Bojonegoro bukan hanya sekadar lumbung pangan dan energi. Lebih dari itu, lumbung ilmu dan pengetahuan dengan spirit keagamaan cum kebangsaan yang membumi. Berikut manaqib KH Abdul Syakur.
K.H. Abdul Syakur atau oleh masyarakat Kecamatan Ngasem, Bojonegoro dan sekitarnya lebih dikenal dengan panggilan “Mbah Yai Syakur” merupakan salah satu ulama yang berupaya menyebarkan Islam sekaligus memberikan pemahaman ke masyarakat Kecamatan Ngasem dan sekitarnya mengenai pentingnya pendidikan, baik pendidikan keagamaan maupun pendidikan secara umum.
Hal inilah yang kemudian membuat K.H. Abdul Syakur menjadi salah satu perintis pendirian Yayasan Pendidikan dan Pondok Pesantren Asy-Syakur yang terletak di Dusun Nglingi, Desa Bareng, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro. Yang sebelumnya, rintisan pendirian Yayasan Pendidikan dan Pondok Pesantren bernama “Mafatihul Huda”.
K.H. Abdul Syakur sendiri lahir sekitar tahun 1906 dari pasangan K.H. Abdul Jabar bin Safi’i dengan Ibu Tamijah. K.H. Abdul Syakur memiliki saudara berjumlah enam orang sehingga jika ditambah dengan K.H. Abdul Syakur menjadi tujuh bersaudara.
Ketujuh bersaudara tersebut berdasarkan pada buku, “Biografi dan Karomah Mbah Yai Syakur Nglingi” yang disusun oleh M. Abd. Mu’id Anwar (Gus A’id) yaitu: Ibu Sujirah, K.H. Abdul Syakur, Ibu Khofsatun, Kyai Sulaeman, Kyai Cholil, Ibu Siti Chomari, dan Ibu Siti Sundar.
K.H. Abdul Syakur sendiri wafat pada Selasa Pon bertepatan dengan tanggal 27 Sya’ban 1406 H/1986 M.
K.H. Abdul Syakur kemudian menikah dengan Ny. Hj. Umi Kultsum yang merupakan putri dari guru K.H. Abdul Syakur sendiri, yaitu Kyai Masdar dari Banjarsari, Bojonegoro.
Tulisan ini berupaya untuk “memotret” beberapa spirit keislaman dan nilai kebangsaan dan perjuangan dari K.H. Abdul Syakur yang didasarkan pada buku “Biografi dan Karomah Mbah Yai Syakur Nglingi” yang disusun oleh M. Abd. Mu’id Anwar (Gus A’id).
Selain itu, tulisan ini juga diorientasikan sebagai salah satu upaya pemahaman kembali serta refleksi atas ajaran K.H. Abdul Syakur kepada masyarakat Ngasem dan Bojonegoro pada umumnya, terutama wa bil khusus dalam menyambut Haul ke-37 K.H. Abdul Syakur di tahun 2022.
Spirit Keislaman
K.H. Abdul Syakur sejatinya dididik oleh keluarga yang sangat taat beragama. Hal ini terutama pada pendidikan beliau sejak dini yang sudah terbiasa dengan kegiatan keagamaan seperti mengaji, nyantri kepada kiai, serta kegiatan keagamaan lainnya.
Nabs, meski diorientasikan dalam memahami dan mendalami ilmu agama Islam, namun terdapat perbedaan pandangan terkait orientasi pendidikan K.H. Abdul Syakur di mata orang tua beliau.
Bapak K.H. Abdul Syakur, yaitu K.H. Abdul Jabar, lebih menginginkan K.H. Abdul Syakur selain pandai dalam mengaji, juga memiliki keterampilan olah kanuragan dalam hal ini termasuk pencak silat serta kegiatan pertahanan diri lainnya.
Hal ini oleh K.H. Abdul Jabar dimaksudkan supaya K.H. Abdul Syakur dapat melindungi diri sendiri serta keluarganya. Hal ini dapat dimaklumi karena pada tahun 1900-an daerah di wilayah Kecamatan Ngasem, mayoritas masih merupakan hutan belantara.
