Tanpa mengeluarkan buku puisi pun, bagi saya, Lana Del Rey sudah penyair. Lana seorang penyair, bahkan sebelum buku puisinya dicetak.
Ada alasan mengapa Lana Del Rey begitu istimewa, bagi saya khususnya. Lana bukan hanya penyanyi, tapi juga penyair bahkan sebelum ia mengeluarkan buku puisi Kamis lalu (24/9).
Tentu akan ada banyak orang yang menyerang argumen saya, seperti ketika banyak orang yang merasa sebagai sastrawan mempermasalahkan puisi Putri Marino, ‘Poempm’. Mengapa orang merasa berhak untuk mengatakan mana puisi dan mana tidak?
Apa sih itu puisi?
Ada yang bilang bahwa puisi adalah seni menulis, untuk itu ia disebut sastra. Dari definisi yang luas itu kemudian diciptakanlah ciri-ciri tulisan yang bisa disebut puisi, mulai dari kalimat metaforis, ritmis, hingga jumlah kata per baris, dengan begitu sebuah kalimat baru bisa dikatakan puitis.
Tapi, Nabsky, bukankah puisi sudah jauh berkembang? Bahkan di Indonesia, kita lihat perbedaan puisi-puisi Chairil dengan puisi Rendra, dan lebih-lebih Sutardji Colzoum Bachri. Tak usah jauh-jauh, kita bisa membandingkan dua penyair agung di jaman kita, Sapardi Djoko Damono dan juga Joko Pinurbo.
Satu dikenal karena puisi-puisinya yang romantis-melankolis dibalut dengan metafora, satu lagi khas pada kata-kata sederhana yang dimainkan dengan bunyi (rima). Mana yang benar sebagai puisi?
Bagi saya, puisi jauh dari benar dan salah. Bahwa ketika orang mengatakan tulisan “kucinta kau sebelum nafas pertamamu” saja adalah puisi, maka itu adalah puisi.
Bahkan gerak jatuh daun pun, bagi saya, sudah puitik. Tapi kemudian ketika dikembalikan pada pendefinisian puisi adalah seni menulis, maka itu tak cukup. Ia harus dibahasakan untuk bisa sah menjadi puisi.
Jika puisi dibebani dengan tafsir, sehingga setiap kata harus diartikan dengan berbeda, seolah penyair harus memikirkan betul-betul makna di balik setiap pilihan kata yang dirangkai dan juga pesan-pesan tersembunyi, apa dengan demikian setiap pembaca haruslah menjadi detektif seperti Sherlock yang mengurai pesan misterius dari penulis?
Sah bahwa metafora menyamarkan maksud asli penyair, tapi bukan berarti puisi tak boleh realis, menyampaikan apa sebagaimana maksudnya.
Kembali pada perdebatan buku puisi Lana Del Rey. Saya akan tetap mengatakan bahwa Lana Del Rey sudah menjadi penyair bahkan sebelum mengeluarkan buku puisi Violet Bent Backwards Over The Grass. Itu karena lirik-lirik yang ditulis dalam lagunya pun sudah metaforis. Lirik-liriknya melankolis, sesekali romantis.
Bagi saya, puisi adalah melankolia tersendiri. Itu bukan berarti puisi yang bergelora bukanlah puisi, tapi saya lebih menyukai puisi-puisi melankolis. Bahwa emosi terdalam, bagi saya, adalah melankolia, dan di situlah puisi bisa merasuk. Tentu kalian boleh beda pendapat.
Tapi pendapat itulah yang membawa saya pada argumen bahwa Lana Del Rey sudah menjadi penyair bahkan sebelum buku puisinya lahir.
Saya sendiri belum membaca buku puisi yang diluncurkan Lana pada Kamis lalu (24/9). Tentu saja karena buku itu belum beredar di Indonesia, atau bahkan tidak diedarkan karena konon menurut Lana sendiri, buku itu tak diperjual-belikan.
Dari wawancaranya dengan Vogue yang diterbitkan pada Jumat lalu (25/9), buku itu berisikan foto-foto yang ditangkap Lana selama perjalanan. Foto yang biasa kalian lihat di Instagram pribadi penulisnya, yang akrab dengan suasana retro dan kesan-kesan melankolis.
Karya-karya Lana akrab dengan melankolia. Saya sudah jatuh cinta pada lagunya sejak pertama kali mendengar Summertime Sadness dan juga Blue Jeans, lebih-lebih ketika album Born To Die resmi rilis.
Keakraban itu barangkali juga dipengaruhi oleh karya-karya yang dibacanya. Kita bisa lihat dalam lagu Hope is Dangerous Thing For a Woman Like Me to Have, di sana ia menyebutkan Sylvia Plath, salah satu penyair perempuan dengan kisah hidup yang tragis serta puisi-puisi melankolis.
Kepada Vogue, Lana juga mengakui bahwa ia menyukai kisah perjalanan dua penulis besar Amerika, F. Scott Fitzgerald dan John Steinbeck lebih dari karya yang dihasilkan. Agaknya, saya mulai mengerti dari mana semua lirik-lirik melankolis itu berasal. Tragis-melankolis, begitu pun saya jatuh cinta pada karya Steinbeck.