Tlatah Njipangan sebagai Wangsa Bengawan, punya peran penting dalam menghubungkan peradaban Pesisir dan Pegunungan. Baik di era Hindu Budha maupun era Islam.
Jipang adalah nama kuno dari Bojonegoro, separuh Blora, dan sebagian Tuban. Sesuai catatan Peta Raffles (1811 M), wilayah Jipang membentang dari Jipang Hulu (Margomulyo – Menden Blora) hingga Jipang Hilir (Baureno – Rengel Tuban). Menyimpul dan menghubungkan Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Tlatah Jipang selalu menjadi vasal istimewa di tiap era Kemaharajaan. Tercatat sejak Medang Kuno, Medang Kahuripan, Singashari, Majapahit, Demak, hingga Kesultanan Pajang, Tlatah Jipang selalu berperan sebagai gerbang perekonomian dan pengendali gerak zaman.
Baca Juga: Serat Nitisruti, Pusaka dari Kesultanan Pajang
Dalam Prasasti Pucangan (1041 M), Raja Airlangga menganggap Lwaram (Jipang) sebagai pengendali pralaya. Dalam konteks ini, dimungkinkan sebagai titik tengah antara Medang Kuno (pegunungan) dan Sriwijaya (pesisir). Ini alasan Raja Airlangga membangun kanal Bengawan Sore sebagai sebuah penghargaan.
Secara ilmiah dan empiris, nama Jipang tercatat pada 1248 M, sebagai tanah istimewa yang mampu menyatukan Jenggala (peradaban pesisir) dan Panjalu (peradaban pegunungan). Peran penting Tlatah Jipang itu, bahkan membuat Raja Wisnuwardhana menasbihkan tanah Maribong (bagian dari Jipang), sebagai Tanah Para Brahmana.
Dalam Prasasti Maribong (1248 M), Raja Wisnuwardhana (Raja Singhasari) menulis, Para Brahmana Tlatah Jipang telah membantu leluhurnya dalam menyatukan kembali Pulau Jawa, yang sempat terpisah menjadi dua (Jenggala dan Panjalu). Atas bantuannya itu, Tumapel ( kelak menjadi Singashari) pun bisa lahir dan berdiri.
Para Brahmana Jipang pernah membantu Raja Ken Arok (pendiri Tumapel / Singashari dan leluhur semua Raja Majapahit) dalam menyatukan Pulau Jawa. Karena jasa besar itulah, Raja Wisnuwardhana, yang merupakan penerus dari Raja Ken Arok, menobatkan Maribong (bagian dari Jipang) sebagai tanah perdikan Para Brahmana.
Baca Juga: Prasasti Maribong, Jejak Ilmiah Raja Wisnuwardhana di Bojonegoro
Para Brahmana Jipang punya jasa besar bagi Kerajaan Singashari. Ini alasan Raja Wisnuwardhana dan semua anak keturunannya, termasuk kelak Raja Hayam Wuruk (Maharaja Majapahit), sangat hormat dan takdhim pada Tlatah Jipang. Sebab, Brahmana Jipang punya jasa besar bagi para leluhur mereka. Jasa berupa penyatuan kembali Pulau Jawa.
Maka tak heran ketika dalam Prasasti Canggu (1358 M), penguasa terbesar Majapahit itu memberi cukup banyak titik Naditira Pradeca (pelabuhan sungai) di sepanjang Tlatah Jipang. Seperti dicatat J. Noorduyn dalam Further Topographical Notes on the Ferry Charter of 1358, ada sebanyak 18 titik pelabuhan Naditira Pradeca di sepanjang Tlatah Jipang.
Naditira Pradeca itu dibuka dari Jipang Hilir (Baureno), dan ditutup hingga Jipang Hulu (Margomulyo). Secara ilmiah, Prasasti Canggu (1358 M) telah memperkuat trademark Jipang sebagai Wangsa Bengawan. Penguasa dan pengendali transportasi sungai Bengawan.
