Kasepuhan Padangan dikenal sebagai wilayah bertuah nan keramat. Namun, ada bukti-bukti ilmiah yang menyatakan tempat itu sebagai punjer peradaban dan pusat bertabaruk sejak periode 1350 M.
Jika pernah mendengar ada wilayah yang tak ramah pada penjajah, dan sangat dihindari para aristokrat (pejabat), itulah Kedung Pakuncen. Tempat itu, kini masuk wilayah Desa Kuncen Kecamatan Padangan Kabupaten Bojonegoro. Di tempat ini, kisah keramat jadi ingatan kolektif yang konsensus dan diriwayatkan para ulama dari zaman ke zaman.
Kedung Pakuncen adalah lokasi bersemayam para leluhur masyarakat Padangan (Kasepuhan Padangan). Tempat yang dijuluki Syaikhina Maimoen Zubair sebagai Tanah Para Wali. Tempat yang sering diziarahi Gus Dur. Dan tempat yang disebut-sebut Habib Lutfi sebagai tlatah yang disemayami 300 Wali.
Gus Dur pernah bercerita, Padangan merupakan wilayah yang dibuka dan dibabat langsung oleh Sayyid Jumadil Kubro (leluhur Wali Songo). Selain kisah lisan, riwayat ini ditulis Gus Dur dalam buku berjudul The Passing Over (1998). Dalam buku itu, Gus Dur bahkan menulis bahwa pada 1350 M, Sayyid Jumadil Kubro telah membangun masigit (masjid/pemukiman muslim) di Padangan.
Padangan semula dikenal dengan Jipang Padangan. Teritorialnya lebih luas dibanding luas wilayah administratif Kecamatan Padangan yang saat ini. Wilayah Padangan melintasi timur dan barat Bengawan Solo. Membentang dari Bukit Kedewan hingga Hutan Margomulyo.
Dalam buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro (1988) yang disusun Pemkab Bojonegoro, Padangan disebut sebagai tempat lahir Kabupaten Bojonegoro. Padangan adalah pusat administratif Pemerintah Bojonegoro pada 1677 – 1725 M, yang kala itu bernama Kabupaten Padangan. Bupati pertama hingga ketiga Bojonegoro, berada di Padangan.
Kasepuhan Padangan mungkin akan hilang dari peradaban ilmiah, andai catatan Sayyid Abdurrohman Klotok (Mbah Klotok) tak ditemukan. Untungnya, catatan bertarikh 1202 H (1788 M) itu masih ditemukan dan bisa dibaca. Beliau menulis informasi yang cukup detail tentang Kasepuhan Padangan.
Mbah Klotok ulama yang jejak intelektualitasnya terekam jelas. Beliau menulis lebih dari 50 judul kitab dan risalah. Karya tulisnya membentang dari berbagai fan keilmuan. Mulai tauhid, fiqih, tasawuf, falak, hadis, mushaf Quran 30 Juz, hingga tentu saja tarikh (sejarah) dan catatan perjalanan di atas kapal laut dalam rangka menuntut ilmu di Tanah Hijaz.

Mbah Klotok ulama intelektual yang tak menulis dongeng dan mitos. Beliau menulis informasi secara ilmiah. Ini dilakukan pada dekade akhir 1700 M. Berarti, ratusan tahun silam, Mbah Klotok sudah menulis Kasepuhan Padangan dari sudut pandang ilmiah.
Selain produktif menulis banyak kitab, Mbah Klotok ulama yang takdhim pada leluhur. Beliau sering menulis riwayat leluhurnya. Nama leluhur yang paling sering beliau tulis, adalah Pangeran Sabil ing Negara Padangan dan Pangeran Jabbar Nglirip ing Negara Tuban.
Tarikh Padangan yang ditulis Mbah Klotok pada 1778 M, dibuka dengan kalimat panjang penuh takdhim: “Punika leluhur kang sinare ing Kedung Pakuncen, kang aran Kiai Sabil”. (inilah leluhur yang disemayamkan di Kedung Pakuncen, beliau yang bernama Kiai Sabil). Mbah Klotok menyebut Kedung Pakuncen (Desa Kuncen Padangan) sebagai tempat persemayaman para leluhur (Kasepuhan).