Terlebih lagi, dengan mengacu pada buku yang ditulis oleh C.L.M. Panders dengan judul, “Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java- Indonesia”, menceritakan tentang adanya wabah serta paceklik yang terjadi di Kabupaten Bojonegoro di kurun waktu 1900-1942, sehingga sangat memungkinkan adanya tindakan kriminal seperti pencurian, pembegalan, perampokan, dan sebagainya.
Dengan demikian, keinginan Bapak K.H. Abdul Syakur, yaitu K.H. Abdul Jabar supaya K.H. Abdul Syakur mendalami ulah kanuragan dan pencak silat adalah relevan dan sesuai dengan kondisi yang terjadi di Kecamatan Ngasem pada saat itu.
Hal ini tentu sedikit berbeda dengan pandangan dari Ibu K.H. Abdul Syakur, yaitu Ibu Tamijah yang menginginkan anaknya kelak menjadi seorang santri yang ahli di bidang ilmu agama yang selalu takzim pada kiai dan ulama serta bermanfaat bagi masyarakat.
Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh ibu K.H. Abdul Syakur, yaitu Ibu Tamijah ketika melihat K.H. Abdul Syakur muda menjadi seorang pedagang sapi, “Le…., sampean biyen tak pondokno gak tak kongkon angon, tapi tak kongkon ngaji…..” (Terjemahan bebasnya: Nak, kamu dulu tak masukkan ke pondok pesantren itu bukan tak suruh untuk menggembala apalagi sampai berjualan sapi, tapi untuk “mendalami” ngaji).
Meski begitu, perbedaan pendapat antara Bapak dan Ibu K.H. Abdul Syakur mengenai orientasi ke depan terkait K.H. Abdul Syakur dapat dimengerti dalam konteks waktu itu di Kecamatan Ngasem (sekitar tahun 1900-an).
Sang Bapak melihat kemampuan olah kanuragan dalam hal ini termasuk pencak silat serta kegiatan pertahanan diri lainnya menjadi keterampilan yang wajib dikuasai sebagai respon atas kondisi sosial yang menuntut akan keterampilan olah kanuragan sebagai upaya untuk melindungi diri dan keluarga.
Di lain sisi, pendapat dari sang Ibu K.H. Abdul Syakur juga dapat dipahami karena pada waktu kurun tahun 1900-an, di Kecamatan Ngasem, geliat keagamaan serta syiar ajaran Islam belum masif dilakukan terlebih lagi budaya ngaji agama Islam juga belum menjadi prioritas masyarakat di Kecamatan Ngasem.
Karena pandangan Bapak dan Ibu K.H. Abdul Syakur tersebut, K.H. Abdul Syakur muda kemudian mencoba mengimbangi antara ketekunan mengaji serta pendalaman akan ilmu agama dengan kemampuan ulah kanuragan.
Mengutip buku “Biografi dan Karomah Mbah Yai Syakur Nglingi” yang disusun oleh M. Abd. Mu’id Anwar (Gus A’id) (hlm. 5.), beberapa pesantren tempat K.H. Abdul Syakur muda menuntut ilmu agama antara lain: (i) Pondok Pesantren Al-Musthafa yang terletak di Desa Panjunan, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro, (ii) Pondok Pesantren Mertua K.H. Abdul Syakur di Desa Banjarsari, Kecamatan Bojonegoro, (iii) Pondok Pesantren Abu Dzarrin yang diasuh oleh K.H. Abu Dzarrin, (iv) Pondok Pesantren Langitan yang diasuh oleh K.H. Abdul Hadi, (v) Pondok Pesantren Sidoresmo, Surabaya (Pondok Pesantren Penempa Kadigdayan).
Selain itu, juga ngangsu kaweeruh di (vi) Pondok Pesantren Jamseran, Solo, (vii) Pondok Pesantren Tremas di Arjosari, Pacitan, serta (viii) Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang diasuh oleh K.H. Hasyim Asy’ari.
