Joko Pinurbo (Jokpin) melahirkan gaya penulisan puisi yang nggak melulu serius dan mengandung kesedihan. Sebaliknya, lucu dan mengundang ketercengangan.
Efek dari membaca puisi adalah merasakan apa yang ditulis oleh penyair. Apapun yang ditulis baik itu kesedihan, kebahagiaan, atau bahkan humor sekalipun.
Di tahun 1999, dunia per-puisi-an Indonesia mendapat angin segar, sebuah gaya penulisan puisi yang sama sekali baru telah lahir, yaitu ‘Celana’ karya Joko Pinurbo (Jokpin). Kita tentu sudah tidak asing dengan Jokpin.
Laki-laki yang hari ini tepat berusia 57 tahun ini adalah satu dari sedikit penyair ternama Indonesia yang sudah banyak melahirkan karya. Di antara karyanya berjudul ‘Celana’. Karya pertama yang diterbitkan oleh IndonesiaTera.
Puisi yang beredar di masyarakat kebanyakan menggunakan tema-tema cinta yang sedih, kegetiran hidup, hingga kemarahan politik yang dituliskan dengan bahasa yang, terkadang, sama sekali tak dimengerti oleh masyarakat awam.
Sehingga menimbulkan bias penafsiran. Meski toh penafsiran adalah ranah pembaca — sebab penyair telah mati pasca puisinya dibaca. Artinya, sudah menjadi tugas pembaca dan penyair tidak boleh mencampuri.
Di dalam pikiran kita, diksi celana sungguhlah suatu diksi yang begitu sederhana untuk puisi yang, konon, dibebankan dengan nilai-nilai agung. Bukan begitu, Nabs? Namun di situlah justru keunikan dari puisi Jokpin. Puisi-puisinya akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Sejak diterbitkan buku puisi pertamanya, Jokpin konsisten dengan gaya penulisan yang naratif. Tulisan yang seolah tak menyimpan apa-apa untuk ditafsirkan maknanya.
Namun, justru di dalamnya, puisi Jokpin mengandung pemaknaan yang dalam, yang mungkin baru disadari setelah berulang kali dibacanya.
Hal yang menarik adalah ketika kita melihat puisi-puisinya yang penuh humor, Jokpin secara penampilan justru terkesan orang yang serius. Ia berwajah kalem dan selalu berpenampilan rapi. Ini kontras dengan apa yang ia tampilkan dalam puisinya.
Jokpin sendiri dikenal sebagai pribadi yang pendiam di dalam keluarganya. Untuk persoalan puisi, ia menangkap dari lingkungan. Ia sebelumnya pernah mencoba-coba menuliskan puisi seperti kebanyakan penyair, namun berkali-kali ditolak penerbit, sampai pada akhirnya, ia menemukan gaya tulisannya sendiri.
Soal humor yang ia gunakan dalam penulisan puisi, ia mengatakan bahwa ia menangkapnya dari masyarakat tempatnya tinggal, yakni di Jogja.
“Mungkin itu pun karena faktor saya yang dibesarkan dengan gaya berkomunikasi orang Yogyakarta, maka saya mengadopsi cara berkomunikasi tersebut dalam tulisan. Contohnya seperti banyak humor dan canda bahkan di tengah menghadapi situasi hidup yang sulit atau berat. Gaya rileks orang Yogya itulah yang akhirnya saya serap ke dalam puisi-puisi saya dalam bentuk narasi,” ujarnya suatu ketika.
Humor berfungsi untuk mencairkan yang keras dan melunakkan yang kaku. Dalam hidup yang dipenuhi perihal absurd, tugas kita adalah melawan dengan menjalaninya. Ketika tragedi tidak bisa dibendung, maka yang bisa dilakukan adalah memandangnya dengan humor.
Humor bisa menggugah orang untuk menjalani kehidupannya dengan lebih rileks. Hanya dengan humor tragedi bisa dinikmati, hidup bisa dijalani. Bukan begitu, Nabs?
Kalau kita membaca puisi-puisi Jokpin, kita akan menemukan bahwa puisi-puisinya bisa dipahami oleh orang awam sastra sekalipun. Itu karena ia menggunakan gaya bercerita dan memakai diksi-diksi sederhana yang bisa ditemui dalam komunikasi sehari-hari.
Namun di balik itu, jika puisi Jokpin dibaca berulang, maka orang akan sadar bahwa yang dimaksudkan bukan hanya yang tersurat. Ada pemaknaan yang lebih dalam dari apa yang nampak.