Kedungkluweh tercatat sebagai pusat dakwah islam Kota Blora periode 1800 M. Ia memiliki relasi kuat dengan Pesantren Klotok Padangan (Bojonegoro).
Nama Kedungkluweh praktis tak dikenali lagi, bahkan bagi mayoritas masyarakat Kota Blora sendiri. Padahal, Kedungkluweh tercatat empiris sebagai punjer dakwah islam pada periode 1800 M di wilayah pusat Kota Blora. Kedungkluweh, kini menjadi dua wilayah, yaitu Kelurahan Bankle dan Kedungjenar Blora.
Kedungkluweh mewarisi kedigdayaan maritim sungai Blora. Posisinya dibelah lintasan Sungai Lusi. Di kanan-kiri bantaran Sungai Lusi itulah, lokasi Kedungkluweh berada. Nama Kedungkluweh yang kini dikerdilkan menjadi sekadar “palung” sungai, dulunya adalah pusat dakwah islam.
Pada periode 1800 M, Kedungkluweh menjadi simpul yang mempertemukan titik peradaban islam Mbah Kohar Ngampel dengan Sunan Pojok (Mbah Surobahu). Berada di tengah dua peradaban itu, menjadikan posisi Kedungkluweh sebagai pemegang tongkat estafet dua peradaban islam di Kota Blora tersebut.
Kedungkluweh jadi bukti bahwa sebelum Perang Diponegoro (1825) pecah, Kota Blora sudah masyhur sisi keislamannya.
Di Kota Blora, bukti literatur tentang Kedungkluweh sebagai pusat dakwah islam sulit ditemui. Bahkan cerita tutur pun seolah tak pernah membahas statusnya sebagai pusat dakwah islam pada periode 1800 M. Meski, diakui atau tidak, jejaknya masih utuh hingga saat ini.
Data-data terkait Kedungkluweh justru tersimpan rapi di dalam Manuskrip Padangan. Status Kedungkluweh sebagai pusat dakwah islam periode 1800 M, tercatat empiris dan diabadikan pada sejumlah lembar Manuskrip Padangan (Bojonegoro) yang ditulis Mbah Abdurrohman Klotok.
Pada lembar kolofon di atas, terdapat keterangan: Hari rabu malam waktu (duha?), bulan puasa tanggal 13 tahun Dal 1236 H (14 Juni 1821 M). Pemiliknya berada di Biladi Jipang Padangan, “Kampung Pakuncen”. Kitab ditulis di Biladi Blora, “Kampung Kedungkluweh”. Wa sohibul Kitab Fath al-Muin: Wan Khaji Abdurrohman Fiddarinur.
Mbah Abdurrohman Klotok sangat rinci menulis informasi terkait sebuah kitab. Mulai dari waktu penulisan, hari, bulan, tahun, hingga lokasi penulisan. Dari informasi tersemat dalam lembaran itulah, kita tahu bahwa Kedungkluweh merupakan pusat dakwah islam.
Wajib diketahui, lembaran di atas merupakan lembar terakhir dari kitab tulisan tangan setebal 258 halaman. Dengan dimensi 35×25 cm. Ditulis pada kertas daluwang. Sampul hardcover dari kulit yang terdapat ukiran berupa guratan sulur variatif. Artinya, kitab tersebut ditulis secara amat serius dengan jangka waktu yang cukup lama.
Para mushonef atau mualif (penulis) dalam tradisi islam, tentu memiliki ritual khusus dalam menulis. Mulai memilih lokasi penulisan, mempertimbangkan kesucian badan, hingga tentu saja memilih waktu yang tepat. Artinya, butuh waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikannya.
Jika kitab tersebut diselesaikan pada 1820-1821 M, indikasinya, ia ditulis beberapa tahun sebelum waktu penyelesaian. Ini menunjukan betapa lokasi Kedungkluweh yang dicatat Mbah Abdurrohman Klotok tentu sudah memiliki status keberislaman kuat. Sebab, kitab itu mulai ditulis di tempat bernama “Kedungkluweh”.
Mbah Klotok memiliki kebiasaan menulis di sejumlah tempat. Saat berkunjung ke suatu tempat dan bepergian, beliau kerap menyempatkan menulis. Hingga banyak kitab yang beliau tulis justru saat dalam perjalanan di atas kapal laut. Dari fakta ini, membuktikan Kedungkluweh tak hanya nama lokasi. Tapi lokasi yang mungkin dipenuhi kolega atau para santri Mbah Klotok sendiri. Tentu ini terbukti.
Pada tahun yang tak berjauhan, Mbah Abdurrohman Klotok juga menulis kitab berjudul Sanusiyah (Ummul Barahin) yang dihadiahkan pada para santrinya di wilayah Blora. Kitab ini selesai ditulis pada 16 Shafar 1237 H (12 November 1821 M). Ada dua keterangan empiris yang menunjukan hubungan intelektual antara Padangan dengan Blora benar-benar terjalin.