Berdasarkan berbagai “pengembaraan” dan pemahaman keilmuan agama Islam yang K.H. Abdul Syakur dapatkan dari berbagai pondok pesantren tersebut membuat K.H. Abdul Syakur untuk berdakwah serta memberikan pemahaman agama Islam kepada masyarakat di wilayah Kecamatan Ngasem dan sekitarnya.
Nabs, dakwah K.H. Abdul Syakur salah satunya dimulai dengan pendirian langgar kecil (musala) di Dusun Nglingi, Desa Bareng, Kecamatan Ngasem. Hal ini dapat dipahami karena Desa Bareng merupakan salah satu desa yang tergolong tua di wilayah Kecamatan Ngasem.
Berdasarkan peta desa di Kabupaten Bojonegoro tahun 1917 berdasarkan Book Saminbeweging tertanggal 1 Juni 1917 bahwa di situ terdapat beberapa desa di Kecamatan Ngasem yang sudah eksis seperti: Desa Bareng, Desa Ngasem, dan Desa Setren.
Sedangkan dalam peta desa di Kabupaten Bojonegoro yang “kemungkinan” dibuat pada “sekitar” tahun 1906 disebutkan beberapa nama desa di Kecamatan Ngasem yang meliputi: Desa Wadeng (sekarang “kemungkinan” bernama Desa Wadang), Desa Jampet, Desa Bareng, Desa Jelu, dan Desa Ngasem.
Berdasarkan data Book Saminbeweging tertanggal 1 Juni 1917 dan peta desa di Kabupaten Bojonegoro yang “kemungkinan” dibuat pada “sekitar” tahun 1906 tersebut dapat disimpulkan bahwa pada saat itu Desa Bareng sudah “eksis” dan kemungkinan juga sudah terbentuk sistem pemerintahan desa sekalipun masih sederhana.
Mengacu pada fakta sejarah tersebut, upaya K.H. Abdul Syakur untuk berdakwah kepada masyarakat Dusun Nglingi dan Desa Bareng khususnya karena Desa Bareng merupakan salah satu desa yang dapat dikategorisasikan sebagai salah satu desa tua di Kecamatan Ngasem.
Sehingga di Desa Bareng pada saat itu, kemungkinan sudah terdapat penduduk yang cukup banyak dibandingkan dengan desa lain di Kecamatan Ngasem.
Terkait dengan cara dakwah K.H. Abdul Syakur, selain berdakwah melalui langgar kecil (musala) di Dusun Nglingi, Desa Bareng, Kecamatan Ngasem, beliau juga berdakwah berkeliling sehingga secara sederhana metode dakwah beliau adalah metode “jemput bola”.
Metode dakwah “jemput bola” sebagaimana yang K.H. Abdul Syakur lakukan yaitu dengan berkeliling secara bergantian dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini digambarkan dalam buku “Biografi dan Karomah Mbah Yai Syakur Nglingi” yang disusun oleh M. Abd.Mu’id Anwar (Gus A’id) (hlm. 7.) yang menegaskan bahwa, “….beliau keliling ke tempat pengajian (yaitu berupa) di majelis yang dibentuknya dan tersebar di beberapa daerah yang jumlahnya sampai 65 kelompok, dengan mengendarai sepeda ontel, kadang kala membawa bekal sendiri seperti gula dan kopi…”.
Lebih lanjut, upaya K.H. Abdul Syakur berdakwah secara berkeliling sambil membawa bekal sendiri dapat dipahami karena pada saat itu masyarakat di wilayah Kecamatan Ngasem merupakan masyarakat menengah ke bawah dan tergolong ekonomi lemah.
Hal ini menunjukkan bahwa K.H. Abdul Syakur ingin berdakwah secara ikhlas bahkan tidak ingin membebani para jamaahnya. Selain membawa bekal, dalam berdakwah K.H. Abdul Syakur juga sambil membawa sebilah pedang sebagai sarana berjaga-jaga menghadapi berbagai bahaya dalam berdakwah.
