Ihwal geladak kapal dan hujan yang memishkan Tedjo-Cornelia untuk sementara waktu.
Cornelia dan Tedjo menikmati desir angin di bantaran sungai Bengawan Solo. Mereka menyaksikan pemandangan alam seperti gundukan pasir yang berada di tengah bengawan dan pemandangan buatan seperti jembatan yang membentang di atas bengawan.
Aliran air Bengawan Solo bak cermin abadi. Tergambar wajah Tedjo Djatikoesoemoe dan Cornelia Wilhelmina di aliran air bengawan.
Burung-burung yang bermain dengan riang, lalu-lalang perahu, anak-anak yang bermain di bengawan, dan ilalang yang bergoyang diterpa angin menjadi saksi bisu kedekatan dua insan itu.
“Tedjo, apa maksud tulisan yang ditulis dari geladak kapal?”
“Begini Cornelia. Dalam fikiranku, dokumen sejarah yang ditulis oleh orang-orang dari negerimu itu ditulis dari geladak kapal, maksudnya ada yang menuliskan tanpa terjun langsung ke lapangan. Bukankah itu lucu?”
“Tapi tidak semuanya Tedjo. Aku mengenal beberpa sejarawan yang terjun langsung ke lapangan.”
“Ya, tetapi mereka menuliskan untuk keperluan kerajaan. Kurang menggambarkan situasi dan kondisi masyarakat akar rumput yang sesungguhnya.”
“Baik Tedjo. Aku menerima opinimu, namun bukan berarti aku setuju.”
“Sudahlah Cornelia. Lain waktu kita bahas lagi. Sekarang, aku ingin mengajakmu menikmati sungai Bengawan Solo.”
Mereka hanyut dalam dekapan nuansa sungai terpanjang di Pulau Jawa. Menyaksikan langit berwarna jingga yang terlukis dengan indah di sekitar jembatan. Pertanda gema azan akan berkumandang dan sandekolo tiba.
“Ayo kita kembali Cornelia, sekarang sudah waktunya _sandekolo_ .”
“What is the sandekolo ?”
“Spelling please, S-A-N-D-E-K-O-L-O.”
“Sandekolo.”
“Itu istilah yang jamak diketahui di Bodjonegoro, Cornelia. Itu bahasa Jawa, serupa dengan senja, namun tak sama. Sudah, ayo kita ke atas untuk pulang.”
Sepeda tua yang dikendarai oleh Tedjo, menghitamkan aspal jalanan kota. Sepanjang perjalanan, terjadi dialog antara Tedjo dan Cornelia.
“Dimana tempat gereja berada, Tedjo?”
“Di Bodjonegoro ada beberapa gereja. Seperti Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) yang berada di Umarstraat dimana penyebaran agama kristen disini tidak bisa lepas dari pengaruh pastur berdarah Jerman, saya lupa namanya, hehe.”
“Selain itu?”
“Ada yang berada di Rahmatstraat dan juga Sudirmanstraat yang memiliki menara dan di atasnya ada sebuah lonceng.”
Tiba-tiba hujan turun membasahi bumi. Tedjo dan Cornelia berhenti di sekitar Klenteng yang dekat dengan rumah Tiok untuk berteduh.
Dari kejauhan terlihat iring-iringan mobil dan motor menerobos dinginnya malam dan hujan. Datanglah pasukan keamanan dengan senjata laras panjang.
“Halo. Selamat malam. Apaka benar, saudara bernama Tedjo Djoko Djatikoesoemoe?”
“Ya, Pak.”
“Mari ikut saya ke kantor.”
“Ini ada apa, Pak? Saya salah apa?”
Hujan menjadi saksi bisu perpisahan Tedjo dengan Cornelia malam itu. Tedjo dibawa ke Police Station, dan ia tak tahu mengapa harus dibawa ke Police Station.
Bersambung….