I/
Di antara remang lampu ruang, dan tikus yang hilir mudik di bubungan, aku menemui ibu yang tengah menjahit. Padanya aku bertanya soal SPP yang mesti dibayar esok hari.
Tanpa banyak cakap, ibu menuju kamar belakang, dan meraih omplong bekas biskuit Khong Guan yang ditaruh di atas lemari.
Saat berhasil memungut lembar rupiah, dan tangannya hendak menyodorkan padaku, tiba-tiba bapak yang tak terdengar derap kakinya seketika merampas. Terang aku berusaha merebut. Tapi bapak mendelik. Bola matanya seakan meletup hendak keluar.
Aku tak menyerah. Itu uangku.
Aku berusaha merampas dari bapak, tapi lelaki itu malah menjambak rambut lalu mendorong tubuhku ke pintu. Barang-barang di sekitar termasuk patung Gajah Mada dibanting. Kepala Gajah Mada itu menggelinding. Aku terkesiap. Dadaku bergemuruh mendapati benda kesayangan itu terbelah dua.
Aku memungut kepala Gajah Mada sembari menitikkan air mata. Aku merasa berdosa pada Bayu yang pindah sekolah ke Bandung, dan patung itu adalah kenang-kenangan yang mestinya aku pajang.
Ibu yang berdiri mematung serupa kelaras pisang tak berusaha meredam amarah bapak. Ia biarkan lelakinya memecahkan barang. Ia biarkan aku dijambak dan didorong ke pintu. Ia juga tak mendiamkan tangisku sewaktu aku tersedu-sedu memungut kepala Gajah Mada. Bahkan saat bapak keluar rumah—masih dengan uang SPP—ibu tak menahan. Justru ia menoleh ke arahku sembari menatap tajam.
“Hendak kau apakan patung itu? Buang saja barang tak berguna!”
“Ini dari Bayu, Bu. Aku ingin menyimpannya.”
“Buang atau aku bakar!”
Seketika nyaliku ciut. Perempuan yang mestinya menjadi tempat ternyaman untukku itu tampak seperti monster. Ia begitu mengerikan. Aku hanya menatapnya nanar sewaktu ibu balik badan. Pada kepala Gajah Mada yang ada di genggaman, aku ceritakan apa yang terjadi di keluarga.
Entah terbesit darimana, aku merasa mata Gajah Mada memancarkan ilham. Seketika aku berlari menuju sudut kampung. Aku memacu kaki begitu cepat serupa anak panah melesat. Sesampainya di warung yang menjual gorengan, di mana sudut ruang terdengar riuh-gemuruh para lelaki, aku dapati bapak tengah melempar dadu.
Kubus persegi itu memunculkan angka empat. Bapak seketika mengumpat sedang lelaki di depannya bersorak riang. Sewaktu lelaki itu memungut uang SPP sedangkan bapak menunduk lesu, aku lempar kepala Gajah Mada tepat ke arah kepala bapak.
II/
Usia saya sepuluh tahun ketika Mami mengusap air matanya berkali-kali. Ia tak lagi tampak seperti perempuan anggun, melainkan seperti daun ketapang tua yang jatuh ke atas kolam. Mami meminta saya tak usah peduli. Ia menyuruh saya tidur. Saya balik badan dan mengintipnya dari balik pintu kamar.
Saya benar-benar tak tega mendengar tangis Mami yang berderai di atas sofa.
Tak pernah saya mendapati Mami sebegitu buruk. Apalagi sewaktu Papi yang tak pulang selama seminggu, tiba-tiba deru mobilnya terdengar sampai ruang tamu. Mami lekas-lekas membuka pintu. Memberondong Papi dengan kemeja putih Papi yang terdapat bekas lipstik perempuan. Dan keduanya bertengkar seperti malam-malam lalu.
Saya terbiasa menyaksikan umpatan caci maki, tudingan jemari bahkan saling melempar barang, pernah saya dapati. Tetapi malam itu lain cerita. Papi tak lagi mengancam ceraikan Mami seperti yang ia ucapkan dulu-dulu.
Justru Papi memanggil anak kecil bertubuh mungil berparas cantik. Anak itu terlihat gemetar. Papi merangkulnya sembari menyebut nama Rani. Usia Rani lima tahun, dan itu hasil selingkuhannya selama ini.
Mami yang semula mencak-mencak seketika termangu. Dan entah mengapa, sejak itu, Mami menjadi pendiam. Ia tak peduli kala Papi keluar kota berhari-hari. Ia tak marah kala Papi meminta Rani tidur sekamar dengan saya padahal saya jijik—tapi lambat laun saya kasihan juga. Ibu Rani sepekan lalu mati kecelakaan.
Bahkan, ketika Mami kembali menemukan bekas lipstik di kemeja Papi, ia tak lagi tersedu-sedu seperti malam itu. Malah Mami mencuci, menyetrika dan menaruhnya di lemari. Sialnya, suatu malam, Papi kembali membawa anak kecil yang merupakan hasil selingkuhannya. Dan percayalah, selingkuhan Papi selalu berakhir mati di jalan.
