Pembukaan akses ekonomi Wilayah Selatan Bojonegoro tak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur. Tapi juga peningkatan SDM dan dukungan kebijakan pemerintah. Konsep ini yang dicanangkan Setyo Wahono dan Nurul Azizah dalam program unggulannya.
Berdasar data kemiskinan dari Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrim (P3KE) Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), menunjukan bahwa kantong kemiskinan di Bojonegoro, didominasi wilayah selatan. Khususnya pinggir hutan dan perbatasan. Di antaranya adalah Tambakrejo, Kedungadem, Ngraho, Margomulyo, dan Sekar.
Tim Pemenangan Wahono-Nurul, Joko Purwanto mengatakan, pembukaan akses wilayah harus dimulai dari pendekatan kebijakan yang terintegrasi, mulai dari penyiapan SDM lokal, infrastruktur, dan hilirisasi. Pembangunan infrastruktur tanpa diimbangi SDM, hanya membuka masalah baru. Jika jalan dibangun tanpa menyiapkan SDM masyarakat, yang akan terjadi seperti Kabupaten Tuban.
“Lima belas tahun lalu, semua jalan di Tuban dibangun mulus sampai gang-gang kecil. Tapi sekarang Tuban malah jatuh miskin” ungkap mantan Sekretaris PC Ansor Bojonegoro (2011-2016) tersebut.
Joko mengatakan, jalan yang mulus justru memudahkan orang lain mengambil sumberdaya alam mentah. Produk pertanian diambil dan diolah orang luar. Sementara masyarakat lokal SDM tidak siap. Hal itu semakin parah karena pemerintah tidak menyiapkan kebijakan hilirisasi yang mumpuni. Pada 2024, Tuban 10 besar kemiskinan di Jawa Timur.
Contoh kasus pada Kabupaten Tuban di atas, kata Joko Purwanto, sebisanya harus dihindari Bojonegoro. Artinya, pembukaan akses ekonomi tak hanya ditentukan kondisi fisik infrastruktur. Tapi juga kesiapan SDM dan dukungan penuh kebijakan dari pemerintah.
Joko mencontohkan, produksi jagung Bojonegoro sangat banyak. Tapi industri pakan dan peternakan justru ada di Blitar. Ini terjadi karena para petani Bojonegoro hanya menjual barang mentah. Selain itu, pemerintahan masa lalu juga tidak punya kebijakan yang terintegrasi untuk meretas jalan hilirisasi di tingkat lokal.
“Jangan sampai jalan mulus malah membuat orang dari kabupaten lain kaya, sementara warga Bojonegoro tetap miskin”. Imbuh Joko.
Sally Atyasasmi, Politisi Gerindra Bojonegoro menyatakan, pengembangan wilayah selatan Bojonegoro tak hanya selesai dengan sekadar membangun infrastruktur jalan. Menurutnya, baiknya kondisi jalan tidak mampu menghidupkan wilayah, jika tidak terdapat pos-pos penting seperti Rumah Sakit, sekolah, dan pasar.
“Pengembangan wilayah harus didukung adanya sarana pelayanan dasar. Tanpa itu, jalan bagus hanya dilewati saja” ucap Anggota DPRD Bojonegoro tersebut.
Pengembangan wilayah selatan, menurut Sally, berarti membangun Kota Baru di Bojonegoro bagian selatan. Pembangunan Kota Baru tentu bukan sekadar membangun jalan. Tapi harus ada sarana kebutuhan dasar (rumah sakit, sekolah, dan pasar) yang secara otomatis menjadikannya pusat ekonomi.
“Setelah itu baru memaksimalkan potensi wisata yang ada di sana” imbuh dia.
Pasangan Cabup dan Cawabup Bojonegoro, Setyo Wahono dan Nurul Azizah sudah menyiapakan formula kebijakan untuk mitigasi Pengembangan Wilayah Selatan di atas. Penguatan SDM lokal, hilirisasi industri lokal, dan pembukaan akses wilayah selatan, menjadi pilar untuk memajukan daerah selatan dan sekitarnya.
Dalam pengembangan Wilayah Selatan, Setyo Wahono juga mencanangkan pembangun “Distribution Center” atau pusat distribusi. Yakni sistem dan fasilitas gudang yang menerima, menyimpan, dan mendistribusikan barang ke pasar. Selain meningkatkan harga jual barang, keberadaan Distribution Center diharap mampu memicu munculnya pusat ekonomi baru.
Selain itu, pihaknya juga berencana membangun Jalan Selatan Bojonegoro. Sebuah akses yang terhubung/terkoneksi dengan Tol Ngawi-Bojonegoro- Tuban-Lamongan. Dalam visi dan programnya, Setyo Wahono mendorong pembangunan Exit Tol di wilayah Bojonegoro.
Sementara dalam konteks infrastruktur, Setyo Wahono dan Nurul Azizah juga berencana membangun jaringan jalan utama desa berbasis cor rigid/aspal dan jembatan, serta didukung saluran air (gorong-gorong) yang mumpuni.