Upaya K.H. Abdul Syakur dalam berdakwah sambil membawa sebilah pedang sejatinya merupakan hal yang “lumrah” pada saat itu mengingat pada tahun 1900-an merupakan kondisi paceklik serta geografis wilayah Ngasem yang merupakan wilayah hutan sehingga membawa sebilah pedang merupakan upaya preventif dalam menjaga keamanan baik gangguan dari binatang buas, gangguan dari manusia, maupun gangguan dan kendala lainnya dalam berdakwah.
Proses dakwah beliau yang memilih metode “jemput bola” juga mendapat kritikan dari pihak-pihak yang merasa “kurang suka” dengan metode dakwah K.H. Abdul Syakur karena dianggap, “Lha kok sumur marani timba” (Terjemahan bebasnya: Lha kok sumur mencari timba air). Cara berdakwah beliau yang terkesan “aneh” inilah yang terkadang dikritik bahkan dicemooh orang atau pihak lain, namun jika dilihat secara saksama metode “jemput bola” dalam berdakwah yang dilakukan oleh K.H. Abdul Syakur merupakan metode yang kreatif pada zamannya.
Selain itu, beberapa pesan K.H. Abdul Syakur kepada para santrinya adalah, “Waktu adalah untuk mencari ridho Allah”. Hal ini dapat dimaknai bahwa beliau sangat menekankan pada sikap disiplin karena sangat menekankan penghargaan atas waktu.
Hal ini dapat dilihat dari cara dan spirit dakwah keislaman beliau yang lebih memilih metode “jemput bola” serta tidak ingin menyusahkan jamaahnya dengan membawa bekal sendiri, Nabs.
Salah satu puncak proses dakwah K.H. Abdul Syakur adalah dengan upaya mendirikan Pondok Pesantren sebagai sarana dalam membentuk komunitas pengajian klasik baik bagi masyarakat sekitar pesantren serta masyarakat pada umumnya.
Keinginan beliau dalam membangun Pondok Pesantren beliau umumkan kepada santri dan masyarakat umum. Hal ini mendapatkan respon positif dari masyarakat sekalipun masyarakat di Dusun Nglingi, Desa Bareng, hanya bisa menyumbang seadanya seperti pasir satu rinjing dan batu bata baik satu maupun dua biji.
Sumbangan dari para santri dan masyarakat umum tersebut dicatat oleh K.H. Abdul Syakur siapa yang menyumbang dan dalam bentuk apa sumbangannya. Partisipasi masyarakat dalam memberikan sumbangan semampunya terkait rencana pembangunan Pondok Pesantren dapat dianalisis dari metode “jemput bola” beliau dalam berdakwah.
Metode “jemput bola” beliau dalam berdakwah kemungkinan membuat para santri dan masyarakat merasa suka dan kemudian mencintai cara dakwah dan pribadi K.H. Abdul Syakur.
Hal inilah yang membuat ketika K.H. Abdul Syakur memiliki rencana membuat pondok pesantren, masyarakat memberikan bantuan dan sumbangan sesuai kemampuan dan kapasitas masing-masing.
Yayasan Pendidikan dan Pondok Pesantren tersebut pada awalnya bernama “Mafatihul Huda” dan untuk mengenang kegigihan K.H. Abdul Syakur dalam mendakwahkan Islam di Kecamatan Ngasem, maka Yayasan Pendidikan dan Pondok Pesantren diganti dengan nama Yayasan Pendidikan dan Pondok Pesantren “Asy-Syakur”.
Dimana yayasan dan pondok pesantren tersebut telah menginisiasi berbagai lembaga pendidikan dan beberapa pesantren di Dusun Nglingi, Desa Bareng, Kecamatan Ngasem termasuk juga Yayasan Pendidikan dan Pondok Pesantren “Asy-Syakur” turut menginisiasi terbentuknya SMK Negeri Ngasem.
SMK tersebut sebagai sekolah yang berorientasi pada penyiapan lulusannya pada tenaga vokasi serta outputnya berupa skill dan keterampilan di dunia kerja dengan tetap memegang teguh spirit keagamaan dalam kegiatan pembelajarannya.
Nilai Kebangsaan dan Perjuangan
Salah satu peran penting K.H. Abdul Syakur adalah terkait semangat kebangsaan dan orientasi beliau untuk turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah satu faktor yang turut mempengaruhi pemahaman K.H. Abdul Syakur terkait semangat kebangsaan dan orientasi beliau untuk turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia kemungkinan besar karena beliau pernah nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.
