. Api ular cakra mengalir dari kundalini, menyebar ke seluruh tubuh hingga meletup pecah di ubun-ubun.
Pecahan cakra itu pun menyirami kesadaran hingga membuat hati dan mata basah karenanya. Mata basah, kau tahu, itu artinya menangis.
Padahal, jujur saja, saya tidak begitu bisa memaknai puisi Rumi secara gamblang. Terasa romantis, membuat emosi semakin melankolis. Batin terkikis dan puingnya diterbangkan ke berbagai dimensi.
Susah sih kalau dijelaskan, Nabs. Intinya, membaca sajak dan puisi Rumi terasa begitu teduh dan nyaman. Sangat jauh berbeda dengan membaca chat dari mantan. Huft.
Suatu ketika saya menemukan buku berjudul Berlajar Hidup dari Rumi. Buku tersebut karya salah satu tokoh agama di Indonesia. Namanya Haidar Bagir. Yang saya tahu, Haidar Bagir memang tokoh agama yang mendalami ajaran tassawuf. Tassawuf, merupakan konsep ajaran kaum sufi.
“Kumenyelam ke dalam samudra
Tak kutemukan mutiara sepertimu
Kubuka ribuan botol
Hanya gelegak anggurmu
Sentuh bibirku… Ilhami hatiku.”
Itu sepenggal bait dari sajak Rumi. Menurut Haidar Bagir, bait tersebut bermakna bahwa hanya Tuhan yang mampu mengobati rindunya manusia. Rindu itu tercipta karena adanya rasa cinta yang amat mendalam. Cinta manusia yang tercipta melalui kesadaran bertuhan.
Menurut Abdul Hadi W.M. dalam pengantar buku tersebut, sosok Rumi sebagai seorang sufi memiliki keyakinan kepada Tuhan sebagai suatu yang transenden dan sekaligus imanen. Hal itu terjadi atas renungan-renungan yang mereka lakukan. Perjalanan diri yang ditempuh secara vertikal hingga mencapai makrifat.
Dari buku tersebut, saya baru merasa ngeh. Pada awalnya, saya menganggap puisi-puisi Rumi adalah puisi cinta. Ternyata memang benar. Hanya, bukan puisi cinta seperti yang kita buat ketika jatuh cinta.
Rumi tidak sedang jatuh cinta dengan lawan jenisnya. Namun, puisi Rumi adalah bahasa cinta yang representatif atas interaksi dirinya dengan Tuhan.
Menyatakan cinta memang tidak harus kepada sesama manusia atau lawan jenis saja. Seperti Rumi, segala puisi tentang cinta yang dia tulis ditujukan kepada Tuhan.
Melalui puisi, dia menyatakan cinta, sedang hidupnya lah wujuh cinta Tuhan kepada ciptaan-Nya. Begitulah para sufi berpandangan. Bahwa kesejatian hanyalah milik-Nya, termasuk cinta yang sejati. Benar-benar sejati.
Di malam sebelumnya aku bermimpi
melihat seorang syekh di pelataran rindu,
Ia menudingkan tangannya padaku dan berkata:
“Bersiap-siaplah untuk bertemu denganku.”
~ Jalaluddin Rumi
Di dalam pengantar buku Fihi Ma Fihi yang ditulis Isa Ali al-Akub, syair tersebut merupakan bait terakhir yang ditulis Rumi. Pada 5 Jumadil Tsani 627 H/1273 M, Maulana Jalaluddin Rumi berpulang kepada Tuhan, Sang Pemilik Cinta Sejati.
Berbicara mengenai Rumi, tentu dia bukan hanya seorang spiritualism atau sastrawan. Bukan saja serorang pecinta dan pujangga. Jelas bukan! Rumi lebih dari itu. Bagi saya, Maulana Jalaluddin Rumi adalah warisan Tuhan untuk manusia. Sebuah kunci dialektikal bahasa cinta untuk berinteraksi dengan Tuhan.