Bukan hanya kepada kekasih, jatuh cinta membabi-buta juga bisa terjadi pada buku. Bibliofil dan Bibliocrime contohnya. Bahkan, khusus Bibliocrime, saking cintanya, hingga melakukan tindak kejahatan.
“Saya selalu senang dengan orang-orang yang jatuh cinta. Mereka bisa melakukan nyaris apa saja, didorong oleh ketololan dan harapan.”
Kalimat Eka Kurniawan di atas tentu sangat tepat menggambarkan betapa aneh dan uniknya seseorang yang dilanda cinta. Bukan hanya cinta pada seseorang saja. Melainkan cinta pada benda mati, seperti buku.
Mencintai buku ternyata bukan perkara sederhana. Hampir sama dengan mencintai dia-yang-hanya-diam-saat-kau-tanya: maukah kau menjadi pacarku? Bedanya, mencintai buku tak butuh kesetiaan pada satu buku saja. Bisa banyak sekaligus.
Di dunia ini, ternyata ada banyak manusia yang level mencintai bukunya sudah pada taraf maqom cukup tinggi. Mereka yang bisa melakukan apa saja demi menemui buku. Mereka inilah sosok pencinta buku berlabel Bibliofil.
Carlos Maria Dominguez, dalam bukunya berjudul La Casa de Papel — yang di Indonesia diterbitkan oleh Marjin Kiri dengan judul Rumah Kertas — menjelaskan dengan heroik sekaligus dramatik bagaimana kehidupan para Bibliofil.
Bagi saya secara pribadi, Rumah Kertas adalah buku tipis dengan kekuatan sangat menghentak. Rumah Kertas adalah buku paling menawan yang pernah saya baca di sepanjang 2018. Sebab ia tidak hanya bercerita tentang buku. Tapi juga tentang pencinta buku.
Di baris pertama paragraf kedua bab 1 (bab ‘pembuka’ buku), ada kalimat berbunyi: “buku mengubah takdir hidup orang-orang”. Betapa kalimat tersebut, sangat mengundang proses permenungan yang mendalam.
Paragraf itu bercerita tentang sejumlah pencinta buku yang membangun plot kisah hidup mereka dengan buku. Dia juga mencontohkan pecinta buku yang mengalami kecelakaan saat sedang menata atau bersama buku di perpustakaannya.
Sedangkan di baris terakhir paragraf pertama bab 4 (bab ‘penutup’ buku), berbunyi sebuah kalimat: “orang rupanya juga bisa mengubah takdir buku-buku”. Tentu itu juga kalimat yang layak direnungkan.
Paragraf tersebut menjelaskan betapa di tangan manusia, banyak buku yang takdirnya berubah. Contohnya, buku yang seharusnya dibaca, justru dijadikan bantal tidur atau jadi tatakan setrika.
Sepintas, Dominguez seolah ingin menyampaikan bahwa takdir buku dan manusia memang saling berkelit-kelindan. Saling mempengaruhi satu sama lain.
Bibliofil ada dua golongan: pertama, kolektor yang bertekad mengumpulkan edisi-edisi langka. Sekalipun mereka tak pernah membuka-bukanya selain untuk melihat halamannya. Seperti orang-orang mengagumi objek yang indah, barang langka.
Kedua, para kutu buku; pelahap bacaan yang rakus. Yang sepanjang umurnya membangun koleksi perpustakaan. Pembaca buku yang mampu mengeluarkan banyak uang demi buku yang akan menyita waktu mereka berjam-jam tanpa kebutuhan lain, kecuali mempelajari dan memahaminya.
Kelit-kelindan tidak hanya terjadi pada buku dan orang-orang yang mencintai buku. Namun, ada juga orang-orang yang justru mencela dan memangsa buku. Dan mereka selalu hidup di tiap zaman.
Muhidin M. Dahlan menyebutkan, secara dialektis, di dunia buku terdapat dua golongan yang terus-menerus berseteru: pertama, para pencela dan pemangsa buku dan kedua, pemburu dan pembela buku.
Bibliofil yang bertransformasi menjadi Bibliocrime
Dalam buku The Man Who Loved Book Too Much, Alllison Hoover Bartlett menunjukkan jenis watak penggila buku secara gamblang. Barlett menceritakan tentang sosok Bibliofil yang menjadi Bibliocrime — orang yang mencintai buku hingga tahap kriminal.
John Gilkey, salah satu tokoh dalam buku ini, adalah bibliomaniac, yang juga bibliocrime. Gilkey adalah maling buku nomor satu di seantero Amerika yang terkenal licin dengan penyamaran yang sempurna.
Meskipun maling, cita-cita Gilkey sangat mulia. Ia ingin memiliki perpustakaan, punya koleksi buku-buku utama dan langka. Paling tidak seratus buku terbaik sepanjang masa menurut versi Modern Library. Sayangnya, dia miskin.