III/
Usiaku dua puluh tiga tahun kini. Teriakan tukang bubur, penjaja roti, tangis Nira di sudut ranjang, benar-benar menyesakkan. Berulang kali aku memintanya menghentikan tangis, justru suaranya kian mengiris.
Aku betul-betul muak. Aku seret Nira ke dinding. Aku jambak rambutnya yang tergerai. Aku benturkan kepalanya berkali-kali.
Dalam temaram lampu yang belum kumatikan, aku memukul dan menampar Nira. Anehnya, aku merasakan kenikmatan saat mendapati Nira meringkuk di atas lantai. Aku merasa menang. Aku merasa bapak yang menangis iba di depanku seperti aku dahulu yang menangis iba usai melempari bapak dengan kepala Gajah Mada.
Aku baru merasa kasihan ketika hendak menerjang perutnya yang buncit, tiba-tiba teman kos menggedor-gedor pintu kamar. Seketika aku dekap Nira sembari berucap maaf. Perempuan itu tak jawab. Aku mohon maaf berulang kali. Entah permohonan keberapa, ibu tetiba menelepon. Saat aku bertanya ada apa, ibu menjawab getir.
“Pulanglah, Ram. Bapakmu sekarat dan ia ingin minta maaf.”
IV/
Usia saya dua puluh dua tahun ketika mengandung benih Rama. Tiap kali saya meminta pertanggungjawaban, ia selalu bertingkah kasar. Bahkan saya diseret ke dinding, dijambak lalu kepala saya dibenturkan ke tembok. Saya menangis sebab tak bisa membalas ucapan dan perbuatan Rama.
Mendapati saya tak membalas, Rama kian kesetanan dan saya kian jadi bulan-bulanan. Saya merasa tengkorak kepala membengkak akibat terjangan. Saya nyaris seperti makhluk koma yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, Rama berujar jika apa yang saya alami adalah ganjaran karena mengganggunya tidur.
Saya benar-benar pasrah saat Rama hendak menerjang kandungan. Tapi, sorot matanya seketika layu ketika teman kos menggedor pintu. Saya merasa bola matanya meredup mendapati saya bersimpuh di atas lantai. Wataknya benar-benar berubah dalam sekejap.
Ia tak lagi tampak seperti penari Jaranan kesurupan. Bahkan ia mendekap tubuh saya kuat-kuat sembari berucap maaf. Saya tak mampu jawab. Saya masih ketakutan.
Entah mengapa, saat mendekap, teleponnya berdering. Wajahnya sedikit gusar ketika berbincang. Saya takut ia menelepon perempuan lain. Tapi, sorot mata Rama kian lesu. Sewaktu hendak bertanya penyebabnya, giliran gawai saya berdering. Saat diangkat, suara Mami terdengar bisik-bisik.
“Nir, adikmu diperkosa Papi. Mami menemukan Rani hendak bunuh diri.”
V/
Usiaku tujuh tahun ketika berada di depan makam tak terurus. Rumput liar setinggi lutut, hijau lumut di bebatu, dengung nyamuk di sekitaran telinga adalah pemandangan yang kudapati di sana. Satu-satunya penanda kalau itu batu adalah nisan, ya, tulisannya memudar. Nama dan tanggal wafat tak lagi jelas. Sewaktu aku bertanya pada bapak, ia menjawab kalau monster yang berbaring di sana. Terang aku mengernyitkan dahi.
“Sebetulnya dia monster yang baik. Tapi menjadi korban kekerasan raksasa.”
“Raksasa?”
Bapak menunjuk batu berlumut. Kalau tak diberi tahu kalau itu kuburan, aku tak tahu kalau di bawah sana bersemayam tulang-belulang.
“Raksasa baru menyadari kesalahannya sebelum mati. Semoga saja Tuhan mendengar.”
Usai menyekar makam monster dan raksasa, giliran ibu menunjuk rumah tua dekat pemakaman. Ia berlagak seperti pemandu wisata.
“Itu rumah bukan sembarang rumah. Di dalam sana kau akan menemukan banyak kisah ganjil seperti anak kecil yang lahir dari batu.”
“Ha, batu?” potongku lekas-lekas.
“Batu itu dulunya punya ibu. Tapi terlindas kendaraan.”
“Lalu?”
“Ada juga anak kecil yang turun dari langit. Sekarang ia tak lagi tinggal di sini.”
“Di mana?”
“Ia gantung diri bersama perempuan tua pemilik rumah.”
Seketika aku menatap bapak dan ibu bergantian. Aku heran, dari mana mereka mendapatkan kisah aneh semacam ini?
Nurillah Achmad nyantri di TMI Putri Al-Amien Prenduan, Sumenep sekaligus alumni Fakultas Hukum Universitas Jember. Emerging Writer Ubud Writers & Readers Festival 2019. Menerbitkan kumpulan cerpen, Cara Bodoh Menertawakan Tuhan (Buku Inti, 2020). Saat ini tinggal di Jember, Jawa Timur.