Di depan anak milenial, sesungguhnya kelucuan rezim saat ini sangat tampak. Cuma, karena mayoritas pejabat itu usianya tua-tua, jadi sungkan kalau mau ketawa. Takut su’ul adab. Wqwq ~
Dekade ini negara makin mempertontonkan ke-uwu-anya, kata anak milenial. Dimulai dari produk undang-undang Omninuslaw Cipta Kerja yang kecepatanya melebihi buroq— kendaraan Rasulullah saat Isra’ Miroj.
Disambung dengan 2 menteri yang budiman terjerat kasus korupsi beberapa hari yang lalu, dan lucunya yang dikorupsi adalah dana bantuan Covid-19, kita tahu, Covid-19 sudah banyak menelan korban jiwa, hingga drummer band ternama terpaksa mampir di jeruji besi karena soal argumennya tentang vaksin dan keselamatan bayi, sungguh ironi.
Yang berpakain rapi masuk bui menikmati segudang penderitaan rakyat, yang memperjuangkan rakyat masuk bui meski tidak berpenampilan rapi. Mending nga ngapa-ngapain asal nga masuk bui ~
Kini tanggal 9 Desember 2020 benar-benar momen yang pantas untuk jadi bahan lelucon, pasalnya di tengah kondisi krisis kesehatan dan darurat moralitas pejabat bangsa, justru pemerintah tetap menganjurkan, menggiring dan memaksa rakyat untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik di daerah masing-masing.
Pemerintah sangat gencar dalam mempromosikannya, dan tak satu pun digital branding luput dari promosi mereka.
Sangat lucu, ketika diberbagai daerah para mahasiswa dan aktivis turun ke jalan menyatakan #mositidakpercaya terhadap pemerintah yang dengan polosnya, serta tergesa-gesanya, mengesahkan Undang-undang yang dinilai tidak berpihak kepada rakyatnya.
Intimidasi dan juga kriminalisasi pun tak luput dari nasib para demonstran waktu itu, hingga Kapolri membuat surat pernyataan untuk mengamankan secara serius terhadap pelaku demonstran, sudah kayak KPK aja ya yang memberikan sinyal OTT ke calon tersangka, padahal demonstran tak satu pun berpenampilan rapi dan melemparkan senyum licik, ketika demonstrasi berlanjut.
Tidak hanya itu, Ketua Adat Kinipan yang diseret paksa oleh aparat karena melindungi hutan adatnya juga sangat epic dibuat bahan lelucon pemerintahan saat ini, dengan kaos dan celana pendek, Effendy Buhing, salah satu Ketua Adat diseret dan dijaga angkatan bersenjata, seperti hewan liar saja.
Seandainya kemaren tersangka korupsi juga diberlakukan hal yang setimpal, tidak cukup diseret, kalau perlu hukuman mati pun dirasa sangat manusiawi, sebab selama Pandemi Covid-19, banyak rakyat yang meregang nyawa, entah mati kelaparan karena di PHK atau karena Covid itu sendiri, intinya mati dibalas mati, kurang lebih seperti itu.
Nah, lelucon yang terakhir. Pesta demokrasi saat ini yang sedang berlangsung aman tentram sesuai protokol. Masyarakat dengan usia sesuai ketentuan KPU memiliki kewajiban memilih pejabat negara tapi bukan hak untuk memilih kan ya?
Bukankah ini sangat berpotensi untuk pemerintah melancarkan sebuah pembantaian besar-besaran?, maksudnya gimana?
Okey, kita coba uraikan, pertama masyarakat yang terdaftar itu rata-rata berusiakan 17 tahun ke atas, artinya ada bapak atau ibu yang berusiakan 60 tahun juga kan, nah usia ini kan rentan terpapar virus dan masyarakat yang berusiakan lebih muda berkesempatan menjadi Carrier.
Simpelnya, yang muda bawa virus yang tua terpapar virus, dan karena imun dari orang tua minim, maka tidak ada jalan lagi untuk tidak menuju kematian, sungguh ironi yang sempurna.
Kedua, dari kasus korupsi yang menimpa pejabat pemerintah, maka sudah selayaknya kita, masyarakat Indonesia yang baik dan insha allah budiman, sudah tidak percaya calon pemerintah daerah yang memberikan janji (entah manis entah pahit itu gak penting, pokokmen ga percaya).
Tidak akan mungkin kesejahteraan di daerah itu bisa berubah karena pejabatnya diganti, sedangkan sistem jaringan birokrasi masih tetap jalan.
Analoginya begini: kalau ada pertanian yang gagal panen akibat tikus, maka yang harus disingkirkan sarang tikusnya, bukan malah mengganti pupuk atau tanaman yang ditanam. Atau justru merk tikusnya yang diganti? Duh, jadi kelihatan bodoh banget nga sih.
Jadi, ke-uwu-an ini tidak bisa kita lawan secara personal, sudah sepantasnya para aktivis kampus yang berpakaian rapi ala-ala menteri calon koruptor mengkampanyekan diam di rumah dan tidak pergi ke TPS sebagai bentuk perlawanan terhadap birokrasi yang sengaja diracuni oleh oligarki bengis.
Tentu bukan bermaksud membela pasukan tukang teriak yang ada di Jakarta itu, bukan. Ini hanya akan jadi skema genosida sempurna dari penguasa dan pengusaha terhadap rakyatnya sendiri.
Toh TPS itu kan Tempat Pembuangan Sampah. Ngapain pergi ke tempat sampah kalau nggak lagi buang sampah. Iya nga sih? Hhe ~
Tahun ini, mungkin jadi tahun tabungan pelanggaran HAM terbanyak dalam sejarah indonesia. Sebab potensi yang dihabisi tidak lagi Wiji Thukul atau Munir saja, tapi masyarakat umum dan bisa jadi saya sendiri.
Tuban, 09 Desember 2020