Satu lagi bocah harus tumbuh dewasa, tanpa jaminan pendidikan yang memadai.
Gubuk Rumah kecil di sebelah barat Kota Industri itu terlihat redup. Awan senja berusaha mempertebal suasana melankolia sebuah keluarga.
Di balik ingar bingar slogan kota, terdapat kehidupan keluarga tunawisma yang sedang dilanda kehancuran masa depan, ketika bapak sang tulang punggung harus pergi menghadap sang Maha Kuasa.
Seorang Ibu dengan anak perempuan bernama Uus, satu-satunya yang sedang duduk di bangku Sekolah Dasar Negeri (SDN) ternama, dalam kurun waktu beberapa bulan, ia harus berhenti sekolah, karena Ibunya tidak lagi mampu menyelesaikan administrasi keuangan sekolah.
Tuhan berkehendak lain, dan tidak mengabulkan do’a Uus yang rajin beribadah dengan mengharap segala ketaatan pada Tuhan untuk bisa menikmati kebahagiaan yang dia berikan pada keluarga.
Uus kaget, ketika melihat si Bapak terjatuh dari tempat tidurnya (mbayang), dia segera menolongnya, akan tetapi nyawa bapaknya tidak terselamatkan dan harus pergi di pangkuan Uus dengan meninggalkan surat wasiat;
“Us, jadilah anak yang berbakti kepada Agama dan keluarga, dan jagalah Ibumu,” pesan bapak.
Bedug menjelang senja terdengar riang di kedua telinga Uus, si gadis mungil lucu berpakaian lusuh bercelana panjang, ketika ia sedang duduk sembari membaca buku komik bekas yang ia kumpulkan kemarin sore dari tempat sampah belakang sekolahan, sambil melihat teman-temannya pergi ke Musala untuk menimba ilmu pengetahuan.
“Us, tidak berangkat ngaji,” tanya Ibunya, sembari menjahit kemeja putih dengan jarum kecil menarik benang.
“Ngaji, Bu.” jawab Uus
“Suara bedug sudah memanggil lho, Us,” tanya Ibu
“Iya Ibu, sebentar, Uus masih membaca komik,” jawab Uus
Suara riuh tertawa lepas memasuki kedua telinga Uus dari sudut rumah balai Gubuk beratap genteng yang hampir rubuh, teman-teman se-kelasnya yang pulang sekolah lagi membicarakan dia yang tidak lagi bisa melanjutkan belajar di sekolahan, karena keluarganya tidak mampu membiayai.
Uus segera menutup komik bekas, dan memasuki kamar rumah dalam keadaan menangis, meneteskan air mata tak tertahan dengan hinaan canda menyakitkan yang didengar dari teman sebangku sekolah, bayang-bayang hinaan selalu berlabuh hingga Uus menutup telinga, tidak lagi menghiraukan suasana disekitarnya.
Ibu tidak mengerti, dikira anaknya sudah berangkat ngaji, karena pada waktu itu sang Ibu sedang memetik daun singkong di belakang rumah untuk dimasak sebagai lauk makan malam bersama anaknya sepulang ngaji.
Tiga ketukan lembut meraba pelan di pintu kamar Uus, sembari Ibu memanggil “nduk… nduk… nduk”? Sampai tiga kali panggilan, Uus juga tidak menjawab apa pun, dan sama sekali pun tidak menghiraukan panggilan Ibunya.
Sampai bedug lagi terdengar, Ibadah salat Magrib memanggil syahdu keluarga Uus, dan Ibu kembali mengetuk pintu kamar Uus, akhirnya ia keluar dengan mata yang merah, tetesan air mata masih merayap membasahi sekeliling wajah dan kedua telapak tangannya begitu basah.
“Kamu kenapa, Nduk?” tanya Ibu, sembari menyiapkan makan malam, memegang dua buah piring plastik.
“Nggak apa-apa kok Ibu.” jawab Uus
“Kalau tidak apa-apa, kenapa nangis”? Sahut Ibu.
“Nggak kok Bu, Uus tadi mau ngaji, tapi ketiduran.” Jawab Uus
“Jujur saja nduk, tidak apa-apa.” tanya Ibu
“Ya udah, kalau begitu, Uus Jujur Ibu, tadi ketika aku sedang baca komik di balik jendela Rumah, teman-teman Uus berangkat ngaji, dan membicarakan aku tentang tidak melanjutkan sekolah lagi, karena aku dilahirkan dari keluarga yang miskin”, jawab Uus
Ibu tersenyum dan terenyuh seketika, kaki dan tangan digerakkan dari depan pintu kamar menuju ruang tamu, sembari membawa dua sendok untuk makan bersama.
“Sini nduk, ikut Ibu?” Ajak Ibu pada Uus.
Uus mengikuti dari belakang Ibunya, sembari mendengarkan nasihat yang diberikan.
“Nduk, kamu adalah anak perempuan satu-satunya Ibu, yang memang sudah Ibu didik sejak kecil belajar untuk bersyukur dan menerima setiap cobaan yang ada, perlu kamu tahu nduk, tangisan pertamamu lahir di dunia, sudah lebih dari seribu kemuliaan bahagia yang Ibu rasakan selama ini.”
“Kita harus menyadari, kamu anak yang berbudi luhur dan berbakti kepada Ibu, kala mentari memberi jalan untuk kita mengais rezeki di jalanan, mengumpulkan bekas barang di tempat sampah persimpangan, itu lebih dari cukup nduk, untuk bertahan hidup dari pada meminta-minta di tengah Kota Industri yang digadang-gadang bisa mensejahterakan rakyatnya.”
“Ketika Ibu menemukan buku pelajaran sekolah bekas, aku kumpulkan untuk kamu baca dan koran-koran bekas bungkusan nasi dan rempah-rempah di tempat sampah, itu lebih dari cukup nduk, untuk kamu pakai belajar dan memetik segala ilmu pengetahuan, dengan demikian ilmu yang kamu dapatkan akan lebih banyak dibandingkan orang lain yang sekolah tinggi-tinggi hanya mengenal nilai dalam bentuk angka, apalagi ada yang membeli ijasah biar mendapatkan status sosial belaka.”
“Nduk, hidup itu sederhana dan mudah, yang sulit soal menafsirkan segala persepsi. Kehidupan adalah sementara, sebagaimana manusia yang tercipta dari sepenggal air hina dan fana dalam cerita legenda.”
“Dan keberhasilan seseorang, pada hakikatnya mencari ilmu untuk diri sendiri, menjadikan ilmu sebagai landasan moral dalam berpegang teguh atas pendirian, mencari jati diri untuk menentukan arah masa depan yang bermanfaat bagi orang disekelilingnya.”
Uus kembali tersenyum, di pangkuan Ibu, meminta maaf dan memohon do’a dengan segala hormat atas kesalahan, baik lisan maupun perilaku.
“Ingat nduk, setiap tempat adalah Guru, setiap waktu adalah Ilmu.”
Uus mengangguk sembari memahami pesan-pesan langit yang baru saja disampaikan ibunya.