Di balik ringkihnya kodrat tulang rusuk, ancaman kematian dan penderitaan pun bisa ditebas oleh ketulusan menjalankan peran.
Saya baru saja menyelesaikan satu bab buku tentang kisah Malala Yousafzai yang saya beli di Gramedia Kota Balikpapan pagi itu. Buku bersampul gadis Suku Pushtun beragama Islam Sunni yang tengah tersenyum, namun agak kaku.
Lalu, tiba-tiba pandangan saya terhenyak saat melihat running text di sebuah televisi swasta memberitakan tragedi mengerikan itu. Ya, milisi Taliban Pakistan dalam berita itu, menyebut bertanggung jawab atas aksi brutalnya menembaki ratusan pelajar di sekolah khusus militer Peshawar.
Menurut juru bicara Taliban, Muhammad Umar Khorasani, aksi brutal itu sebagai serangan balasan kepada aparat militer di utara Waziristan. Ada banyak kisah heroik di balik peristiwa itu, seorang guru ada yang rela membentengi dirinya saat milisi menyerbu ruangan dan berteriak agar anak didiknya lari.
Dia akhirnya gugur diterjang peluru Taliban, rela menjadi martir. Lalu kisah seorang anak yang satu-satunya selamat dari tragedi itu, karena lupa menyalakan weker sehingga telat ke sekolah.
Betapa mencekamnya drama yang menyisakan genangan darah dan tembok-tembok sekolah yang berlubang di sana-sini setelahnya itu.
Siapa itu Malala Yousafzai?
Sembilan bulan setelah seorang anggota Taliban menembakkan peluru ke kepalanya, ketika sedang berada di bis karena menuntut pendidikan untuk anak perempuan di Lembah Swat di Pakistan, Malala Yousafzai mendapat sambutan bergemuruh berkali-kali ketika berbicara di hadapan Majelis Pemuda Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat.
Dia begitu bersemangat menceritakan peristiwa paling tidak terlupakan seumur hidupnya, seolah-olah lupa pernah ada peluru bersarang di kepalanya. Dia memberi pidato di hadapan hampir seribu pelajar dari seluruh dunia, dan pidatonya mendapat pujian yang luas.
Gadis lahir pada 1997 itu mengatakan, serangan atas dirinya tidak mengubah semangatnya untuk membela pendidikan bagi anak perempuan.
“Mari kita angkat buku dan pena kita, mereka adalah senjata yang terkuat,” katanya.
“Satu orang anak, satu orang guru … bisa mengubah dunia.” Pekiknya berapi api
Dengan mengenakan jilbab berwarna merah muda dan syal yang dimiliki oleh pemimpin Pakistan yang terbunuh, Benazir Bhutto, Malala mengatakan dia tidak ingin melakukan tindakan balas dendam atas lelaki yang menembaknya.
“Saya ingin pendidikan bagi anak laki-laki dan perempuan para anggota Taliban dan teroris dan ekstremis,” katanya.
“Pendidikan adalah satu-satunya solusi.
“Mereka menembak teman-teman saya juga. Mereka kira peluru akan membungkam kita. Tapi mereka gagal dan dari kebungkaman, kini muncul ribuan suara.
“Para teroris berpikir mereka bisa mengubah tujuan dan ambisi saya, tapi tidak ada yang berubah dalam hidup saya kecuali ini: kelemahan, rasa takut dan rasa putus asa telah mati
“Saya tidak membenci anggota Taliban yang menembak saya. Bahkan kalau ada senjata di tangan saya dan dia ada di hadapan saya sekarang, saya tidak akan menembaknya.”
Malala Yousafzai, kini telah menjadi bintang global dan menjadi kandidat untuk hadiah Nobel untuk Perdamaian setelahnya. Bak buah simalakama, menjadi seorang pemenang Nobel dan kampanye pendidikan yang berbasis di Barat tampak telah menjadikan Malala Yousafzai mendapat beberapa reaksi penolakan di negerinya, di Pakistan.
Sebuah asosiasi sekolah Pakistan mengadakan hari “Saya Bukan Malala” (I Am Not Malala) dan mengorganisir acara, seminar dan konferensi pers untuk mengutuk aktivis itu yang mereka lihat telah dimanfaatkan untuk menyebarkan nilai-nilai Barat dalam masyarakat konservatif Muslim Pakistan.
