Banyak Pahlawan Bojonegoro yang namanya dihilangkan Londo Jowo, tapi diabadikan dan dikagumi Londo Holland. Tokoh dari Bojonegoro ini, banyak menginspirasi Pangeran Diponegoro dalam menyusun strategi Perang Jawa.
Sebelum 1828 M, Bojonegoro masih bernama Jipang, dengan kabupaten mandala meliputi; Panolan, Padangan, Rajekwesi, Tinawun, Sekaran, dan Bowerno (Raffles dan Carrey). Pada 25 September 1828 M, nama Jipang diganti Belanda menjadi Bojonegoro. Penggantian nama ini, baru dilakukan pada masa Perang Jawa (1825 – 1830 M).
Jipang dikenal sebagai “Tanah Para Pejuang” dari zaman ke zaman. Perang Jawa (1825-1830 M) yang maha dahsyat itu misalnya, secara empiris, disulut dan dipicu dan dimulai di Jipang. Untuk kemudian diledakkan secara beruntun di berbagai titik Pulau Jawa. Besarnya pengaruh Jipang ini memang berupaya dihilangkan Londo Jowo. Namun, Londo Holland justru mengabadikannya.

Untuk melihat kedigdayaan Jipang sebelum Perang Jawa, kita bisa membaca banyak literatur. Dari Raffles, Carrey, hingga Lombard menyinggung kedigdayaan Jipang. Mereka seolah menulis: Membahas Pulau Jawa tak mungkin meninggalkan Jipang. Karena posisi penting inilah, Londo Jowo berupaya menghilangkan jejak Jipang, melalui dedongengan yang sesungguhnya ditulis belum lama.
Macan Alas Jati
Pasca Perjanjian Giyanti (1755 M), Jipang masuk wilayah Kesultanan Jogjakarta, bukan Kasunanan Surakarta. Tentu, ini sesuai karakter “Leluhur Jipang” yang tak pernah tunduk pada Konsorsium Imperialis. Pasca Perjanjian Giyanti (1755), Jipang dikenal sebagai wilayah Mancanegara Wetan Kasultanan Jogjakarta.
Perjuangan Macan Alas Jati dimulai ketika Willem Daendels menerapkan monopoli kayu jati pada 1808 M. Ia meminta semua bupati untuk patuh pada aturan monopoli itu. Namun, ada tiga bupati “Mancanegara Wetan” yang tak mau tunduk. Ketiganya adalah Panolan, Padangan, dan Madiun.

Residen Belanda di Jogjakarta, Gustaf Wilhem Wiese, melalui surat yang dikirim dari Rembang, bahkan meminta secara khusus Panolan, Padangan, dan Madiun untuk mendengar intruksi Daendels. Wilhem Wiese menyebut Panolan dan Padangan sebagai Mancanegara Wetan yang paling kaya akan hutan jati purbanya.
Daendels dan Wiese juga tahu, Mancanegara Wetan sangat terkenal sebagai pusat habitat macan. Baik macan dalam arti hewan, atau dalam arti ancaman. Macan dalam arti hewan, Pieter Gulin menulis bahwa hutan Mancanegara Wetan, khususnya di antara Jipang dan Ngawi, adalah pusat habitat macan Jawa. Saat ia melakukan perjalanan melintasi lokasi itu, ia banyak menemui macan yang berkeliaran di jalan.
Sementara Macan dalam arti ancaman, orang-orang Belanda punya trauma buruk di Mancanegara Wetan. Pada 25 Mei 1808, sebanyak 250 Brandal Alas muncul dari hutan Mancanegara Wetan. Mereka membuat kerusuhan dan memberontak pada Belanda. Para Brandal Alas inilah, yang mereka sebut sebagai “Wong Durjana”, Macan Alas dari Tepi Bengawan.
Selain History of Java (Raffles), Power of Propechy (Carrey), State Forest Management in Colonial Java (Peluse), literatur Monopoli kayu di Mancanegara Wetan ini juga banyak dicatat para penulis Belanda. Termasuk Pieter Gulin dalam catatan perjalanannya melintasi Mancanegara Wetan.
Raffles dan Peluse mencatat kesengsaraan masyarakat akibat monopoli kayu jati yang dilakukan Daendels. Dan ini jadi alasan utama tiga Bupati Mancanegara Wetan tak mau tunduk. Bahkan berfatwa untuk melawan. Ketiganya adalah Raden Ronggo Madiun, Raden Sumonegoro Padangan, dan Raden Notowijoyo Panolan.
