Soe Hok Gie merupakan tokoh pergerakan yang meninggal pada 16 Desember 1969, ketika menghirup gas beracun di puncak Semeru. Ia meninggal sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27.
“Lebih baik diasingkan daripada tunduk kepada kemunafikan”.
Kalimat tersebut merupakan kutipan yang sangat identik dengan Soe Hok Gie.
Bagi banyak orang, Soe Hok Gie selalu diidentikkan dengan tokoh pergerakan mahasiswa, gunung dan pencinta alam. Padahal, ada hal lebih besar yang layak dikenang ketika berbicara tentang Gie.
Gie tak bisa dipisahkan dari sejarah literasi Indonesia. Karyanya yang berjudul ‘Catatan Seorang Demonstran’ masih tetap abadi dan dikenang sampai saat ini.
Alumnus Fakultas Sastra Universitas Indonesia tersebut menuangkan banyak pemikirannya lewat tulisan. Gie menunjukkan bahwa budaya literasi merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan seorang mahasiswa.
Gie merupakan sosok mahasiswa yang vokal terhadap pemerintah saat itu. Ketika Indonesia dipimpin oleh Soekarno, Gie tak segan memberikan kritik.
Sebagai mahasiswa, Gie punya kemampuan menulis yang sangat baik. Tulisannya sering masuk surat kabar Indonesia seperti Kompas, Sinar Harapan dan Harian Kami.
Dan tak tanggung-tanggung, tulisan Gie yang dimuat di banyak surat kabar adalah kritik terhadap pemerintah dan tokoh-tokohnya.
Ia pernah memberikan kritik pedas terhadap koleganya sesama anggota Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Gie dengan berani mengritik anggota KAMI yang ditarik menjadi anggota parlemen oleh pemerintahan transisi yang dipimpin Soeharto.
Tak hanya aktif menulis di surat kabar, Gie juga mampu menghasilkan buku fenomenal. Buku yang berjudul ‘Catatan Seorang Demonstran’ itu berisikan catatan hariannya selama zaman pergerakan.

Buku itu sendiri diterbitkan 14 tahun setelah Gie meninggal pada 16 Desember 1969, di puncak Gunung Semeru. Buku tersebut kemudian diangkat menjadi film layar lebar berjudul “Gie” yang dibintangi oleh Nicholas Saputra.
Gie tentu bukan satu-satunya tokoh Indonesia yang dikenal lewat tulisannya. Presiden pertama Indonesia, Soekarno pernah membuat tulisan Indonesia Menggugat yang kemudian dibaca sebagai pidato di zaman Hindia Belanda.
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga sering mengisi kolom di harian Kompas. Tak melulu bicara soal politik, Gus Dur juga kerap menulis tentang sepakbola.
Budaya literasi sedikit banyak punya peran dalam perjalanan sejarah Indonesia. Tokoh-tokoh pergerakan di Tanah Air memberi bukti, bahwa pemikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan akan menjadi karya yang abadi.
Jika saja Gie tidak mati muda, Ia mungkin akan menghasilkan lebih banyak karya tulis fenomenal seperti Pramoedya Ananta Toer.
Soe Hok Gie menunjukkan bagaimana pentingnya budaya literasi bagi mahasiswa. Sebagai agen perubahan, mahasiswa memang sudah seharusnya punya kemampuan membaca dan menulis yang baik.
Jadi Nabs, jangan ragu untuk menulis yaaa. Tulisan yang kamu buat hari ini adalah monumen pribadi yang nantinya kekal abadi.