Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba

Kitab Alfiyyah: Kisah Cinta Ibnu Malik yang Tak Ditakdir Hidup Bersama

Ahmad Rofi' Usmani by Ahmad Rofi' Usmani
02/04/2025
in Cecurhatan
Kitab Alfiyyah: Kisah Cinta Ibnu Malik yang Tak Ditakdir Hidup Bersama

Ilustrasi: love language

Ibnu Malik dan Layla memang tidak ditakdir hidup bersama. Namun, cinta mereka abadi dalam kitab Alfiyyah Ibnu Malik yang masyhur di dunia. Cinta memang tak pernah mati. Ia hanya berubah bentuk menjadi kata-kata, puisi, dan pelajaran yang abadi.

Kairo, 1238 M.

Pagi saat fajar merekah, sebuah kapal dari Tunis merapat di pelabuhan tepi Sungai Nil: Pelabuhan al-Maqs, Kairo. Ibnu Malik, pemuda bertubuh kurus dan berjubah kelabu dengan serban sederhana itu, kini menginjakkan kedua kakinya di Bumi Mesir. Segera, bau ikan asin dan rempah-rempah menyergap hidungnya.

“Tuan Guru! Engkau datang tepat waktu!” seru seseorang yang menyambutnya. “Lusa, ada majelis besar di Masjid al-Azhar. Majelis itu yang akan membahas tentang salah satu kitab Sibawaih!”

Ibnu Malik mengusap debu perjalanan dari wajahnya dan kemudian berucap, “Aku bukan seorang Tuan Guru. Aku hanya seorang musafir pemburu ilmu yang tersesat di labirin kata-kata.”

Malam pertama di Kairo, Ibnu Malik habiskan di khan sederhana di dekat Masjid al-Azhar. Dari jendela kamarnya, ia menyaksikan lentera-lentera di pelataran masjid bergoyang ditiup angin. Bagaikan kunang-kunang yang menari-nari mengitari halaqah ilmu.

Suara diskusi para penimba ilmu mengalun bagaikan nyanyian: riuh, namun penuh makna. “Lusa,” bisik Ibnu Malik kepada bintang-bintang yang sama-sama asing, “aku akan menjadi bagian dari nyanyian itu.”

Ibnu Malik tidak perlu waktu lama untuk dikenal. Pengetahuannya yang mendalam tentang gramatika Arab, terutama dalam analisisnya tentang  i’râb dan binâ’, membuat ia segera diperhatikan. Suaranya yang tenang dan penuh wibawa, mengalun di antara tiang-tiang marmer Masjid al-Azhar: menarik perhatian para penimba pengetahuan yang haus akan ilmu.

Hari berikutnya, matahari musim semi itu menggantung rendah di atas Kairo, memendari menara-menara Masjid al-Azhar dengan cahaya keemasan. Di pelataran utama masjid, ratusan pemburu ilmu berdesakan mengitari halaqah para syeikh. Bau keringat, tinta, dan minyak wangi berpadu menjadi satu, menciptakan aroma khas yang hanya ditemukan di pusat pengetahuan terbesar di Dunia Islam itu.

Di antara kerumunan, Ibnu Malik yang kini mengenakan jubah biru kelabu dengan serban sederhana duduk tegak, menyimak paparan seorang Tuan Guru. Namun, kemudian, pandangannya tak lepas dari seorang perempuan yang baru saja berdiri untuk berbicara.

Perempuan bermata cantik dengan bibir tipis itu, mengenakan busana Muslimah indah berwarna biru langit dengan kerudung yang dihiasi sulaman emas tipis, melangkah ke tengah lingkaran. Dengan sangat percaya diri.

“Mohon maaf. Saya tidak seiring pendapat, Tuan Guru,” suaranya bening. “Ketika al-Mutanabbi menulis ‘al-kalimu yabqâ wa al-dahru lâ yabqâ’ (kata-kata abadi, sedangkan zaman tak abadi), ia tidak sedang bermain majaz. Ia menyatakan kebenaran yang paling hakiki!” kata-kata itu mengalir bagaikan air Sungai Nil di musim dingin.

Menyaksikan itu, Ibnu Malik yang baru beberapa hari tiba dari perjalanan panjang Andalusia-Tunis-Kairo, menahan napas. Selama tiga puluh tahun dalam hidupnya, ia belum pernah mendengar suara semacam ini: suara bening dan tajam yang menggetarkan jiwa sekaligus mengusik pikirannya.

“Siapakah perempuan itu?” bisiknya kepada seseorang di sebelahnya.

“Layla binti Yusuf al-Mishri,” jawab orang itu. Dengan nada rendah. “Ia adalah Putri Syeikh Yusuf al-Mishri, guru besar ushul fikih di sini. Hati-hati kepadanya. Ia lebih betah berdebat daripada para Tuan Guru laki-laki.”