Mbah Klotok, secara genealogi, adalah keturunan ke-4 dari Pangeran Jabbar Nglirip Tuban sekaligus keturunan ke-5 dari Pangeran Sabil Padangan. Sementara Pangeran Sabil adalah paman sekaligus ayah mertua dari Pangeran Jabbar. Tak heran jika Mbah Klotok kerap menulis keduanya dengan penuh takdhim.
Bukti Ilmiah Kasepuhan Padangan
Padangan identik tanah sepuh karena dibuka dan dibabat langsung oleh Sayyid Jumadil Kubro (leluhur Wali Songo) pada sekitar 1350 M. Ini bukan dongeng. Tapi dibuktikan dengan 3 sumber empiris sekaligus; Prasasti Canggu (1358 M), tulisan KH Abdurrohman Wahid (1998), hingga Riset Arkeologis Tim UGM (2011).
Selain itu, pada periode 1600 M, Padangan juga jadi tempat pertemuan Mbah Sabil Padangan, Mbah Sambu Lasem, dan Mbah Jabbar Nglirip Tuban. Lebih dari itu, Padangan juga terbukti secara ilmiah sebagai pusat peradaban, dengan banyaknya dzuriyah Padangan yang menyebar ke berbagai wilayah, untuk kemudian membangun peradaban-peradaban islam di tempat baru.

Di dalam lembar manuskrip di atas, Mbah Klotok menulis: “Kiai Sabil putrane sekawan sedaya. Engkang pembajeng Kiai Saban ing negara Padangan. Nuli Nyai Sambu ana ing Kauman negara Lasem. Nuli Nyai Jabbar ing Jojogan negara Tuban. Nuli Bagus Abdurrokhim ing Sendangwuluh Pedusunan Sambeng negara Jipang”.
Artinya: Kiai Sabil memiliki empat keturunan. Yang pertama Kiai Saban di Padangan. Kemudian Nyai Sambu di Kauman Lasem. Kemudian Nyai Jabbar di Jojogan Tuban. Kemudian Bagus Abdurokhim di Sendangwuluh Sambeng Jipang (Kasiman).
Ini alasan utama kenapa Padangan disebut sebagai Kasepuhan. Sebab, dzuriyah Padangan bersebaran ke berbagai daerah. Mereka membentuk Bani Saban Padangan, Bani Sambu Lasem, Bani Jabbar Nglirip, hingga Bani Abdurrokhim Sambeng. Dari Bani-Bani itu, kelak lahir kabilah-kabilah ulama pendiri pondok pesantren yang berada di sejumlah wilayah.
Genealogi dan ideologi Padangan semebyar ke berbagai lokasi dan wilayah. Khususnya Bojonegoro, Rembang, Tuban, Gresik, Nganjuk, hingga Lamongan. Bahkan pada 1788 M, Manuskrip Padangan sudah menyebut secara detail dan rinci nama-nama dzuriyah Pangeran Sabil hingga turunan yang ke-5.
Dalam lembaran lainnya, Mbah Klotok memperkokoh keterangan tentang Kasepuhan Padangan dengan tulisan yang cukup detail. Beliau menulis dua figur yang sinare (bersemayam) di Kedung Pakuncen. Dua leluhur yang sangat dihormati masyarakat Padangan waktu itu.

Di dalam lembaran ini, Mbah Klotok menulis: “Punika leluhure wong Padangan engkang dipun sareake ing Kedung Pakuncen. Wong roro. Setunggal Ketib Kasyim engkang den sareake ing kedung kang kulon. Kalih Kiai Sabil engkang den sareake ing kedung engkang wetan.”
Artinya: Inilah leluhur masyarakat Padangan yang disemayamkan di Desa Kuncen Padangan. Dua orang. Satu Ketib Kasyim yang disemayamkan di kedung sebelah barat. Dua Kiai Sabil yang disemayamkan di kedung sebelah timur.
Catatan ini ditulis Mbah Klotok saat Kasepuhan Padangan belum dipindah. Sementara makam Kasepuhan Padangan telah dipindah sebanyak 3 kali. Sehingga posisi makam yang saat ini sudah berubah. Pemindahan terakhir terjadi pada 14 Jumadil Awal 1369 H (3 Maret 1950 M). Saat pemindahan terakhir ini, dua jenazah leluhur itu masih utuh.

