Satu hari tanpa membuka Youtube, rasanya seperti ada yang kurang. Pasalnya, berbagai konten hiburan bisa ditonton. Termasuk video prank yang bisa dibilang cukup ngeselin. Gimana gak ngeselin, makin hari makin ngawur aja ngerjain orang.
Konten prank berjejal di timeline youtube Indonesia. Tidak jarang konten seperti itu menjadi viral. Misalnya penyamaran youtuber menjadi gembel yang dermawan. Bahkan, ada yang sampai diciduk Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Kejadiaan unik tersebut sempat dialami Babang Tamvan.
Selain itu, ada pula prank ojek online. Para konten kreator tersebut melakukan prank kepada pengendara ojek online. Caranya, dengan pemesanan produk atau makanan yang mahal abis. Setelah itu, pesanan dibatalkan. Alhasil, pengendara ojol panik. Tidak jarang ada yang sampai menangis. Meski pun pada akhirnya ada ‘hadiah’ yang diberikan kepada ojol tersebut.
Prank youtuber saat ini mulai mendapat sorotan. Prank terhadap ojol tersebut menuai kontroversi dari penikmat platform digital. Konten demikian dianggap layaknya sampah. Meski begitu, video tersebut sukses ditonton jutaan viewer. Ada yang terharu, ada pula yang mengecamnya.
Tagar #SayNotoPrank sempat trending di twitter. Netizen berharap pembuatan konten prank dihentikan. Banyak yang tidak suka dengan konten semacam pembodohan ini. Ada rasa iba kepada para korban prank. Perasaan panik, kalut, sedih, pastinya sempat dirasakan korban. Hadiah yang diberikan pun tidak sebanding dengan adsense yang youtuber dapatkan.
Misalnya saja mantan youtuber gamer, Reza ‘Arap’ Oktovian. Melalui channel podcast milik Deddy Corbuzier, Reza menjelaskan konten youtube yang sudah berubah. Misalnya para youtuber Indonesia. Menurutnya, seorang content creator bisa lebih mengedukasi penontonnya. Caranya dengan membuat konten yang jauh lebih bagus dibanding social experiment.
“Dulu kita build crowd sendiri dan lebih segmented terus ke personality. Dulu formulanya kalau mau seru dan fun, Q&A. Dan kuncinya di editing-nya, bukan di judulnya kayak sekarang,” kata Reza.
Karena itu, tidak heran kalau konten prank mudah viral. Judul dan thumbnail dibuat click-bait. Anehnya, penonton cukup nyaman dengan konten tersebut. Pasalnya, youtuber membuat konten yang disesuaikan dengan pasar. Bukan berdasarkan segment berdasarkan spekulatif.
Selain itu, konten prank pengamen sumbang atau fals pun sering viral. Suaranya bisa memecah lapisan ozon di atmosfer bumi. Padahal, suara aslinya begitu merdu dan enak didengar. Hanya saja, sebagian besar konten berisi gombalan.
Sering viralnya konten prank pengamen tersebut berpengaruh terhadap pandangan seorang teman. Seorang pengusaha warung makan di Kota Malang bernama Ricky Mebianto. Ricky biasa nongkrong di warung kopi. Dia cukup akrab dengan pemandangan orang yang ngopi dan bermain gitar sambil menyanyi.
Memang, suara enak dan merdu tergantung selera. Sebaliknya, suara tidak enak atau fals sudah pasti semua bisa tahu. Namun, tidak tidak begitu diperdulikan. Era post-truth membuat Ricky yakin akan suara seseorang. Terutama mereka yang berani bernyanyi lantang di warung kopi.
Ricky cukup abai dengan suara orang menyanyi yang fals. Dia yakin sebenarnya suaranya enak dan merdu. Seperti suara suling bambu di lagu koplo. Dia cukup menunggu orang itu untuk mengeluarkan suara aslinya. Sembari menunggu, dia kerap bergumam
“Langsung aja bro, keluarin suaramu yang enak. Aku tahu pasti ada kamera di sana sini kan? Ayo lah, langsung aja mainkan suaramu. Aku sudah tahu kamu nge-prank,” gumam Ricky sembari main gadget.
Konten prank para youtuber bisa dibilang menggelikan. Merebaknya konten prank membuat orang tidak humoris lagi. Kejadian konyol dicurigai dan dianggap setting-an. ‘Eits, sapa tau ada kamera? Di mana ya?’. Kan jadi gak asik gitu.
Social experiment seharusnya lebih menyentuh kemanusiaan. Bukan asal nge-prank orang. Tujuannya adalah untuk mendidik para penonton. Yah, tidak semua harus mendidik sih. Toh bisa sekadar hiburan. Namun harus tetap diingat, jangan sampai ada yang dikorbankan. Terlebih demi keuntungan personal.