Namun, Gilkey maling yang lihai dan memiliki pola pencurian yang berbeda dengan Bibliocrime legendaris macam Stephen Carie Blumberg dan Bibliocrime sekaligus juru katalog Guglielmo Libri.
Stephen Carie Blumberg mencuri 23.600 judul buku dari 268 perpustakaan di 45 negara bagian. Curiannya setara 20 juta dollar dan dibutuhkan 3 petikemas, 879 peti besar, dan 17 kuli angkut yang bekerja selama 2 hari.

Sedangkan Guglielmo Libri (1803 – 1869), si juru katalog manuskrip sejarah yang ahli menukar buku-buku langka dengan buku-buku yang tak terlalu berharga. Libri kerap mencuri buku yang sengaja tak dimasukannya dalam katalog.
Hasil curian Libri pun mengagumkan. Jika diuangkan, diperkirakan mencapai 1,5 juta euro — untuk kurs zaman sekarang. Libri dihukum 10 tahun penjara setelah ditangkap pada 1850.
Cara curi Gilkey berbeda dari Blumberg maupun Libri. Gilkey tak beroperasi di perpustakaan serupa Libri. Tak juga memanjat pagar perpustakaan malam-malam seperti yang dilakukan Blumberg.
Gilkey hanya memalsukan kartu kredit pelanggan di toko baju tempatnya numpang kerja. Dengan kartu kredit palsu itu, ia menipu toko-toko buku langka yang bertebaran di Amerika.
Sebut saja toko-toko buku macam Kayo, Argonaut, Brick Row, Thomas Goldwasser, Black Oak Books, Jeffrey Thomas Fine and Rare Books, Robert Dagg, hingga Mo’e Books, pernah tercuri oleh Gilkey.
Pencinta Buku di Bojonegoro
Meski kecil dan belum begitu masif, geliat buku di Bojonegoro kian hidup. Salah seorang pencinta buku, Nanang Fahrudin menceritakan, sejak kuliah, dia sudah menyukai buku. Baginya, membaca dan bergelut dengan buku adalah hiburan.
Ia sering menyambangi lapak buku dan membeli setumpuk buku bekas. Saat berpindah-pindah kota karena tuntutan kerja, dia masih sering berburu buku. Selain untuk dibaca sendiri, terkadang, ia juga menjualnya secara online. Intinya, bisa berkubu buku adalah hiburan.
“Sayang, saya tak banyak waktu lagi untuk berburu sebagaimana yang saya lakukan sebelumnya,” kata dia.
Saat ini, Nanang hanya mencari buku ala kadarnya saja. Dan bahkan cenderung mencoba mengerem langkah. Namun, dia percaya, buku akan berjodoh dengan pemiliknya. Meski begitu, berburu buku masih dia lakukan dengan langkah diperpendek. Maksudnya, tidak segesit sebelumnya.
“Tetap mencari dan memburu buku, hanya ala kadarnya saja,” imbuh dia.
Bagi Nanang, mengumpulkan buku menjadi hiburan yang menyenangkan di tengah dunia yang bising oleh kebencian dan tindakan-tindakan intoleransi. Di tengah budaya sweeping buku, hiburan pecinta buku sangat sederhana.
“Apa ada lagi hiburan seorang penyuka buku, selain memburunya, menumpuknya, membacanya, dan menciumnya.” Tuturnya.
Baginya, melihat tumpukan buku selalu menghadirkan obsesi besar tentang buku. Angan-angan meninggi dan setumpuk harap bertunas setiap waktu setelah memegangi buku.
Bahkan, dia mengangankan, Bojonegoro bisa riuh oleh geliat perbukuan. Sebab, Bojonegoro identik kota yang selalu tak dilirik oleh pencinta buku. Dia ingin membuktikan bahwa Bojonegoro juga kaya akan buku. Baik pencinta buku maupun penulis buku.
Pencinta buku asal Bojonegoro lainnya, Yonathan Rahardjo mengatakan, dia mengenal beberapa kawan di Bojonegoro yang mencintai buku dan mengekspresikannya dengan berbagai cara masing-masing.
Menurutnya, ada banyak jenis pencinta buku. Mulai menjadi penerbit, pembaca, kolektor buku, penulis, peminjam gratis buku, bahkan tidur di atas buku tanpa membuka kemasan plastiknya.
“Saya mengenal beberapa kawan yang mencintai buku dengan berbagai cara masing-masing” kata sastrawan senior tersebut.
Mengingat buku bukanlah bundelan kertas kosong, kata dia, Yonathan lebih suka kepada mereka yang mencintai buku dalam arti membaca isi bukunya. Sehingga, mendapatkan sesuatu dari proses membaca.
“Terlebih membaca buku dengan aktivitas riil dan kemudian membaca buku-buku lagi yang lain,” pungkasnya.
Diposting pertamakali pada 23 April 2019