Dua tokoh Wali Keramat yang ditulis sebagai Ketib Kasyim dan Kiai Sabil, adalah leluhur yang sangat dihormati dan dikeramatkan di wilayah Padangan. Bahkan di era masa hidup Mbah Abdurrohman Klotok pun (1776-1877 M), kedua figur tersebut sudah masyhur sebagai ulama yang sinare (bersemayam) di Padangan.
Riwayat Mbah Sabil cukup banyak ditulis di sumber-sumber empiris. Beliau memiliki sejumlah nama. Di antaranya Pangeran Dandangkesumo, Pangeran Menak Anggrung, hingga Sayyid Sabil Abdul Halim. Manuskrip Padangan, Manuskrip Bungah Gresik, hingga Manuskrip Kedungpring Lamongan menyebut beliau sebagai ulama dari Kesultanan Pajang yang hidup pada periode 1600 M.
Data Mayor Keraton Yogyakarta dan Babad Kesultanan Banten menyebut Mbah Sabil dengan Pangeran Hario Timur, soko guru yang berada di sisi timur Bengawan Solo. Nasab Mbah Sabil tercatat secara empiris bersambung pada Sayyid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) dan Sayyid Jumadil Kubro, lewat Sultan Hadiwijaya.
Sementara Ketib Kasyim adalah khodam yang ikut berdakwah bersama Mbah Sabil. Beliau juga berasal dari Kesultanan Pajang. Ketib Kasyim merupakan katib (sekretaris) yang membantu dakwah Mbah Sabil. Manuskrip Padangan menulis, Ketib Kasyim memiliki seorang putra yang bernama Tumenggung Ngrowo. Makamnya berada di sarean Ngrowo Negara Padangan.
Terkonfirmasi Data Hindia Belanda
Keberadaan Kasepuhan Padangan, juga terkonfirmasi data yang direkam Pemerintah Hindia Belanda. Data yang tersimpan di arsip digital Leiden University Libraries itu, menyebut Kasepuhan Padangan dengan istilah pesanggrahan Mohamedaansche Graven — makam sekaligus pusat lokasi pengikut Nabi Muhammad Saw.

Peta di atas dibikin Pemerintah Hindia Belanda pada Juli 1866 M. Pada peta itu, Kasepuhan Padangan ditandai sebagai Pesanggrahan. Sebuah makam sekaligus pusat bertabaruk dan berkumpulnya masyarakat muslim. Dari peta Belanda yang dibuat sekitar 157 tahun itu, masih terlihat jelas posisi dan lokasi reruntuhan Kasepuhan Padangan.
Pusat Peradaban Islam
Kasepuhan Padangan dikenal sebagai pusat peradaban islam. Mbah Klotok di berbagai catatan menyebutnya sebagai DariNur (FiddariNur), wilayah yang berada di dalam Kota Cahaya. Istilah FiddariNur beliau tulis dengan frasa “في الدار نور” bukan “في الدار النور”. Secara kaidah gramatikal, terkesan unik. Sebab, yang tertulis adalah “نور”, bukan “النور”. Tapi, semua catatan yang menyebut kata itu, beliau tulis dengan cara demikian. Tentu ini ada sirr (rahasia) nya.
Penggunaan istilah “FiddariNur” ini bukan tanpa alasan. Pada periode 1600 M, Mbah Sabil dengan dibantu Ketib Kasyim telah mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang menjadi pusat berkumpul “Para Pesuluk Cahaya”. Sebuah tempat yang kelak dikenal masyarakat dengan nama Pesantren Menak Anggrung.
Karena berasal dari Kesultanan Pajang, Mbah Sabil dikenal sebagai seorang Menak (bangsawan). Saat beliau mendirikan pusat pendidikan, masyarakat menyebut tempat itu: “Pesantrene Mbah Menak sing Magrung-magrung” (pesantren Mbah Menak yang besar dan ramai/mewah). Dari sinilah istilah Menak Anggrung itu muncul.
Keberadaan pusat pendidikan Menak Anggrung ini, menjadi alasan utama kenapa Mbah Sabil juga dikenal dengan nama Pangeran Menak Anggrung. Pesantren Menak Anggrung menjadi representasi dari ajaran-ajaran Sunan Ampel. Sebab, selain tercatat sebagai dzuriyah Sunan Ampel, Mbah Sabil merupakan figur yang dididik dalam lingkungan Pesantren Ampel Denta.