Ibnu Malik tak menyahut. Kedua matanya masih tertambat pada Layla, yang kini sedang melontarkan argumen tentang perbedaan antara haqîqah dan majâz dalam syair-syair Arab klasik. Setiap gerak tangannya, setiap alisnya yang terangkat, setiap jeda dalam bicaranya, semuanya memancarkan ketajaman pikiran nan langka.

Pertemuan resmi mereka terjadi tiga hari kemudian, di sebuah taman kecil di belakang perpustakaan al-Azhar. Pagi itu, Ibn Malik sengaja datang lebih awal, dan kemudian duduk di bawah pohon jacaranda yang bunganya berjatuhan bagaikan hujan ungu. Tak lama kemudian, Layla muncul dengan membawa Dîwân al-Mutanabbî di tangan kanannya dan sekeranjang kecil kurma di tangan kirinya.

“Jadi, Tuan adalah Ibn Malik dari Andalusia?” tanya Layla tanpa pendahuluan, duduk di seberangnya dengan anggun. “Ayahku mengemukakan, Tuan Guru adalah seorang pakar gramatika terbaik yang pernah singgah di sini.”

“Pakar? Tidak. Aku hanya seorang musafir pemburu ilmu yang tersesat di labirin kata-kata,” jawab Ibnu Malik sambil bercanda.

Layla memandangnya tajam. “Tuan berbicara seperti penyair. Bukan seperti pakar gramatika.”

Ilustrasi: love language

“Bukankah gramatika Arab itu sendiri adalah puisi?” ucap Ibnu Malik sambil mengambil sebuah kurma. “Lihatlah bagaimana harf jar (preposisi) mengubah makna, seperti bagaimana sebuah kata dalam syair bisa berubah arti tergantung konteksnya.”

Layla pun tertawa kecil. Suaranya bagaikan gemerisik daun kering di musim gugur. “Kalau begitu, apa i’rab-nya cinta, Tuan Ibnu Malik?”

Udara seketika berubah. Ibnu Malik merasakan debar kencang di dadanya. “Cinta adalah mubtada’,” jawabnya pelan. “Dan segala yang datang setelahnya, hanyalah khabar-penjelasan yang tak pernah cukup.”

Layla memandangnya lama, lalu tersenyum. “Jawaban yang bagus. Namun, Tuan lupa satu hal.”

“Apa itu?”

“Dalam gramatika Arab, mubtada’ dan khabar harus selaras. Kalau tidak, kalimatnya fâsid (rusak).”
Ibnu Malik tersenyum. “Maka, kita harus pastikan cinta selalu mu’rab dengan benar.”

Mereka kemudian berbincang hingga larut, tentang rahasia harf jar yang dapat mengubah takdir kalimat, filsafat cinta dalam Dîwân al-Mutanabbî, dan mimpi masing-masing tentang akademi bahasa untuk perempuan.

Sejak itu, cinta di antara mereka berdua tumbuh. Ya, tumbuh bagaikan kata-kata yang tersembunyi di antara baris-baris kitab. Mereka kadang bertemu di perpustakaan. Kadang di taman Jacaranda. Atau kadang di sudut-sudut taman Masjid al-Azhar.

Layla senatiasa membawa Dîwân al-Mutanabbî. Sedangkan Ibn Malik senantiasa membawa Kitâb al-‘Ain. Mereka berdiskusi, berdebat, dan tertawa. Dan, di antara semua itu, ada sesuatu yang lebih dalam: sesuatu yang tak terucapkan.

Suatu malam, di bawah bulan purnama, Layla membisikkan syair:

Law kânû ya’lamûna mâ fî qalbî
La ahadun yusâfirun aw yahjuru.
Andai mereka tahu isi hatiku
Takkan ada yang ingin berpisah atau meninggalkan daku.

Mendengar puisi itu, Ibnu Malik memandangi Layla sambil berucap: “Layla, kau tahu, kan, dalam gramatika  Arab, mubtada’ dan khabar tidak boleh dipisahkan?” Layla tersenyum. “Seperti kita?” jawabnya.

Mereka diam. Kata-kata tidak diperlukan lagi. Namun, dunia tidak semudah itu. Syeikh Yusuf, ayah Layla, segera mengetahui hubungan mereka. Suatu malam, ia memanggil Ibnu Malik dan menegaskan, “Layla sudah dijodohkan,”. Tanpa basa-basi, ia kembali berkata. “Dengan keponakan Sultan. Kau harus pergi dari sini! ”

Mendengar ucapan itu, tubuh Ibnu Malik bergetar menahan rasa sedih yang amat asing dan tak biasa. Namun, apa gunanya? Ia hanya seorang musafir pemburu ilmu. Sedangkan calon suami Layla adalah seorang bangsawan, orang yang punya kekuasaan.

Kemudian, di taman Jacaranda, tempat mereka kerap bertemu, Layla menangis. “Aku tidak kuasa melawan Ayah,” bisiknya.
“Aku tahu,” jawab Ibnu Malik. Menahan sakit. “Namun, ketahuilah, di mana pun aku nanti, aku akan mencintaimu. Selalu. Bagaikan harf jar yang senantiasa setia pada ism-nya.”