Heroisme Pertempuran Hutan Jati
15 tahun sebelum Perang Jawa (1825-1830 M), tepatnya pada 1810 M, Willem Daendels berupaya melumpuhkan ketiganya. Sebab, di saat semua bupati patuh, ketiganya justru melakukan perlawanan. Tiga bupati itu di-TO karena tak patuh pada Daendels. Carrey menyebut, inilah momen di mana sumbu ledak Perang Jawa dinyalakan.
Demi melindungi hutan jati Mancanegara Wetan, tiga bupati (Panolan, Padangan, dan Madiun) itu menyalakan perlawanan. Mereka tak mau hutan jati milik rakyat diambil Daendels begitu saja. Ini alasan Raden Notowijoyo, Raden Sumonegoro, dan Raden Ronggo dikenal sebagai Tijger van Jati, Macan Alas Mancanegara Wetan.
Sebuah fakta nan epik. Ketiga bupati itu memiliki nama lengkap yang senada. Raden Notowijoyo III, Raden Sumonegoro Malangnegoro III, dan Raden Ronggo Prawirodirjo III. Ya, benar sekali. Ketiganya adalah cucu dari para pejuang Perjanjian Giyanti (1755). Tak heran jika kini mereka melanjutkan perjuangan sang kakek.
Raden Ronggo Madiun dan Raden Sumonegoro Padangan melakukan perlawanan secara langsung. Sementara Raden Nitowijoyo Panolan tak ikut berperang secara langsung, tapi membantu mensuplai pasukan dan perbekalan senjata.
Engelhard menyebut Raden Ronggo Madiun dan Raden Sumonegoro Padangan sebagai Rubah yang Tak Tersentuh. Dalam perlawanan ini, keduanya membawa spirit leluhur. Raden Ronggo menggelari dirinya “Prabu Ingalaga”. Sementara Raden Sumonegoro menggelari dirinya “Panembahan Senopatiningprang”.
Raden Ronggo Madiun dan Raden Sumonegoro Padangan adalah kawan sejak kecil. Mereka dipersatukan Sang Kakek. Raden Ronggo adalah cucu Kiai Wirosentiko Madiun (Raden Ronggo I), Panglima Perang Sultan Hamengkubuwana I. Raden Sumonegoro adalah cucu Kiai Tjarangsoko Padangan (Malangnegoro I), penasehat Sultan Hamengkubuwana I.
Kiai Wirosentiko Madiun (Raden Ronggo I) dan Kiai Tjarangsoko Padangan (Raden Malangnegoro I) adalah pejuang Perjanjian Giyanti (1755) yang berpihak pada Kesultanan Jogjakarta. Cukup mendengar nama keduanya, Londo Holland dan Londo Jowo sudah sangat gemetar.
Kiai Wirosentiko Madiun (Raden Ronggo I) adalah Bupati Madiun yang memerintah 1760 – 1784 M. Sementara Kiai Tjarangsoko Padangan (Malangnegoro I) adalah Bupati Padangan yang memerintah 1746 – 1752 M. Spirit keduanya, kelak dilanjutkan para cucunya: Raden Ronggo Madiun dan Raden Sumonegoro Padangan.
Melawan Londo Jowo dan Londo Holland
Perlawanan yang disulut Raden Ronggo dan Raden Sumonegoro terjadi pada 20 November – 17 Desember 1810. Mereka hanya membawa 300 pasukan. Sementara Kubu Daendels yang menyiapkan 3000 pasukan, ternyata justru kewalahan. Meski hanya 300 pasukan, Raden Ronggo dan Raden Sumonegoro mampu membuat 3000 pasukan Daendels kewalahan.
Hutan Jati dan pinggir Bengawan adalah habitat Macan Alas Jati, tempat riyadhoh bagi para Santri Teluk Blangkon Hitam yang, oleh Belanda, dijuluki sebagai Brandal Alas. Ini alasan 300 pasukan Raden Ronggo dan Raden Sumonegoro jadi berlipat ganda mendominasi pertempuran.
Karena tak mau kelihatan kalah, seperti biasa, kubu Daendels meminta bupati lainnya untuk membantu melumpuhkan dua Macan Jati dari Mancanegara Wetan itu. Sialnya, banyak pula bupati-bupati yang patuh pada Daendels dan Belanda. Ya, Londo Jowo adalah penyakit lama.