Pondok Pesantren Tebuireng diasuh oleh hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari. K.H. Hasyim Asy’ari sendiri merupakan penggagas resolusi jihad 22 Oktober 1945 yang memiliki penngaruh terhadap perjuangan 10 November di Surabaya untuk mengusir serdadu Belanda yang “membonceng” sekutu pasca kemenangan sekutu dalam Perang Dunia ke-II, Nabs.
Belanda tentu masih memiliki hasrat menjajah Indonesia. Hal ini sebagaimana pernah dinyatakan oleh Bonifacius Cornelis de Jonge yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dalam kurun waktu 2 September 1931 sampai 16 September 1936.
Cornelis de Jonge pernah menyatakan bahwa, “Kami telah memerintah di sini selama tiga ratus tahun dengan cambuk dan tongkat dan kami harus tetap melakukannya untuk tiga ratus tahun lagi”.
Pernyataan de Jonge ini tentu masih diingat oleh para kiai dan para pejuang kemerdekaan Indonesia bahwa kembalinya Belanda dan sekutu di Indonesia tentu punya maksud tersendiri.
Tentunya, adanya gagasan resolusi jihad 22 Oktober 1945 yang salah satu substansinya yaitu fardhu ‘ain hukumnya bagi umat Islam untuk mempertahankan tanah airnya dari penjajahan pada masyarakat sekitar kurang lebih berjarak 70 Km.
Dalam hal ini, K.H. Abdul Syakur bahkan tidak mau bercerita panjang lebar terkait perjuangan beliau dalam upaya mempertahankan tanah airnya dari penjajahan terutama untuk melaksanakan resolusi jihad 22 Oktober 1945.
Meski begitu, dalam buku “Biografi dan Karomah Mbah Yai Syakur Nglingi” yang disusun oleh M. Abd.Mu’id Anwar (Gus A’id) (hlm.24-25.), sebagaimana penuturan salah satu veteran perang dari Jatirogo, Tuban bahwa saat perang di Surabaya (10 November 1945), veteran perang tersebut berada di belakang K.H. Abdul Syakur.
Lebih lanjut, veteran perang tersebut menegaskan bahwa pejuang dari Bojonegoro, Madiun, dan sekitarnya belum berani berangkat sebelum K.H. Abdul Syakur berangkat terlebih dahulu.
Tentu, ini merupakan salah satu bukti sejarah bahwa K.H. Abdul Syakur adalah salah satu ulama dari Bojonegoro yang turut serta dalam melaksanakan resolusi jihad 22 Oktober 1945 serta memiliki peran dalam Perang 10 November 1945 di Surabaya.
Pemahaman kebangsaan K.H. Abdul Syakur selain berkembang ketika beliau nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, yang diasuh oleh K.H. Hasyim Asy’ari juga dimungkinkan beliau mengikuti atau setidaknya memahami isi Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Dalam Muktamar NU tersebut membahas mengenai Islam dan kebangsaan pada negara yang hendak merdeka. Salah satu substansi Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yaitu:
“Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan Negara Islam karena pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir (Belanda), tetapi nama Negara Islam masih selamanya, sebagaimana keterangan dari Kitab Bughyatul Mustarsyidin:
“Setiap kawasan di mana orang Muslim mampu menempati pada suatu masa tertentu, maka kawasan itu menjadi daerah Islam, yang ditandai dengan berlakunya hukum Islam pada masanya.”
Sedangkan pada masa sesudahnya, walaupun kekuasaan Islam terputus oleh penguasaan orang-orang kafir (Belanda) dan melarang mereka untuk memasukinya kembali dan mengusir mereka.
Jika dalam keadaan seperti itu, maka dinamakan darul harb hanya merupakan bentuk formalnya, tetapi bukan hukumnya. Dengan demikian, perlu diketahui bahwa kawasan Batavia, bahkan seluruh tanah Jawa (nusantara) adalah darul Islam, karena pernah dikuasai umat Islam, sebelum dikuasai oleh orang-orang kafir Belanda” (diputuskan di Banjarmasin, 19 Juli 1936) (Sumber:nu.or.id/opini/muktamar-nu-1936-dan-makna-indonesia-sebagai-darul-islam-bAeee).