Federasi Sekolah Swasta Seluruh Pakistan (APPSF), sebuah kelompok yang mengklaim mewakili 150.000 sekolah di seluruh Pakistan, telah menyerukan melarang memoar Malala karena “menyinggung Islam” dan “menyinggung ideologi Pakistan,” lapor Huffington Post.
Mirza Kashif Ali, presiden organisasi itu, bahkan mengecam buku Malala sebagai buku yang ofensif.
“Kita semua bekerja untuk pendidikan dan pemberdayaan kaum perempuan,” kata Kashif kepada Ali New York Times. “Tapi Barat telah menciptakan orang ini yang pandangannya bertentangan dengan Konstitusi dan ideologi Islam Pakistan.”
Kelompok ini mengklaim bahwa memoar Malala mendukung novelis kontroversial Inggris asal India, Salman Rushdie yang membuat marah dunia Muslim pada 1988 dengan novelnya The Satanic Verses. Kelompok ini dilaporkan menuduh aktivis muda itu sebagai anggota “Ideologis Klub Rushdie”. Betapa terancamnya seorang Malala.
Tapi, rupanya Taliban tidak puas. Setelah berkali-kali menjadi sasaran teror, Pimpinan Taliban, Adnan Rasheed, pernah mengiriminya surat yang menjelaskan bahwa alasan penembakan adalah sikap kritisnya terhadap kelompok militan, bukan karena dia seorang penggiat pendidikan perempuan.
Saat itulah saya jadi paham kenapa Wanita sekecil itu jadi berbahaya. Karena dia lantang bersuara. Malala adalah simbol perlawanan wanita yang terjebak atas konflik sektarian di Pakitan-Afghanistan yang tak berkesudahan.
Dan aksi beberapa hari lalu jelas adalah sinyal yang ditujukan kepada Malala agar bungkam menyuarakan perjuangannya. Betapa mengerikannya situasi yang ada disana.
Sejarah panjang Malala kecil identik dengan rintisan awal saat indonesia berada pada era Kolonialisme Belanda tahun 1912. Pejuang-pejuang wanita pada abad ke 19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain, secara tidak langsung telah merintis organisasi perempuan melalui gerakan-gerakan perjuangan.
Lalu, Konggres Perempuan Indonesia I yang menjadi agenda utama adalah mengenai persatuan perempuan Nusantara; peranan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan; peranan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan lain sebagainya mulai dibahas.
Puncaknya 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu adalah setelah Presiden Soekarno melalui melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 menetapkan bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga saat ini.
Pada awalnya peringatan Hari Ibu adalah untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Misi itulah yang tercermin menjadi semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama.
Sejawat wanita Indonesia tentu patut berbahagia jika becermin dari peristiwa malala diatas. Disaat malala yang hampir tewas itu kehilangan apa yang ia idam idamkan selama ini, kebebasan untuk mendapatkan akses pendidikan dibawah popor senjata dan ketakutan atas serangan sektarian Taliban yang bengis dan kejam, kita tengah bersiap mengucapkan bagi ibu kita dengan bermacam macam doa terbaik, kado aneka macam yang bisa bikin beliau terkekeh, ribuan pelukan yang terhambur , Display Pictures BBM aneka macam kata mutiara. Betapa Beruntungnya wanita Indonesia.
Berkali-kali saya pandangi buku itu, di dalam kejernihan mata seorang gadis kecil Malala, sekan dia lirih berkata iri dengan keadaan kita sekarang.
Gadis kecil yang memikul topan dipundaknya. Terimakasih Malala, karenamu saya menyadari bahwa di luar sana ada banyak wanita yang terjebak dalam pertikaian namun menolak menyerah. Di balik ringkihnya kodrat tulang rusuk, ancaman kematian dan penderitaan pun bisa ditebas oleh ketulusan menjalankan peran.
Ditulis pada pertengahan 2014 dan senantiasa diingat sebagai penguat para puan yang istimewa.
Erliza Achmad Akbar, Liverpudlian Bojonegoro yang mencari kitab suci di Balikpapan.