Bagian atas lembaran terdapat tulisan:
“Khatam hadhal kitab fi yaumil ahad wa fil wakti (….). Wa fi Syahri Shafar 16 fi Sanah Jim Awal. Hadha hijratun Nabi SAW 1237 Sanah Jim Awal. Ingkang (….) Hasan Jismani fi (Jipang) Kapadangan”. Artinya: “Telah selesai kitab ini pada hari Minggu di waktu (…). Pada bulan Shafar ke 16 tahun Hijriah 1237 Jim Awal. Yang (menulis) Hasan Jismani di (Jipang) Kapadangan”.
Seperti pada kitab-kitab lainnya, Hasan Jismani adalah salah satu nama pena dari Mbah Abdurrohman Klotok. Mbah Abdurrohman Klotok punya cukup banyak nama pena. Mulai Muhammad, Abdullah, Hasan, hingga Bagas Uhais. Tergantung kitab-kitab yang beliau tulis.
Pada bagian bawah lembaran terdapat tulisan:
“Pemot (pengingat), ingkang asohbihi (memiliki) kitab punika Mas Ngabehi Surodikromo engkang putra mantu Ranayudha, engkang dados lurah menteri ing Nagari Blora. Kabil mantu dening Raden Kramadiwirya engkang putra Kiai Angga Kusumo”.
Nama-nama tokoh Blora di atas, bisa dipastikan adalah para Sentana (orang keraton) yang berada di Blora. Ini terbukti dengan kalimat: “Lurah menteri ing Nagari Blora”. Besar kemungkinan, mereka adalah para santri yang memiliki kedekatan khusus dengan Mbah Abdurrohman Klotok. Buktinya, beliau sampai memberikan sebuah Kitab Sanusiyah.
Pada periode 1800 M, masyhur para ulama memiliki barisan santri dari golongan “Sentana” atau kerabat keraton. Nama-nama seperti Mas Ngabei Surodikromo, Raden Ranayudha, Raden Kramadiwirya, hingga Raden Angga Kusumo tentu nama para “Sentana” keraton yang menjadi kolega (santri) Mbah Abdurrohman Klotok.
Dalam paradigma ilmiah, nama Mas Ngabei Surodikromo, Raden Ranayudha, Raden Kramadiwirya, hingga Raden Angga Kusumo adalah para “Sentana” yang sangat islami. Terbukti, mereka sudah “memiliki” Kitab Sanusiyah yang merupakan kitab inti dari ajaran Tauhid Islam.
Kedungkluweh yang disebut pernah menjadi pusat dakwah islam, mengindikasikan sebuah pusat dakwah para “Sentana” di Kota Blora. Mas Ngabei Surodikromo, Raden Ranayudha, Raden Kramadiwirya, hingga Raden Angga Kusumo, kemungkinan besar adalah “Para Sentana yang mendakwahkan islam” di wilayah Kota Blora.
Maka bukan sebuah kebetulan jika terdapat “Makam Sentono” yang berada di pusat lokasi Kedungkluweh. Secara tidak langsung, ini jadi petunjuk bahwa lokasi itu merupakan jejak dakwah para “Sentono” yang bernama Mas Ngabei Surodikromo, Raden Ranayudha, Raden Kramadiwirya, hingga Raden Angga Kusumo. Para figur “Sentono” yang telah memiliki “Kitab Sanusiyah” sejak 1820 Masehi.
Data-data di atas mengabarkan bahwa Kedungkluweh memang pusat dakwah islam periode 1800 M. Makam Sentono yang berada di pusat Kedungkluweh, adalah bagian dari jejak dakwahnya. Ini terbukti ilmiah dengan adanya daftar nama “Para Sentono” beserta “Kitab Sanusiyah” yang mereka dapat dari sanad Padangan.
Kedungkluweh —beserta pusat dakwah islamnya— memang hilang dari jejak sejarah Blora. Terlebih, pada 1900 M, namanya diganti Bangkle dengan kesan abangan cukup dominan. Padahal, seratus tahun sebelumnya, tepat pada periode 1800 M, Kedungkluweh pusat dakwah para Ulama Aswaja, Ulama berbudaya Jawa.
Fenomena 200 Tahun-an
Jaringan dakwah antara “Kedungkluweh” Blora dengan “Pakuncen” Padangan pada periode 1800 M, seolah mengulangi era 200 tahun sebelumnya. Pada periode 1600 M, Blora dengan Padangan juga memiliki jalur konsolidasi yang kuat. Terlebih, Mbah Abdul Kohar Ngampel Blora punya hubungan genealogis dengan Mbah Menak Anggrung Padangan.
Serupa halnya Mbah Mutamakkin Kajen, Mbah Kohar Ngampel adalah keponakan dari Mbah Menak Anggrung Padangan. Ayah dari Mbah Kohar Ngampel yang bernama Pangeran Sumohadiningrat (Pangeran Keputran), adalah saudara kandung Mbah Menak Anggrung (Pangeran Haria Timur alias Pangeran Dandangkesumo).
Artinya, poros Kedungkluweh – Padangan yang masyhur pada 1800 M, sudah terbentuk embrionya sejak 1600 M. Peradaban seolah mengalami penegasan tiap 200 tahun sekali. Di mana, maritim sungai dan fenomena kemunculan “Bajul Putih Padangan” kerap memberi isyarah akan pentingnya Sungai Lusi dan Bengawan Solo, bagi peradaban islam di Blora dan Bojonegoro.