Masyarakat dibingungkan informasi yang tidak relevan. Sialnya, irelevansi bahkan ditawarkan media mainstream. Nah, disela-sela itulah Citizen Jurnalisme akan tumbuh subur.
Sejumlah masalah kiwari diulas dalam Talkshow Jurnalistik Nasional bertajuk Kekacauan Media Informasi di Era Digital yang diadakan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Rythro FK Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo di gedung Fakultas Kedokteran (30/11).
Dalam acara tersebut, hadir sejumlah pakar media seperti Adib Mutaqin Asfar (Redaktur Solopos.com), Akhmad Khadafi (Redaktur Mojok.co) dan Ivan Aulia Ahsan (Redaktur Utama Tirto.id) yang mengurai masalah informasi dari perspektif masing-masing.
Adib Mutaqin Asfar yang juga Ketua Aji Solo lebih fokus pada gelagat media sosial yang teramat berdampak pada bentuk media mainstream. Mulai dari isi pemberitaan hingga judul yang kadang memicu kekecewaan —- sebab tak sesuai dengan isi.
“Media sosial memicu revolusi luar biasa (terhadap media mainstream),” kata Adib.
Adib menjelaskan, saat seorang pembaca memiliki minat atau kegemaran atau kesukaan pada sesuatu, algoritma medsos akan men-sugest apa yang dicari. Semacam disuguhi tema yang seragam. Kondisi itu memicu lahirnya fanatisme.
Karakter pembaca di era digital atau media sosial, kata Adib, berbeda dengan karakter pembaca di era kertas koran. Penyajian harus lebih cepat dan berorientasi jumlah viewer. Sialnya, banyaknya media berburu viewer berdampak pada karakter judul.
“Saat ini, judul-judul berita terkesan clickbait dan tak sesuai dengan isi,” imbuhnya.
Sementara Ahmad Khadafi, redaktur Mojok.co menjelaskan, fenomena Clickbait tentu sebuah keniscayaan di tengah perusahaan media yang fokusnya mencari viewers. Sebab, tanpa judul yang menarik, pembaca juga malas melakukan pembacaan.
Hanya, menurut dia, judul clickbait yang tak sesuai dengan isi tulisan tentu tak bisa dibenarkan. Sebab, selain memicu kekecewaan pembaca, itu juga menjadi sebuah kebohongan.
“Logika clickbait karena (perusahaan media) mencari traffic. Semua media pasti mencari clickbait, kadang istilahnya SEO.” Kata Khadafi.
Sebenarnya, kata dia, clickbait sama halnya Search Engine Optimation (SEO). Keduanya berhubungan dengan kata kunci. Bertujuan agar pembaca mudah menemukan tulisan tersebut di tengah belantara informasi.
Hampir tiap media punya cara atau mazhab yang berbeda. Ada yang membentuk brand terlebih dahulu, baru traffic. Contohnya Tirto.id dan Mojok. Ada pula yang membentuk traffic dulu baru brand. Contohnya, Tribunnews.
“Tirto dan Mojok jaga brand, traffic nomor dua. Sedang Tribunnews traffic dulu, brand nomor dua.” Ucapnya.
Perbedaan mazhab dan cara penyajian berita, juga berdampak pada segmen pembaca. Itu alasan kenapa mahasiswa lebih suka dan bangga nge-share Tirto dan Mojok, sebab ada gengsi. Tapi, masyarakat awam tentu lebih suka nge-share Tribunnews. Karena itu, semua kembali pada segmen masing-masing.
Lebih jauh Khadafi menjelaskan, sesungguhnya Mojok bukan media. Tapi lebih pada majelis ghibah online berbasis perspektif. Mojok tak memberi informasi, tapi lebih pada memberi perspektif. Sudut pandang.
Sebab, informasi yang ditulis di Mojok mayoritas sudah ditulis di media lain. Hanya, kemasan dan tawaran perspektifnya saja yang berbeda. Karena itu, masalah yang dihadapi pun berbeda.
“Kalau media mainstream mungkin lebih pada ketergesaan, sedang Mojok lebih pada ketersinggungan.” Ucap Khadafi.
Sejarah Kelahiran Citizen Jurnalisme
Redaktur utama Tirto.id, Ivan Aulia Ahsan dalam penjelasannya tentang Citizen Jurnalisme mengatakan, Citizen Jurnalisme lahir ke muka bumi karena ketidak percayaan masyarakat pada media mainstream.
“Citizen Jurnalisme lahir karena ketidakpercayaan masyarakat pada media mainstream.” Kata Ivan.
Citizen Jurnalisme, kata Ivan, pertamakali muncul saat seorang warga bernama Abraham Zapruder mampu membongkar misteri kematian Presiden Amerika, John Fitzgerald Kennedy pada 22 November 1963.
Zapruder bukan seorang jurnalis, melainkan seorang penjahit dan pegawai konveksi. Yang Zapruder lakukan kala itu, mengambil video kondisi jasad Kennedy. Dari video itu, diketahui bahwa Kennedy tak ditembak satu orang. Melainkan beberapa orang berbeda.
Padahal, di saat yang sama, hampir seluruh media Amerika memberitakan bahwa Kennedy ditembak satu orang dari satu arah. Tapi, video Zapruder menunjukkan bahwa Kennedy ditembak dari berbagai arah.
Tentu saja, Zapruder mampu membongkar misteri kematian Kennedy. Sebab, menunjukkan apa yang tak sempat dicover media mainstream. Sejak saat itu, informan alternatif berupa Citizen Jurnalisme mulai dikenal publik.
Ivan juga bercerita tentang peran Citizen Jurnalisme dalam sejumlah kejadian. Bencana Tsunami pada 2004, misalnya, kejadian itu pertamakali diketahui melalui video amatir masyarakat. Demonstrasi Hongkong juga bisa besar karena Citizen Jurnalisme.
“Peran Citizen Jurnalisme sangat masif dan berdampak,” kata Ivan.
Hanya, kata dia, kehadiran Citizen Jurnalisme juga bukan tanpa masalah. Mudahnya informasi didapat, memicu banjir Citizen Jurnalisme. Sialnya, tak semua Citizen Jurnalisme itu baik. Ada pula yang buruk: hoax.
Saat ini, kata Ivan, masyarakat dibingungkan informasi yang tidak relevan. Sialnya, irelevansi bahkan ditawarkan media mainstream. Nah, disela-sela itulah Citizen Jurnalisme akan tumbuh subur.
Citizen Jurnalisme, kata Ivan, memang akan menjadi musuh media mainstream dalam hal mencari perhatian viewer. Karena itu, ada beberapa media mainstream yang menyediakan kanal khusus Citizen Jurnalisme.