Menutup akses jalan jadi tradisi baru di berbagai daerah. Tak terkecuali, di Mojokerto, tempat tinggal saya. Sayangnya, dalam tradisi baru itu, ada krisis kesadaran yang belum dipahami banyak orang.
Dunia kini tengah dihadapkan pada wabah Corona yang menjangkit hampir di seluruh belahan negara. COVID-19 atau Corona Virus Desease 19 merupakan virus baru yang pertama ditemukan pada Desember 2019 di kota Wuhan, Cina.
Covid-19 adalah virus yang menyerang sistem pernafasan manusia sehingga mengakibatkan gangguan pernafasan, berkurangnya ketahanan tubuh, bahkan menyebabkan kematian.
Melansir data dari laman Worldometers, tercatat pada Selasa pagi (26/5/2020) penderita Covid-19 secara global terkonfirmasi sebanyak 5.582.382 kasus. Penyebaran kasus Covid-19 juga semakin bertambah di Indonesia.
Sejak konfirmasi kasus pertamanya pada akhir maret 2020, penambahan kasus secara terus menerus mengalami kenaikan. Hingga 27 Mei 2020, tercatat total kasus positif sebanyak 23.851 kasus. Hal tersebut tentunya semakin menambah rasa was-was masyarakat.
Akibat penambahan kasus semakin tinggi, banyak masyarakat desa mulai mengantisipasi agar wilayahnya tidak terpapar virus corona juga. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menutup akses keluar masuk desa atau lock down.
Kabupaten Mojokerto, tempat tinggal saya, adalah salah satunya. Sebagai upaya penanggulangan agar tidak terjangkit covid 19, banyak desa yang melakukan aksi penutupan jalan atau lock down lokal.
Hal itu dikarenakan jumlah Pasien dalam pengawasan (PDP ) dan Orang Dengan Pengawasan (ODP) semakin meningkat di Kabupaten Mojokerto yaitu sebanyak 80 PDP dan 551 ODP.
Krisis Kesadaran
Bertepatan Hari Raya Idul Fitri 1441 H, masyarakat desa bergotong-royong menutup akses jalan menuju desa mereka. Hal itu bertujuan agar masyarakat luar desa tidak dapat melakukan kunjungan silaturahmi di masa pandemi ini, karena masyarakat takut akan terjangkit oleh virus yang dianggap mematikan ini.
Memang, tindakan tersebut merupakan bentuk Self-awareness yang sangat penting dilakukan oleh masyarakat guna melindungi diri mereka. Namun, sayangnya tindakan tersebut masih kurang dibarengi kesadaran diri untuk mematuhi aturan pemerintah sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Sebut saja lockdown yang dilakukan masyarakat desa ini, yang semula bertujuan untuk melindungi desa mereka, namun mereka lupa untuk memperhatikan penularan di lingkungan mereka sendiri.
Portal yang dibuat di pintu masuk desa biasanya dijaga oleh warga desa yang berjumlah 8-10 orang, bahkan lebih, dengan tidak menghiraukan himbauan untuk physical distancing.
Padahal, mereka tidak tahu kapan, dimana, dan dari siapa virus ini akan menjangkit. Kebanyakan ketika diingatkan mengenai himbauan protokol kesehatan yang ada, justru mereka acuh dan menganggapnya sebagai angin lalu.
Drama Pertengkaran Tetangga Kemudian, maraknya potret yang kini sedang banyak terjadi di masyarakat desa adalah pelaporan berujung Drama Pertengkaran Tetangga. Sehubungan dengan Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada 24 Mei 2020, pemerintah telah melarang masyarakat untuk mudik ke kampung halaman.
Bahkan MUI telah mengeluarkan fatwa HARAM untuk melakukan mudik. Namun, lagi-lagi masih saja ada keluarga yang memperbolehkan bahkan meminta keluarganya di kota untuk pulang dan berlebaran bersama.
Sontak saja, hal tersebut memicu ketakutan bagi tetangga sekitar dan sebagai ujungnya mereka melaporkan tindakan tersebut kepada petugas. Hal itu semata-mata dikarenakan ketakutan mereka akan terpapar virus yang mungkin dibawa oleh saudara tetangganya.
Mirisnya, warga terlapor tidak menyadari kesalahannya dan justru berujung pada pertengkaran antar tetangga.
Saya tidak menyebut seluruh masyarakat desa berpikiran kolot, namun faktanya masih ada beberapa warga desa yang belum bisa menerima himbauan dan masukan dari orang lain, terlebih dari orang yang tak punya jabatan.
Dalam fenomena seperti di atas, masyarakat desa juga tidak sepenuhnya melakukan kesalahan. Hanya saja, beberapa tindakan yang dilakukan kurang tepat dan dapat membahayakan dirinya serta orang lain.
Masyarakat desa saat ini saya kira sudah lebih maju dan berfikiran luas, apalagi dengan menyebarnya teknologi informasi yang membuat masyarakat lebih melek informasi.
Seharusnya kemudahan tersebut dapat membuka dan mendobrak pemikiran-pemikiran kolot masyarakat desa. Lalu, tindakan preventif apa yang bisa dilakukan?
Sebuah Solusi
Kebanyakan masyarakat desa akan patuh dan mendengarkan anjuran dan imbauan yang berasal dari tokoh yang memiliki pamor di desa, seperti kepala dusun, kepala desa, atau “Pak Haji”.
Masyarakat desa tidak bisa menerima informasi secara mentah, oleh karena itu diperlukan sosok yang dapat menyampaikan dengan halus dan mudah untuk dipahami oleh masyarakat desa.
Ketika warga yang notabene adalah “orang biasa” tidak dapat menyampaikan himbauan karena keterbatasan “pamor”dan jabatan, maka disini peran tokoh desa sangat dibutuhkan guna menengahi dan mengedukasi masyarakat.
Apalagi di momen-momen seperti saat ini, sebagai upaya pencegahan penularan Covid-19 di desa dan di Indonesia, masyarakat dan pengurus desa harus bekerja sama dan saling bahu-membahu baik dalam hal pengamanan desa secara langsung ataupun pengamanan secara tidak langsung (edukasi warga).
Egoisme hanya akan merobohkan apa yang telah kita bangun, oleh karena itu pemikiran terbuka dan kesadaran bersamalah yang dapat kita lakukan untuk bersatu melawan Covid-19.
Maratus Sholikhah merupakan mahasiswi Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Airlangga asal Kota Mojokerto.