Di antara “Londo Jowo” yang membantu Penjajah Daendels adalah; Raden Pringgakusuma (Bupati Tulung Agung), Raden Yudakusuma (Bupati Wirasari), Raden Mangundirana (Bupati Kalangbret), dan Raden Sasrakusuma (Grobogan). Ini belum termasuk para pejabat Kasunanan Surakarta yang sejak awal sudah membudak pada Penjajah Daendels. (surat dari A.H Smisseart pada Pieter Engelhard 3-12-1810).

Perlawanan Raden Ronggo Madiun dan Raden Sumonegoro Padangan berhenti setelah pengepungan dilakukan Londo Jowo dan Londo Holland pada 17 Desember 1810. Mereka wafat dengan hormat di hutan pinggir Sungai Bengawan, tempat yang selama ini mereka pertahankan.
Dua jam setelah Raden Ronggo dan Raden Sumonegoro gugur, seluruh Bupati Jipang datang ke lokasi. Di antaranya; Raden Sasradiningrat (Jipang Rajekwesi), Raden Prawirasentika (Jipang Bauwerna), Raden Natadiwiria (Jipang Dhuri), dan Raden Prawirayuda (Jipang Pasekaran). Ini sesuai data dari Surat Lucas Leberveld pada Pieter Engelhard.
Melihat kawan dan saudaranya itu gugur di medan tempur, Para Bupati Jipang yang datang itu hanya bisa menangis dan bersedih. Sebab, mereka tahu jika perjuangan keduanya itu Sabilillah, tapi mereka tak mampu berbuat apa-apa karena tekanan yang mereka dapatkan. Tak lama setelah mendengar dua karibnya gugur di medan perang, Raden Notowijoyo Panolan dilaporkan sakit dan wafat.
Jenazah Raden Ronggo Madiun dan Raden Sumonegoro Padangan dibalut kain kafan berlapis doa dan penghormatan, untuk kemudian dibawa ke Jogjakarta. Melihat dua jenazah berbalut doa itu dibawa ke alun-alun Jogja, dari kejauhan, mata Pangeran Diponegoro muda tampak nanar menahan ombak keharuan, dengan tubuh tergetar yang tak mampu ia kendalikan.
Perang Jawa Dimulai..
Apapun hasilnya, setiap perjuangan tak pernah sia-sia. Perjuangan Raden Ronggo Madiun, Raden Sumonegoro Padangan, dan Raden Notowijoyo Panolan pada 1810 M, tak pernah sia-sia. Mereka adalah perintis Perang Jawa (1825 M), perjuangan yang lebih sistematis dan kian dahsyat.
Raden Notowijoyo Panolan adalah ayah mertua Pangeran Diponegoro. Dari mertuanya itu, Pangeran Diponegoro tahu betapa perjuangan wajib dilakukan. Notowijoyo Panolan juga keluarga Raden Sosrodilogo. Ini salah satu suplemen kenapa Perang Jawa (1825-1830 M) harus dilakukan secara lebih sistematis.
Raden Sumonegoro Padangan adalah ayah dari Raden Ayu Padangan (Raden Ayu Sepuh), istri dari Kiai Mojo, paman dari Pangeran Diponegoro, yang kelak menjadi penasehat dan panglima besar dalam Perang Jawa (1825-1830 M).
Raden Ronggo Madiun adalah ayah dari
Sentot Ali Basha, Panglima Besar dalam Perang Jawa (1825 – 1830 M) yang dikenal memiliki kelihaian dalam strategi perang. Sentot Ali Basha mewarisi keberanian sang ayah, Raden Ronggo.
Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo, Raden Sosrodilogo, dan Sentot Ali Basha adalah tokoh sentral Perang Jawa (1825 – 1830 M) yang bersanad lurus pada Raden Ronggo Madiun, Raden Sumonegoro Padangan, dan Raden Notowijoyo Panolan dalam perlawanan Hutan Jati (1810 M).
Sementara Raden Ronggo Madiun, Raden Sumonegoro Padangan, dan Raden Notowijoyo Panolan adalah tokoh sentral dalam Perlawanan Hutan Jati (1810 M) yang bersanad lurus pada Raden Wirosentiko Ronggo I, Raden Tjarangsoko Malangnegoro I, dan Raden Notowijoyo I dalam Perjanjian Giyanti (1755 M).
Dari perjuangan berlapis tiga zaman itu, musuh yang dihadapi para pejuang tetap sama. Yaitu Londo Jowo yang berperan sebagai Zetsu (mata-mata) di tiap pergolakan zaman. Tugas unik para mata-mata itu, diumbar Peter Carrey dalam Power of Prophecy sebagai “entitas” yang memata-matai Raden Ronggo.