Kebenaran memiliki koridor yang berbeda-beda. Karena itu, harus hati-hati agar tak terjebak pada potensi kecelakaan lalu lintas berpikir.
Falsafah tentang kebenaran selalu menjadi bahan yang hangat untuk diperdebatkan, baik dalam forum ilmiah hingga forum arisan. Kebenaran selalu bisa menjadi legitimasi sesuatu atau seseorang agar mendapatkan pengakuan. Sehingga penting sekali mendapatkan klaim kebenaran dengan cara apapun.
Kebenaran bisa menjadi hakim yang paling bijak, namun juga bisa menjadi hakim yang paling lalim apabila tidak tepat dalam penggunaannya. Seperti halnya pisau yang seharusnya digunakan untuk memotong sayur, namun kita gunakan memotong nadi.
Saya klasifikasikan kebenaran itu menjadi 3 hal penting yang menurut saya, Nabsky harus bijak dalam penggunaannya, sehingga dapat meningkatkan kapasitas diri dan tidak terlibat dalam perdebatan maupun konflik yang dapat menghilangkan nyawa dan akal sehat.
Pertama, Kebenaran Objektif. Kebenaran ini merujuk pada kebenaran alam. Kebenaran ini mengikuti kaidah alam yang tidak peduli sebagaimanapun kita mendefinisikannya, hal itu memang ada, terjadi, dan demikian. Kebenaran seperti ini diturunkan pada ilmu pengetahuan berbasis eksakta, seperti fisika, biologi, kimia, dll.
Kebenaran seperti ini tidak terikat dengan apa yang dipercaya atau sudut pandang dari pemikiran manusia. Jadi dalam hal ini alam yang berkuasa, manusia yang termasuk di dalamnya harus ikut aturan tersebut jika ingin dimudahkan selama hidupnya di dunia.
Seperti falsafah teori relativitas Einsten yang mengatakan bahwa dua pengamat yang mengukur kecepatan cahaya di posisi yang berbeda, akan mendapati waktu dan interval yang berbeda pula, namun memiliki persamaan fisika yang sama.
Sehingga dapat disimpulkan, apapun yang dirumuskan oleh manusia tentang alam, alam sudah ada dengan sendirinya. Meskipun manusia memiliki cara berpandang yang berbeda.
Kedua, Kebenaran Subjektif
Kebenaran ini berasal dari dalam pemikiran manusia. Jadi bukannya turunan dari kebenaran objektif, namun bagaimana kita (manusia) melihat sesuatu kemudian membuat falsafah kebenarannya sendiri, terlepas itu mendukung kebenaran objektif atau tidak.
Hal ini tercermin pada hukum atau tradisi yang berkembang di masyarakat. Seperti hukum mati atau seumur hidup. Di negara tertentu hukum mati sangat ditentang karena melanggar ham, di negara lain hukuman ini perlu diterapkan karena terdakwa sendiri telah melanggar hak asasi manusia lainnya.
Jadi, dalam hal ini tidak ada yang lebih benar. Tergantung dengan fungsi sosial masyarakat suatu daerah itu. Hal ini biasanya berkaitan erat dengan fungsi negara maupun agama.
Ketiga, Kebenaran Estetika
Kebenaran ini erat kaitannya dengan seni atau cara memandang keindahan individu terhadap sesuatu. Sejenak mungkin terlihat sama seperti dengan kebenaran subjektif, namun yang membedakan adalah kebenaran subjektif sifatnya konvensi atau kesepakatan, kebenaran estetika sifatnya lebih individual orangnya.
Seperti perbedaan preferensi pemilihan jodoh, jenis lukisan, genre lagu, makanan, atau mode berpakaian. Semuanya benar apabila pemilihnya merasa nyaman dengan pilihannya sendiri.
Kebenaran ini akan tercermin apa yang kita namakan sebagai tren. Tren tidak bergantung secara langsung dengan kebenaran objektif maupun subjektif, namun lebih kepada apa yang disukai oleh masyarakat saat itu pada segmen tertentu.
Tiga kebenaran tersebut memiliki keterkaitan secara tidak langsung. Oleh karena itu jangan serta merta menghubungkan ketiga kebenaran tersebut tanpa adanya penelitian dan logika yang berurutan, karena akan menyebabkan kebingungan dan menimbulkan logical fallacy di mana mana.
Definisikan dahulu di mana letak posisi kebenaran suatu argumen atau keadaan. Kemudian baru putuskan bagaimana kita harus menanggapi yang sesuai dengan koridor kebenaran itu.
Contohnya, dalam koridor objektif isu gender bersifat spektrum, namun dalam koridor subjektif (agama), gender hanya ada dua (laki laki dan perempuan). Dua fakta ini tidak bisa dikaitkan secara langsung, karena mereka memiliki koridor kebenaran yang berbeda.
Oleh karena itu kita harus hati hati agar tidak terjebak dalam argumentasi ini. Perlu urutan logika yang tepat agar tidak terjadi loncatan argumentasi yang terlalu jauh atau kecelakaan berpikir.