Menulis tak hanya soal ketelatenan. Kisah Imam ash-Shonhaji adalah contoh betapa menulis tak hanya butuh sikap telaten, tapi juga keikhlasan.
Sesaat setelah merampungkan menulis kitab, Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Dawud ash-Shonhaji atau Imam Ibn Ajrum atau yang lebih populer dengan nama Syaikh ash-Shonhaji, melempar kitab itu ke laut.
Setelah melempar kitab itu ke laut, Syeikh ash-Shonhaji berujar dalam hati: “Jika memang aku tulis kitab ini dengan ikhlas karena Allah, niscaya ia tak akan basah dan rusak.” Ujar beliau. Alih-alih basah atau rusak, kitab itu kembali ke bibir pantai dalam keadaan kering dan tak ada kerusakan sedikit pun.
Dalam riwayat lain diceritakan, pasca menuntaskan karya tulis, beliau bermaksud menenggelamkan kitabnya ke dalam sungai sambil merenungi, jika kitab itu terbawa arus, berarti kitab tersebut tidak bermanfaat. Tapi jika tidak terbawa arus, ia akan punya manfaat yang besar.
Sambil meletakkan kitab tersebut ke dalam air, beliau berkata: ” Jurru Miyah! Juru Miyah! (Mengalirlah, wahai air).
Anehnya, setelah ditenggelamkan ke dalam air, kitab tersebut tetap bertahan dan tidak terbawa arus, bahkan kering tanpa basah sedikit pun. Kelak, kitab tersebut masyhur kita kenal sebagai Kitab Jurumiyah.
Ya, kitab Muqaddimah al-Jurumiyah merupakan kitab nahwu paling terkenal di kalangan santri pesantren di Nusantara. Hampir semua santri pasti pernah membaca atau mendengar namanya.
Yang patut dipelajari. Syeikh ash-Shonhaji menulis kitab bukan berharap terkenal. Beliau ikhlas menulis karena Allah dan kemanfaatan umat. Lantaran keihklasan itulah, Allah menjaga kitab Jurumiyah sampai hari ini.
Ini merupakan bukti autentik bahwa menulis tak hanya butuh ketelatenan. Tapi juga sikap ikhlas, jika berharap tulisan itu punya manfaat bagi orang lain.