Sejak dibuka pada awal tahun ini, Maliogoro telah menjelma menjadi ruang publik yang telah lama dirindukan keberadaannya oleh masyarakat Bojonegoro.
Malioboro ini berupa taman dengan atap semacam payung dan berjejer kursi kayu yang bisa dijadikan sebagai tempat peristirahatan.
Dihiasi gemerlap lampu taman yang siap menemani para pengunjung menghabiskan waktu pada malam hari, Nabs.
Taman ini terletak di Jalan M.H. Thamrin yang dahulunya merupakan deretan trotoar dan bahu jalan dengan jejeran pohon di sekitaran kiri-kanan.
Sambutan hangat akan keberadaan Maliogoro ini muncul dari segenap masyarakat. Warga dari berbagai penjuru wilayah berkerumun datang merayakan kehadiran sebuah ruang di mana ekspresi dan rasa bisa ditumpahkan secara leluasa.
Berbagai kelompok usia mulai dari balita, anak-anak, remeja, hingga orang dewasa berbondong-bondong mencicipi sekilas nuansa yang semarak dengan pertukaran jiwa di dalamnya.
Ya, Maliogoro adalah semacam pemuas dahaga bagi sebagian masyarakat Bojonegoro.
Sebuah masyarakat yang terbiasa hidup dalam wilayah yang minim akan ruang terbuka yang memadai serta jauh dari tempat wisata.
Maka maklum saja bila warga bumi Anglingdarma ini mudah sekali terbahagiakan dengan adanya area publik yang namanya bahkan diplesetkan dari ikon kebanggaan warga Yogyakarta yaitu Malioboro.
Sebagaimana lumrahnya sebuah ruang publik, Maliogoro harus berorientasi menjadi ruang yang menawarkan kenyamanan pada publik.
Nabs, kenyamanan ini menjadi syarat utama yang harus terpenuhi demi kelestarian ruang publik itu sendiri.
Salah satu bentuk kenyamanan yang bisa ditawarkan oleh Pemkab Bojonegoro, mari kita apresiasi terlebih dahulu untuk pihak pemkab yang telah menyelenggarakan Maliogoro ini, adalah bentangan pepohonan hijau nan menyejukkan di sekitaran area ini.
Sebab kita tidak boleh lupa bahwa Bojonegoro ini dianugerahi oleh ladang minyak yang subur sehingga berdampak pada suhu ekstrem yang panas menjulur.
Suhu yang begitu menyengat di hari-hari biasa bisa berkutat pada angka 33°C bahkan pernah menyentuh 44°C pada musim kemarau.
Sebuah suhu yang cukup untuk menggoreng telur ayam dengan cara meletakkan teplon di atas aspal jalanan.
Sehingga ketiadaan penghijauan di Maliogoro adalah salah satu bentuk penyiksaan pada pengguna ruang publik.
Tindak pelayanan lainnya sebagai bentuk pemenuhan kenyamanan di Maliogoro adalah dengan memperbanyak ruang bermain bagi anak-anak.
Hasrat utama manusia yang sudah tertanam sejak kecil seperti yang dikatakan oleh Johan Huizinga adalah homo ludens atau makhluk yang suka bermain.
Sudah menjadi hal yang lazim, apabila suatu ruang publik meletakkan anak-anak sebagai target utama mereka.
Nabs, bukankah kita orang dewasa yang telah merenggut banyak ruang bermain mereka dengan menjadikan lahan kosong sebagai jalan raya, gedung perkantoran, area perumahan, serta pusat perbelanjaan?
Maka kewajiban kita adalah memberikan solusi alternatif pada anak-anak agar mereka bisa tumbuh dengan memori kolektif kebahagiaan sebab terpenuhinya ruang permainan.
Bentuk kenyamanan berikutnya yang harus tersedia adalah keberadaan pedagang kaki lima yang aman dan amin.
Aman sebab tidak mengganggu para pengendara yang berlalu lalang di jalanan dan amin sehingga bisa memenuhi roda perekonomian bagi pegiat ekonomi mikro menengah ke bawah.
Selayaknya sebuah sumur, keberadaan Maliogoro harus menjadi berkah pendapatan tersendiri bagi masyarakat sekitar Jalan M.H. Thamrin maupun para pedagang kecil yang bertaruh hidup pada gerobak mungil yang mereka gerakkan dengan tabah dan penuh pengharapan.
Senarai panjang untuk menjadikan taman Maliogoro sebagai ruang publik yang lestari menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Pemkab Bojonegoro.
Mengingat beberapa taman sebelumnya hanya ramai di pembukaan lantas menyepi di belakangan.
Tentu sebagai ruang publik, Maliogoro harus mampu menerima beragam saran dan kritik demi jangka panjang yang lebih baik, Nabs.
Kecuali jika Maliogoro ini adalah sebuah langkah karier politik yang penuh intrik maka saya tak perlu sekiranya berbicara terlalu memekik.
Wallahu a’lam bis showab.