Didi Kempot boleh tutup usia, tapi tidak untuk karya-karyanya yang mampu mempuk-puk patah hati.
Karya Didi Kempot akan tetap abadi dalam ingatan Kempoters, Sad Girls, Sad Boys, Sobat Ambyar maupun orang-orang di luaran sana yang tetap indi atau tidak mempunyai ketertarikan pada penyebutan fanatik terhadap idola.
Latar belakang imaginer terhadap pembuatan karya hendaknya mampu menggugah perasaan orang lain untuk kagum, apalagi karya dengan latar belakang yang memang itu dialami oleh diri sendiri.
Sematan God Father of Broken Heart bukan sebagai labeling semata terkait apa yang diciptakannya selalu beririsan dengan kepatah-hatian.
Untuk pengagum Didi Kempot, frasa God Father of Broken Heart lebih dari itu semua, salah satunya sebagai pengingat jejak hidup.
Telah menjadi rahasia umum jika maestro campursari yang sebelumnya menjajaki sebagai pengamen jalanan itu mempunyai kisah pelik terutama pada sisi asmara. Ia pernah jatuh cinta lalu gagal.
Nabs, pengalaman inilah yang kemudian termanifestasi pada lagu ciptaannya. Bukan hanya sekadar indah, tapi juga mempunyai ruh.
Maka tak mengherankan kalau setiap orang yang mendengarkan akan terbawa perasaan.
Secara tak sadar, air mata telah menetes dari kelopak mata, senyum-senyum, dan joget cendol dawetan.
Lagunya yang fenomenal, mayoritas sebuah cerita luka ketika mengenang masa indah bersama pasangan, misalnya Stasiun Balapan.
Pamer Bojo yang mengisahkan kisah cinta berujung pedih maupun Kangen Nickerie yang bercerita tentang kegagalan berumah tangga.
Meski begitu, jika ditelisik secara lebih jauh, lagu fenomenalnya masih menjelaskan seseorang yang cinta sekonyong-konyong koder, walau telah jelas tersakiti, pengharapan untuk mendapat balasan rasa tetap membumbung tinggi.
Sekarang pengagum Didi Kempot hanya bisa mengulang-ulang karyanya ketika rindu dengan Good Father of Broken Heart.
Sangat mustahil berharap dapat jingkrak-jingkrak pada sebuah konser, atau mbrebes mili saat Kalung Emas dimainkan sebab Tuhan lebih sayang beliau.
Ibarat tangan jadi sayap tak lagi menjadi kata puitis dalam Layang Kangen, kata itu menjelma menjadi kepastian yang menghantarkan Pak Dhe ke surganya.
Syukurlah, Pak Dhe tak meninggalkan teman menangis atau berjoget pada lirik besutannya yang bermuara kepada kisah sedih tapi masih menginginkannya.
Karya terakhir Pak Dhe yakni Wong Ra Cetho bisa menjadi self healing bagi jiwa-jiwa yang ambyar.
Berbeda dengan lagu-lagu sebelumnya, yang mengharuskan kita untuk terus optimis memperjuangkan cinta. Sebaliknya, “Wong Ra Cetho” begitu memperjelas sikap optimistis kita sebagai seseorang yang mempunyai pengharapan cinta tak berbalas.
Ini menjadi gambaran nyata bahwa mengikhlaskan lebih baik daripada bertahan.
Karya-karya sebelumnya, misalnya, menggambarkan seseorang yang sangat mendambakan pasangan, walau telah menyakiti, sanjungan demi sanjungan tetap dilayangkan kepada orang yang ditaksir.
Wong Ra Cetho mencoba membuat agar kita untuk bersedia mengikhlaskan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Lebih jauh, lagu tersebut juga bermuatan umpatan kepada orang yang memberi balasan cinta tapi pura-pura sebagai orang yang tidak jelas/wong ra cetho.
Ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, dalam urusan apapun terutama percintaan tak usah kiranya berlebihan. Praduga dalam lagu tersebut seolah ingin mengatakan berlebihan hanya akan menguras energi.
Toh apapun nasib itu sudah ada pada koridor qhodo’ dan qhodar. Tergantung bagaimana caranya kita memilih jalan untuk menjemputnya. Tapi sekali lagi tak usah berlebihan.
Setidaknya lagu terakhir Didi Kempot mampu mengingatkan saya kepada obrolan beberapa hari yang lalu bersama Bapak pemilik warung kopi.
Kita berdua membicarakan kepatah-hatian, mungkin akan sulit dipercaya bahwa pembicaraan itu memakan waktu semalam suntuk, menghabiskan tiga cangkir kopi dan dua rokok kretek tak berfilter serta dua lainnya menggunakan filter.
Sama, beliau berkata kepada saya, “Kamu ini mungkin cerdas, tapi kamu rawan. Rawan terhadap kepatah-hatian, Bapak ini jadi khawatir. Kamu itu boleh jatuh cinta, tapi mbok ya jangan terlalu sebab apa-apa yang berlebihan itu nggak baik”.
Lantas saya tak terima dan menimpalinya balik, “Lho, Pak, kalau kita gak berjuang terus kapan dapat jodohnya?”. Dengan santai beliau menjawab “Jodoh itu sudah diatur oleh Tuhan”.