Pada 13 Ramadhan Tahun Dal 1236 H (14 Juni 1821 M), Mbah Klotok menyelesaikan penulisan kitab Fathul Muin di wilayah yang bernama Kedung Pakuncen, tempat di mana para leluhurnya disemayamkan. Ini bukti ilmiah bahwa Kasepuhan Padangan merupakan pusat peradaban islam. Sekaligus jadi pusat bertabaruk bagi para penuntut ilmu pengetahuan.
Pusat Tabaruk dari Zaman ke Zaman
Selain kawah peradaban, Kasepuhan Padangan juga masyhur sebagai tanah bertabaruk bagi kaum pejuang. Pada periode 1600 M, ia menjadi tempat konsolidasi antara Mbah Sabil Padangan, Mbah Sambu Lasem, dan Mbah Jabbar Jojogan dalam konflik melawan Belanda dan tekanan Mataram era Sunan Amangkurat I.
Zaman Perang Jawa
Pada zaman Perang Jawa (1825-1830 M), Padangan jadi pusat tabaruk ratusan Pasukan Diponegoro. Nama Padangan bahkan ditulis Pangeran Diponegoro dalam buku Babad Diponegoro (1831-1832) sebagai “Kapadangan”. Tak hanya itu, istri Pangeran Diponegoro yang bernama RA Ratu Ratna Ningsih, juga berasal dari Padangan.
Di Padangan, Pasukan Diponegoro membentuk basis divisi yang bernama Divisi Malang Negoro. Tak heran jika banyak Pasukan Diponegoro yang hidup di Padangan. Bahkan, adik kandung Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Sihabudin Totokromo, hidup, berkeluarga, dan wafat di Padangan.
Zaman Sarekat Islam
Pada era Sarekat Islam (SI), Padangan menjadi pusat keberadaan simpatisan Sarekat Islam (SI). Di dalam buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro, disebut pada tahun 1916 M, Sarekat Islam (SI) Bojonegoro berpusat di Padangan. Buku itu menyebut, Padangan adalah kawasan paling diawasi Pemerintah Hindia Belanda, terkait keberadaan SI-nya.
Padangan memiliki banyak simpatisan SI yang militan dan kerap menebar teror pada pemerintah Hindia Belanda. Saking militannya, Pemerintah Hindia Belanda sampai mengirim Intel khusus bernama “Suparman” yang tugasnya mengintai gerak-gerik SI di Padangan.
Zaman Nahdlatul Ulama
Padangan punya peran sentral dalam berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama Bojonegoro. Pada 1930 M, KH Wahab Hazbullah sangat sering bertabaruk dan bersilaturahim pada para masyayikh Padangan kala itu. Tiap perjalanan menuju Kota Kudus dalam rangka menemui KH Asnawi Kudus, beliau selalu mampir ke Padangan terlebih dulu.
KH Wahab Hazbullah sangat ingin agar NU bisa hadir di Padangan. Itu alasan beliau selalu mampir pada para masyayikh Padangan. Tepat pada 1938 M, NU Padangan resmi didirikan. NU Padangan inilah yang kelak pada 1954 M, menjadi embrio NU Bojonegoro.
Zaman Pertempuran Surabaya
Beberapa saat setelah surat Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 keluar, Padangan jadi melting pot Laskar Hizbullah Bojonegoro. KH Muntaha alias Mbah Ho Padangan (1870-1976) tercatat sebagai Pembina Laskar Hizbullah Bojonegoro. Ini alasan Laskar dari berbagai daerah di Bojonegoro, berkumpul di Padangan.
Beberapa hari sebelum 10 November 1945, berbagai jimat dan senjata milik Laskar Hizbullah Bojonegoro dikumpulkan di Padangan untuk mendapat isian “suwuk doa”. Ada riwayat konsensus yang mengatakan, senjata Laskar Hizbullah Bojonegoro tak boleh dibawa ke medan pertempuran sebelum disepuh dan disuwuk dulu di Padangan.
Bermacam kronik historiografi di atas, jadi alasan kenapa Kasepuhan Padangan dikenal sebagai wilayah bertuah nan keramat dari zaman ke zaman. Namun, bukti-bukti ilmiah berupa manuskrip beserta ratusan kitab yang telah ditemukan, sudah cukup menyatakan bahwa Padangan pernah jadi punjer peradaban, sekaligus pusat bertabaruk dari zaman ke zaman.