Tampangnya cukup garang. Tidak mudah tersenyum. Hampir tiap pertandingan bola yang melibatkan stadion Letjend Soedirman, dia selalu berada di pojokan gawang lawan. Di lapangan, dia punya banyak peran. Sesekali fotografer, berkali-kali jadi tukang teror kiper lawan.
Matanya sangat tajam. Urusan membidik angle bergerak, dia teramat jago. Sebagai seorang lelaki muda, dia sangat jarang berbicara. Seperti ada yang dia peram di dalam kepala, sebelum benar-benar dibicarakan. Dia sangat ahli berkamuflase dalam kerumunan, sehingga sulit mengenalinya saat banyak penonton.
Dalam hal memegang kamera dan mengkondisikan massa, dia sangat lincah dan cekatan. Cara berjalannya pun sangat cepat. Branda butuh 4 kali pertandingan— yang artinya 4 kali beli tiket masuk stadion — untuk bisa menemuinya dari jarak dekat.
** **
Stadion masih sangat riuh. Suara suporter bertalu-talu. Pertandingan Persibo Bojonegoro vs Persema Malang masih belum selesai. Menyisakan waktu 15 menit. Lelaki yang mengalungkan kamera di leher itu masih terlihat seliweran di dekat bench pelatih. Ini waktu yang tepat untuk menemuinya. Sebab, bisa dipastikan, 5 menit lagi dia akan menghilang.
Dalam waktu 5 menit itulah, Branda mempertaruhkan banyak hal. Harus kehilangan uang tiket sebanyak 4 kali atau harus bisa menangkap dan mengajak berbicara lelaki misterius tadi. Sebab, di tiap 10 menit akhir pertandingan, lelaki itu selalu berhasil lenyap ditelan kerumunan.
** **
Lelaki itu tampak merunduk sambil sibuk memeriksa hasil jepretan kamera. Dengan terengah-engah, Branda berhasil mendekatinya. Branda menyempatkan diri melolos sebatang kretek sebelum mengajak lelaki itu berbicara.
“Hei, bisakah aku berbicara denganmu sebentar?”
Lelaki itu sempat melirik Branda, namun kembali sibuk menatap kamera, dan seolah tak menganggap kehadiran Branda. Branda sempat menyapanya sebanyak dua kali. Namun, dua kali pula lelaki itu mengabaikan sapaan Branda. Sebuah sikap yang membikin Branda sempat emosi.
“Hei lelaki jomblo, bolehkah aku berbicara denganmu?” Ucap Branda cukup keras, sehingga riuh stadion pun seolah tak mampu menutupi suara tersebut.
“Apa?”, Jawab lelaki itu sambil menatap Branda, “Aku tak bisa mendengar dengan jelas.”
“Iya, kau lelaki jomblo!.”
“Dari mana kau tahu aku seorang jomblo?”
“Ada dua indikator utama. Pertama, cara berjalanmu sangat cepat, ciri lelaki yang tak pernah berjalan dengan perempuan. Kedua, dari tadi kau hanya sibuk mencari foto suporter perempuan. Hanya lelaki jomblo yang bisa melakukan dua hal itu secara bersamaan.” Ucapnya sambil mengembuskan asap kretek.
Lelaki itu tercekat. Kameranya tak lagi dia perhatikan. Dia sempat menundukkan pandangan sebelum akhirnya mendekat sembari mengulurkan tangan, ” Masnya siapa? Ada yang bisa saya bantu?”
“Aku Branda. Aku ingin berbicara sebentar denganmu,” jawab Branda dengan nada yang agak diperhalus.
“Oke, Mas. Di warung pojokan stadion.” Jawabnya, beberapa menit kemudian, dia telah hilang ditelan kerumunan suporter.
** **
Dia menyeruput teh hangat dengan penuh ketenangan. Di luar stadion, dia terlihat lebih lembut. Matanya tak seliar saat berada di dalam stadion. Cara berjalannya pun lebih tenang, dengan gaya bicara yang sangat sopan. Bahkan, yang mengherankan, dia tidak merokok.
Di dalam stadion, ternyata dia berupaya membangun aura garang karena baginya, itu dibutuhkan. Setidaknya untuk mengokang psywar di mata suporter lawan. Tanpa itu, suporter lawan bisa semena-mena menginjak stadion kebanggaannya. Itu Branda ketahui setelah lelaki tersebut menceritakan semua alasannya.
“Aku tak se-sangar itu. Aku memasang wajah sangar karena di dunia kompetisi bola, itu dibutuhkan,” ucap lelaki itu menjelaskan.
“Iya, aku baru sadar ternyata kamu lelaki yang lucu. Maaf, tadi sempat mengejekmu jomblo.”
“Hahaha… Aku benar-benar kaget mendengar dua hipotesis itu. Tapi, asal kau tahu, dua hipotesis itu justru jadi bukti empirik bahwa aku lelaki yang setia”
“Maksudnya?”
“Pertama, aku tak akan betah berlama-lama jalan dengan perempuan, jika ia bukan perempuan yang spesial di hatiku. Kedua, di antara ribuan perempuan suporter yang ada di dalam stadion, kau tahu, tadi aku hanya membidik satu orang dengan puluhan posisi angle yang berbeda.”
Mendengar alasan itu, Branda hampir terlonjak dari kursi dan tersedak asap rokok. Dia benar-benar tak mengira jika lelaki itu punya kecakapan Moriarty atau bahkan kemampuan Taichi dalam hal berdebat.
“Apa yang membuat sampean mencariku?” Tanya lelaki itu.
Branda langsung bercerita tentang awal mula dia mengamati si lelaki yang saat ini berada di depannya tersebut. Tentang banyaknya riwayat jejak digital yang dia telusuri dan pada akhirnya berhenti dan merujuk pada seorang lelaki bernama Rabka Fudin tersebut.
Tidak berhenti sampai di situ, Branda juga bercerita tentang Panadigma, visi-misinya hingga alasan kenapa Fudin harus bergabung di dalamnya. Pemilihan dan pencarian Fudin, jelas Branda, bahkan sudah melewati banyak pertimbangan.
“Jadi, bagaimana menurutmu?” Tanya Branda mengakhiri penjelasan panjang.
“Aku siap. Aku mau. Aku punya passion di situ. Terlebih, secara pribadi, aku memiliki visi yang sama dengan Panadigma.” Jawabnya.
“Tapi tantangannya berat. Apa kau siap?”
“Tak ada yang lebih berat dari menjaga setia pada seorang perempuan, di tengah maraknya goda yang hampir tiap hari menghampiri. Aku bahkan siap mencari lima orang yang sesuai kriteria Panadigma.” Jawabnya tegas seperti menghafal Pancasila.
“Terimakasih, di sini ada alamat dan sebuah tanggal. Kami menunggumu di sana.” ucap Branda sambil memberi sepucuk kertas bertuliskan waktu dan sebuah tempat.