Selain memberi banyak titik pelabuhan Naditira Pradeca, Raja Hayam Wuruk juga menjadikan Tlatah Jipang sebagai vasal istimewa. Terbukti, Jipang menjadi vasal yang tak dipimpin Bhre (Bathara). Sebab, telah ditasbihkan sebagai Tanah Brahmana oleh Raja Wisnuwardhana, raja yang juga leluhur dari Raja-raja Majapahit.
Di Tlatah Jipang, transisi dari zaman Hindu Budha ke zaman Islam, terjadi secara damai tanpa peperangan. Hal ini sering diceritakan Gus Dur. Sebab, tokoh-tokohnya adalah para Brahmana, orang-orang suci yang punya kebijaksanaan tinggi. Baik dari unsur Brahmana Hindu Budha maupun Brahmana Islam (Para Waliyullah).
Gerbang Masuknya Islam
Hikayat Banjar mencatat Jipang sebagai pintu gerbang masuknya Islam ke wilayah pedalaman (pegunungan). Islam bisa masuk ke pedalaman Jawa, setelah melewati pintu gerbang bernama Tlatah Jipang. Sebab, kala itu, Bengawan menjadi satu-satunya wasilah penghubung antara Pesisir dan Pegunungan.
Hikayat Banjar juga menyebut Jipang sebagai wilayah awal yang mengenal Islam di pedalaman Jawa. Data ini empiris. Islam masuk di Jipang pada Masa Keemasan Majapahit. Atau zaman pemerintahan Hayam Wuruk. Pada tahun 1344 M, Jipang sudah dipenuhi masyarakat muslim.
Dalam buku The Passing Over, Gus Dur mencatat bahwa Sayyid Jamaluddin Husain (Syekh Jimatdil Kubro) berdakwah di Jipang pada 1344 M. Data ini diperkuat History of Java yang menulis, Syekh Jimatdil Kubro berdakwah dan menetap di Gunung Jali Tegiri (Jipang), sejak Masa Keemasan Majapahit (1350-1389 M).
Seperti yang kerap diceritakan Gus Dur, Mbah Jimatdil Kubro membawa misi dakwah berbasis budaya lokal. Dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat Hindu Budha, menjadikan Islam Jipang memiliki corak dan karakter yang khas. Yaitu Islam damai dan toleran. Perpaduan tradisi Hindu Budha Jawa dan Sufi Persia.
Dakwah damai khas Syekh Jimatdil Kubro ini, kelak dilanjutkan para santrinya yang dikenal dengan Kramat Songo. Pada era berikutnya lagi, dakwah penuh toleransi juga kembali dilanjutkan sosok Wali Besar bernama Sunan Ngudung (Sunan Jipang Panolan). Data ini tercatat jelas dalam Kitab Tarikh Aulia.
Peradaban dan Budaya Jipang
Budaya Jipang bukan budaya Pesisir, juga bukan budaya Pegunungan. Budaya Jipang menyerap keduanya sebagai kultur Bengawan. Karakter masyarakat Jipang (Njipangan) mampu mengendalikan ganasnya ombak pesisir dan kerasnya batuan pegunungan.
Berbagai budaya dan kesenian yang kelak lahir di Tlatah Jipang, adalah perpaduan antara unsur pesisir dan pegunungan. Musik dan kesenian Jipangan, terbentuk dari maskulinitas ombak pesisir dan feminimitas angin pegunungan. Sayangnya, sikap inferior membuat khazanah itu hampir terlupakan.
Tlatah Jipang sebagai Wangsa Bengawan, memiliki peran penting sebagai penghubung peradaban pesisir dan pegunungan. Ia juga jadi pengendali lalu lintas ekonomi antara Pesisir dan Pegunungan. Hal ini menjadikan Jipang punya peran strategis dalam berbagai aspek. Terutama aspek ideologi, ekonomi, dan kesejahteraan.
Maka bukan kebetulan jika Tlatah Jipang punya peran penting di tiap Kemaharajaan. Sebab, ia berada di posisi kunci gerak zaman. Tercatat sejak era Medang Kuno, Medang Kahuripan, Singashari, Majapahit, Demak, hingga Kesultanan Pajang, nama Tlatah Jipang terukir abadi sebagai titik pengendali gerak zaman.