Keikhlasan dalam menulis mampu membuat tuts keyboard yang rusak pun bisa kembali normal.
Surga Pojok Kota, sering sekali diriku tersesat dalam keindahannya. Tanpa disadari, itulah tempat paling nyaman se Campurrejo. Merebahkan diri disana nikmat, hingga tak terasa malam membersamai saya.
Tugas kuliah serasa menghantui benak saya, seakan-akan harus ingat, apalagi setia setiap saat. Walah, malah koyo iklan mie ae, wkwkwkw. Sudah terasa lama merebahkan diri.
Saya beranjak mendekat laptopnya Yogi. Eh, saya bingung dengan laptopnya. Karena tidak ada tanda huruf, keyboardnya mulus bak jalanan beton. Ini sudah pasti susah saat mau ngetik. Tapi, bagaimanapun caranya harus tetap bisa.
Saya pun bertanya pada Yogi.
“Bung, carane pye iki kok ranek tengere?”
“Kwi Nganggo perasaan, Wid.” Jawab Yogi mengagetkan.
“Angel-angel, nek wes keterak perasaan.”
Sembari merasakan dinginnya kipas. Dan memecahkan masalah bagaimana cara ngetik di laptop ini. Saya betul-betul kebingungan, sebab tidak hafal dengan penempatan abjad di laptop.
Yogi tampak asik bersama buku yang ia baca. Saya pun tidak ada niat mengganggu dia. Apalagi bertanya, laptop saya diamkan sejenak, sambil merenung plus mencari jalan keluar agar bisa ngetik dengan perasaan.
Semua harus diawali dengan ketidaknyamanan. Sebab, karena inilah yang bisa membuat pelajaran. Saya terkecoh dengan kode-kode jari. Yang bisa melayang di atas permukaan keyboard.
“Pye, wes iso to durung?” tanya Yogi sambil tersenyum.
“Iso ko ndi, ngetik siji ae gung kok.”
“Iki titeni tok ae, pokok’e ngger tombol ‘A’ ndi ileng-ileng.”
“Iyo Bung, jenenge raroh je, ahahaha.”
Setiap menyentuh keyboard harus hati-hati. Benar-benar memperhatikan dimana letak abjadnya. Saya berkali-kali salah menyentuh, mau nyentuh A malah jadi E. Eh tenyata, harus telaten, jangan sampai mengeluh.
Seakan-akan kita harus menyatu pada keyboard, diri ini diharuskan nyaman, dan jangan lupa berbahagia dalam setiap ketikan. Sebab, kunci dari segalanya menyertakan rasa ‘bahagia’ dalam hal apapun.
Hal yang paling penting, kata Audrey Hepburn, adalah menikmati hidup menjadi bahagia, apa pun yang terjadi. Sederhana dan mengena, tapi sulit dilakukan.
Sudah terlihat lama saya di depan laptop, sedikit demi sedikit saya menemukan jalan yang terang. Keyboard sudah berhasil saya raba.
Walaupun terasa mulus, kecelakaan pasti akan terjadi pada tangan saya yang salah menyentuh lagi. Padahal perasaan sudah saya libatkan. Apalagi bahagia, sudah bahagia sekali saat itu.
Saya pun heran, dengan apa yang saya lakukan. Unsur apa yang kurang, apalagi yang harus saya lakukan?
“Bung, iki pye kok jek salah ae.” Saya bertanya pada Yogi.
“Kurang siji awak’em.”
“Opo kwi, kok kurang ijek’an?”
“Ikhlas, Bung.” Yogi tidak menjawab banyak. Tapi saya sadar, bahwa belum ada rasa ikhlas di hati saya.
Unsur ikhlas adalah yang paling penting dalam hal apapun. Jika kau benar-benar ikhlas pasti semua akan terpenuhi sesuai apa yang kamu minta.
Ikhlas merupakan senjata utama bagi seorang muslim. Ibnu Taimiyyah pernah dawuh, hati yang ikhlas dan doa yang tulus adalah dua tentara yang tak terkalahkan.