Ledre merupakan makanan khas identik Bojonegoro. Bahkan kerap dijadikan label nama Kabupaten Bojonegoro. Tapi tahu nggak sih Nabs, kalau Ledre lahir dari orang Tionghoa yang berada di Bojonegoro?
Banyak yang sudah tahu bagaimana rasanya Ledre. Tapi, mungkin baru sedikit yang paham asal-usul jajanan yang menjadi atribut kota Bojonegoro tersebut.
Nabs, di Bojonegoro, Ledre mulai populer pada dekade tahun 1930-an. Makanan ini pertama kali populer sebagai produk Industri Rumah tangga di Kecamatan Padangan, Bojonegoro.
Ledre berbentuk seperti gulungan surat jaman kerajaan, dengan ukuran lebih kecil. Selain rasanya sangat manis, Ledre memiliki aroma khas pisang raja yang sangat menyengat.
Bentuk Ledre, hampir sama kayak Gapit (bjajanan emping berbentuk gulungan). Perbedaan Ledre dengan Gapit adalah tekstur Ledre lebih halus dibanding Gapit.
Ledre terbuat dari pisang raja. Sebenarnya, tidak hanya pisang raja yang bisa diproduksi menjadi Ledre. Sejumlah pisang seperti saba, hijau juga bisa dibuat Ledre.
Sejumlah pengrajin Ledre menggunakan pisang raja karena ada kemewahan dan sengatan aroma khas pisangnya lebih dominan. Ini alasan utama kenapa pisang raja menjadi bahan utama. Sebab, pisang lain tak punya aroma sekuat pisang raja.
Ledre, lahir pertamakali di kawasan Pecinan Padangan. Kawasan mayoritas dihuni masyarakat Tionghoa tersebut, berbatasan langsung dengan sungai Bengawan Solo.
Ledre lahir pertamakali di sebuah rumah berplang nama Ny. Seger yang terdapat di Pecinan Padangan. Lokasinya tepat berada di depan Gereja Padangan — adalah lokasi lahirnya Ledre. Dari keterangan Ny. Seger, Ledere mulai hadir pada 1929-1930.
Ny. Seger merupakan keturunan kedua dari sang penemu Ledre. Awalnya, ibu dari Ny. Seger membuat Ledre dengan bahan sederhana. Ledre dibikin pertamakali dengan bahan gaplek (singkong yang dikeringkan).
Gaplek tersebut dikeringkan lalu dicampur dengan tepung beras. Namun tetap menggunakan pisang sebagai bahan utamanya. Penggunaan gaplek, disebabkan sulitnya bahan baku.
Seiring berkembangnya waktu, dan mudah ditemukannya bahan baku, Gaplek sudah tidak digunakan lagi, dan mulai bermunculan kreasi-kreasi kombinasi rasa pada jajanan ini, seperti Ledre rasa coklat, durian dan berbagai variasi rasa.
Nama Ledre, berasal dari kata dielet-elet dan diedre-edre. Sebab, membuatnya ditaruh di wajan (penggorengan) dan di Elet-elet di Edre-edre untuk meratakannya.
Dan dari proses pembuatan yang dielet-elet dan di edre- edre inilah, Nabs, lahir sebuah jajanan sederhana yang kini menjadi Ikon kota Bojonegoro.
Sampai hari ini, produk Ledre justru dibikin oleh pengrajin yang notabene di luar Kecamatan Padangan. Para pengrajin mengolah secara pribadi di rumah-rumah, setelah itu disetor ke toko-toko besar di Padangan.
Daerah-daerah penghasil Ledre rumahan ini meliputi kawasan Tambakrejo dan Purwosari dan kemudian mereka menjual hasil produksi mereka ke Padangan dalam bentuk ledre jadi, tanpa kemasan.
Sesampainya di Padangan, Ledre dikemas sedemikian rupa hingga dengan berbagai label kombinasi rasa. Sehingga, jadilah Ledre khas dengan kombinasi rasa yang sangat menarik.
Ledre tak hanya jadi jajanan khas Bojonegoro saja. Lebih dari itu, Ledre telah menjadi ikon bumi Angling Dharma.