Rasa cinta kepada daerah tak bisa dianggap remeh. Ia mengendap sebagai suka cita seorang akademisi dari daerah jauh, untuk membangun kembali kota asalnya. Dan itu, sayangnya, seringkali berada di jalur sunyi dan tak terdengar.
Satu karunia yang patut disyukuri sebuah daerah, manakala punya banyak generasi yang menempuh pendidikan perguruan tinggi adalah organisasi mahasiswa daerah (Ormada). Suaranya mungkin kurang nyaring ketimbang organisasi lainnya, tapi perannya sama sekali tak bisa dipandang sebelah mata.
Dan Bojonegoro, tentu saja memiliki kumpulan organisasi tersebut. Jumlahnya tak bisa disepelekan. Ia bisa mengisi tiap-tiap kampus di luar Kota Ledre.
Saya termasuk salah seorang yang merasa beruntung bisa terlibat. Meski mungkin sangat sedikit dan jika dibanding kawan-kawan yang bekerja keras, kinerja saya tak ubahnya sebutir pasir di antara hamparan planet-planet di alam raya.
Tapi toh itu akan selalu saya syukuri seperti sebuah anugerah. Sebab setelah sekian lama berjarak dari dunia kampus dan mahasiswa, aktivitas tersebut senyatanya begitu saya rindukan.
Yang paling berharga sejatinya semangat di atas rata-rata para anggotanya. Saya tidak mengerti, sebagai contohnya, mengapa seseorang rela bermalam-malam rapat dengan kopi di gelas minuman kemasan tanpa diminta oleh pemerintah atau bahkan kampus untuk membahas Kota Ledre?
Jika tidak begitu, mari berhitung, mengapa seseorang bisa repot-repot melakukan kegiatan sosialisasi kampus di sekolah-sekolah, sedangkan bahkan kampus yang ia sosialisasikan tak juga memberi instruksi.
Tentu kita bisa berdebat sampai berbusa dalam menanggapi semangat ini. Tapi kenyataan bahwa rasa cinta kepada daerah yang terlalu tinggi, tak bisa dianggap remeh.
Ia mengendap sebagai suka cita seorang akademisi dari sebuah derah jauh, untuk membangun kembali kota asalnya. Dan itu, sayangnya, seringkali berada di jalur sunyi dan tak terdengar.
Tapi justru inilah yang menguatkan. Ketika ada salah satu Ormada asal Bojonegoro (di kampus manapun) yang membuat acara atau kegiatan, selalu saja ada perwakilan dari organisasi lainnya yang datang. Padahal untuk beranjak, banyak hal yang harus dikorbankan: dari uang, waktu, sampai agenda lainnya.
Di sisi lain, yang tak kalah membuat kita ingin menangis, kiprah mereka tidak serta merta sejalan dengan pemerintah. Berulang kali kawan-kawan yang saya tahu bilang bahwa akses kemudahan dalam menggalang program semisal bakti sosial, sosialisasi kampus, atau kegiatan lainnya berujung seret.
Imbasnya tentu besar sekali untuk sebuah kegiatan di masyarakat.
Kenyataan pahit itu memang kerap menghantui dan menyumbang rasa kecewa yang tinggi. Tapi toh, ketika kian menjauh dari dunia Ormada, rasanya ingin menangis dan tertawa bersamaan. Menangis karena memori yang begitu memukau, dan tertawa karena dalam hidup pernah mengalami fase seperti itu juga.
Sampai kapanpun, roda kehidupan Ormada rasanya akan terus berputar. Ia barangkali akan menuju babak-babak baru dalam mengembangkan daerah.
Kita perlu berbangga dengan itu semua. Karena ketika telah berada di usia yang lebih jauh, hal-hal demikian cuma bisa ditemui dalam kenangan cerita. Dan bagian buruknya: ketika mengingatnya, air mata kita akan keluar untuk waktu yang lama. Kau tahu, itu menyayat sekali.