Ibnu Malik kemudian meninggalkan Kairo sebelum fajar berseri. Ia pergi menuju Damaskus. Di sana, ia menjadi guru besar dan menulis mahakaryanya, kitab Alfiyyah Ibnu Malik, yang termasyhur.

Dan, dua puluh tahun kemudian, seorang pedagang dari Kairo membawa kabar: Layla telah berpulang. “Layla berpulang saat melahirkan anak ketiganya,” kata sang pedagang. “Namun, ia meninggalkan sesuatu untukmu.”

Pedagang itu lantas menyerahkan sebuah naskah kecil, Risâlah al-Hub wa al-Nahw (Risalah tentang Cinta dan Gramatika). Di halaman terakhir risalah itu tertoreh tulisan pendek:

“Jamal (Ibnu Malik)…
Akhirnya, aku mengerti, mengapa kau mencintai gramatika
Karena hanya dalam bahasa, kita bisa berjumpa, selamanya
Bagaikan mudhaf dan mudhaf ilaih
Bagaikan mubtada’ dan khabar
Selamanya, terhubung dalam ikatan yang tak kasat mata.”

Ibnu Malik menutup naskah itu. Air matanya meleleh pelan dan jatuh di atas tulisan Layla. Pundaknya bergetar menahan sedih dan perih secara bersamaan. Di luar jendela, angin berhembus, membawa bunga Jacaranda dari suatu tempat yang jauh bagaikan membawa kabar dari Layla, dari masa lalu, dari cinta yang tak pernah padam dan berlalu.

Begitulah kisah Ibnu Malik dan Layla. Mereka, akhirnya, tidak hidup bersama. Namun, cinta mereka berdua tetap abadi dalam kitab Alfiyyah Ibnu Malik yang diajarkan di berbagai belahan Dunia Islam, dalam debat-debat sengit yang dikenang “murid-murid”nya, dalam kisah-kisah yang dituturkan dari generasi ke generasi.

Semua ini karena cinta sejati tak pernah mati. Ia hanya berubah bentuk menjadi kata, menjadi puisi, atau menjadi pelajaran yang abadi. Ini seperti yang pernah Ibnu Malik katakan, “Kata-kata itu abadi. Dan cinta kita akan senantiasa hidup di dalamnya”.

**
Kisah cinta Ibnu Malik ini saya sajikan sebagai catatan dan kenangan ketika saya akan mulai mengolah kembali terjemahan Bahasa Jawa kitab Alfiyyah Ibnu Malik, oleh kakek buyut saya, KH Hasyim Padangan (1852-1942), selepas terhenti selama Ramadhan 1446 H ini. Kisah ini kiranya dapat memberi semangat pada saya untuk segera merampungkan karya terjemahan itu, amin. Matur nuwun. 

Tags: Catatan Rofi' UsmaniKisah Cinta Ibnu MalikKitab Alfiyyah Ibnu MalikMakin Tahu Indonesia
Previous Post

Bhinnasrantaloka: Konsep Harmoni dan Toleransi dari Bojonegoro

Next Post

Medhayoh Bojonegoro, Sejumlah Tempat Wisata Ramai Dikunjungi Wisatawan

BERITA MENARIK LAINNYA

Zai TikTok: Pendakwah Muda dari Tasikmalaya yang Merangkul Gen Z Lewat Konten Digital
Cecurhatan

Zai TikTok: Pendakwah Muda dari Tasikmalaya yang Merangkul Gen Z Lewat Konten Digital

17/06/2025
Bersinergi Wujudkan Lingkungan Lestari 
Cecurhatan

Bersinergi Wujudkan Lingkungan Lestari 

16/06/2025
Perjalanan Husain Basyaiban dalam Dakwah Digital
Cecurhatan

Perjalanan Husain Basyaiban dalam Dakwah Digital

14/06/2025

Anyar Nabs

Diskusi Multipihak: Bahas Renstra Ekologi Perangkat Daerah

Diskusi Multipihak: Bahas Renstra Ekologi Perangkat Daerah

17/06/2025
Wastra Batik Bojonegoro Tercatat Sejak Seribu Tahun Lalu

Wastra Batik Bojonegoro Tercatat Sejak Seribu Tahun Lalu

17/06/2025
Zai TikTok: Pendakwah Muda dari Tasikmalaya yang Merangkul Gen Z Lewat Konten Digital

Zai TikTok: Pendakwah Muda dari Tasikmalaya yang Merangkul Gen Z Lewat Konten Digital

17/06/2025
Bersinergi Wujudkan Lingkungan Lestari 

Bersinergi Wujudkan Lingkungan Lestari 

16/06/2025
  • Home
  • Tentang
  • Aturan Privasi
  • Kirim Konten
  • Penerbit Jurnaba
  • Kontak
No Result
View All Result
  • PERISTIWA
  • JURNAKULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • MANUSKRIP
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • PUBLIKASI
  • JURNAKOLOGI

© Jurnaba.co All Rights Reserved

error: