Mereka yang pernah berorganisasi, pasti pernah terbersit keinginan untuk menjadi Agent of Change. Meski kenyataannya, tak sedikit yang justru terjerumus jadi agen elpiji.
Menjadi distributor maupun agen perubahan — dalam berbagai macam konteksnya — tentu cita-cita mulia, cita-cita khas mahasiswa semester awal yang sekaligus menandai keberadaan idealisme tertanam dalam tubuh.
Tapi, entah disadari atau tidak, menjadi agen perubahan adalah cita-cita utopis, terlebih bagi mereka yang punya pengalaman mengalami kegagalan. Jangankan membikin perubahan, mengubah hati si dia aja gedandapan.
Punya cita-cita jadi Agent of Change memang penting. Dan harus pernah dimiliki setiap jiwa yang hidup. Tapi, jika kelak tak mampu merealisasikan cita-cita itu, atau bahkan tak mampu membikin perubahan apa-apa, tak boleh terlampau kecewa.
Sebab sesungguhnya, kita memang tak akan pernah bisa mengubah apa-apa.
Kita tak bisa mengubah dunia. Tak bisa mengubah negara. Tak bisa mengubah kota. Tak bisa mengubah desa. Dan bahkan tak bisa mengubah keluarga. Kita hanya bisa membuat perubahan pada diri sendiri.
Saat membuat perubahan pada diri sendiri, keluarga dan lingkungan akan memberi respon yang berbeda terhadap kita. Maka terjadilah perubahan dalam jaringan di mana kita terlibat di dalamnya. Dari sana, barangkali, kita bisa mengubah segalanya.
Iya, dari sana, barangkali, kita bisa mengubah segalanya.