Dua dunia seorang perempuan Yahudi Muslimah Mesir.
“KE MANAKAH aku harus melangkah? Tetap menetap di Mesir atau pindah ke Israel?”
Betapa kerap pertanyaan yang demikian itu “membara” dalam benak Zeynab. Pertanyaan yang membuat Zeynab tak kuasa tidur. Berhari-hari. Bingung dan sangat galau, setiap kali ia teringat posisi dirinya saat itu.
Mungkin, pertanyaan itu tak akan menghantui benaknya, andai ia sebagai seorang Muslimah Mesir. Namun, takdir perjalanan hidupnya menentukan lain. Ia lahir sebagai seorang perempuan berdarah Yahudi, dengan nama kecil Lucianne Hannedy, yang menetap di lingkungan keluarga Yahudi di Kairo, Mesir. Malah, ia kemudian juga tumbuh dewasa tetap sebagai seorang perempuan Yahudi Mesir. Tak aneh jika ia kemudian juga menikah dengan seorang anak muda berdarah Yahudi Mesir, Zaki Raul, dan dikaruniai dua anak: Yitzhak dan Yasmine.
Namun, perkawinan Lucianne Hannedy, atau Lucy, dengan Zaki Raul tidak berlangsung mulus. Akhirnya, mereka bercerai. Lewat profesinya sebagai seorang manikur papan atas, akhirnya Lucy bertemu dengan dua lelaki Muslim: Abdurrahman Bey dan Shawkat Bey. Pertama-tama, ia menikmati hidup dengan Abdurrahman Bey. Namun, akhirnya, hatinya bertambat pada seorang bangsawan kaya dan tampan: Shawkat Bey. Lewat pernikahan Lucy dengan bangsawan Muslim tersebut, mereka dikaruniai seorang anak perempuan cantik: Hagar. Dan, sejak menikah dengan Shawkat Bey, Lucy kemudian memeluk Islam dan memilih sebuah nama baru: Zeynab.
Semula, hubungan antara Zeynab dengan mantan suaminya dan dua anaknya yang berdarah Yahudi tersebut berjalan lancar. Namun, kemudian, dengan berdirinya Israel dan terjadinya konflik Mesir-Israel, membuat Zeynab terjerembab dalam “pusaran” persoalan berat. Apalagi, selepas mantan suaminya dan kedua anaknya migrasi ke Paris dan kemudian pindah ke Israel. Dengan kejadian tersebut, kini, kedua kaki Zeynab seakan berada di dua negara: Mesir dan Israel. Dan, dua anaknya, dari perkawinan dengan Zaki Raul, menjadi lawan Hagar, anaknya dari perkawinannya dengan Shawkat Bey.
Ke manakah ia harus memilih dan memihak? Memihak Mesir atau memihak Israel? Sebagai seorang perempuan Yahudi, tentu ia memihak Israel. Namun, ia juga seorang Muslimah, akankah ia memihak Israel?
Novel menawan yang kemudian dituangkan menjadi film ini, dengan judul asli Lâ Tatrukûnî Hunâ Wahdî (Jangan Kalian Tinggalkan Aku Sendiri di Sini), merupakan karya seorang penulis, jurnalis, novelis, dan editor kondang Mesir, Ihsan Abdel Quddous (1919-1990), yang mendalami kelompok Yahudi di Mesir. Lewat novel yang sarat kejutan ini, kita akan “mengenal” kehidupan sebuah keluarga Yahudi di Mesir. Sebelum dan selepas berdirinya Israel pada 1948 hingga meletusnya Perang 6 Oktober 1973 atau Perang Ramadan 1973 dan Perang Yom Kippur.
Alhamdulillah, novel menarik yang menuturkan “cara berpikir” dan kegelisahan seorang Muslimah Yahudi Mesir ini, dini hari tadi, rampung saya edit ulang. Semoga segera dapat panjenengan nikmati!