Kemungkinan besar K.H. Abdul Syakur juga mengikuti perkembangan pandangan Islam dan kebangsaan sebagaimana yang dibahas dalam Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin tersebut.
Lebih lanjut, pada zaman penjajahan Jepang, K.H. Abdul Syakur bergabung dengan pendidikan kemiliteran yang difasilitasi oleh Jepang dengan tujuan untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya yang merupakan bagian dari Perang Dunia ke-II.
Pada penjajahan Jepang yang relatif singkat dan dalam kondisi Perang Dunia ke-II, Jepang mencoba mendekati para pejuang kemerdekaan Indonesia termasuk para kiai dan ulama.
Jepang kemudian berupaya menghidupkan kembali Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) atas prakarsa Kolonel Horie, pemimpin Bagian Pengajaran dan Agama yang dibentuk oleh Jepang pada Mei 1942 dengan mengadakan pertemuan dengan sejumlah pemuka agama Islam dari seluruh Jawa Timur di Surabaya.
Lebih lanjut, upaya Jepang untuk mendekati para pejuang kemerdekaan Indonesia termasuk para kiai dan ulama yaitu dengan mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Masyumi didirikan pada November 1943. Ketua Pengurus Besarnya, KH Hasyim Asy’ari dengan beberapa wakilnya dari Muhammadiyah antara lain KH Mas Mansyur, KH Farid Ma’ruf, KH Mukti, dan Kartosudarmo.
Sementara Wakil Masyumi dari Nahdatul Ulama yakni KH Nachrowi, Zainul Arifin, dan KH Muchtar. Meski upaya Jepang untuk memfasilitasi ulama, kiai, dan umat Islam untuk mendirikan organisasi adalah hanya demi kepentingan praktis perang, namun di sisi lain upaya ini dapat dilihat sebagai langkah terbaik untuk meningkatkan semangat kebangsaan, mendapatkan pelatihan kemiliteran untuk menunjang kemerdekaan Indonesia.
Dan juga sebagai sarana konsolidasi bagi ulama, kiai, dan umat Islam serta pejuang kemerdekaan lainnya untuk berkoordinasi terkait rencana dan wacana untuk memerdekakan Indonesia.
Dalam hal ini, dengan terpilihnya KH Hasyim Asy’ari sebagai Ketua Pengurus Besar Masyumi kemungkinan besar hal tersebut juga telah berpengaruh serta menjadi diskursus para kiai di Jawa Timur terkait Islam dan kebangsaan tak terkecuali oleh K.H. Abdul Syakur.
Minimnya informasi K.H. Abdul Syakur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dapat dipahami karena sebagai kiai dan ulama perjuangan membela bangsa dan negara adalah perjuangan luhur yang hanya Allah SWT yang cukup mengetahuinya.
Orang lain dirasa tidak perlu tahu namun cukup saja meneladani sikap beliau untuk selalu bersemangat dalam menuntut ilmu baik ilmu agama maupun ilmu umum serta selalu menyandarkan pada pemahaman untuk setia berkorban bagi bangsa dan negara.
Hal ini tentu dapat dipahami bahwa kiai dan ulama NU selalu berkeyakinan bahwa “Cinta dan berkorban bagi tanah air adalah sebagian dari iman”.
Berdasarkan uraian di atas, momentum Haul ke-37 K.H. Abdul Syakur di tahun 2022 ini salah satunya adalah meneladani ajaran dan pemikiran beliau yang salah satunya rajin dan giat dalam menuntut ilmu terutama ilmu agama dan ilmu umum serta selalu mempersembahkan karya, tenaga, serta usaha bagi kejayaan negara tercinta, yaitu: Indonesia.
Semoga, semangat beliau selalu dapat diteladani oleh generasi muda di Kecamatan Ngasem serta Bojonegoro pada umumnya.