Tahukah kita bahwa tikus yang 85% jaringan neuronnya sama dengan kita, ternyata juga tahu bahwa dia ada?
Revolusi industri membuat semua pekerjaan jadi lebih cepat diselesaikan. Bahkan hingga urusan jodoh, revolusi industri memainkan peran yang sangat penting. Jadi jika kamu sekarang masih jomblo, mungkin kalian masih menggunakan teknologi yang lama.
Sebagai makhluk sosial, manusia dimanjakan adanya sosial media sebagai wujud perkembangan teknologi. Manusia dipermudah dalam berkomunikasi satu sama lain hingga mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.
Bagaimana mungkin lebih dari 100 tahun lalu sebagian besar orang masih menggunakan surat dan perlu berhari-hari bahkan berbulan-bulan agar mendapat balasan suratnya.
Hari ini, kamu dapat mengirim 1 huruf saja, dan bisa langsung mendapat balasan dalam hitungan detik saja.
Meskipun revolusi industri semakin memberikan kemudahan, bukan berarti semakin sedikit kesulitan. Faktanya justru masalah semakin kompleks dan jauh lebih banyak.
Analoginya seperti ketika kamu mengendarai mobil pada kecepatan 20 km/jam berbeda dengan kecepatan 250 km/jam. Semakin cepat, semakin besar risiko kecelakaan, semakin banyak instrumen yang perlu diperhatikan, dan perlu banyak variabel yang perlu dipertimbangkan.
Manusia dalam bahasa Latin disebut dengan Homo Sapiens, yang berarti manusia bijak— meski saya juga tidak tahu bijaknya di mana.
Manusia pada dasarnya tak jauh beda dengan binatang lain, bahkan secara genetik masih memiliki kemiripan dengan spesies yang masih satu keluarga dengannnya, yakni simpanse dengan kemiripan genetik 98% dan gorila 94% (Matt Ridley dalam Genom).
Kadang, manusia masih mengelak bahwa dia jauh lebih spesial dari binatang lain. Meskipun demikian, pada dasarnya, kita tidak pernah spesial, kita hanya memiliki ciri khas yang membedakan antara kita dengan binatang lainnya (seperti lumba-lumba dengan sonarnya dan gajah dengan belalainya).
Ciri khas manusia dibanding hewan lain adalah kemampuan kita dalah hal berimajinasi dan bersosial. Kemampuan ini yang mengantarkan nenek moyang kita, hingga mampu membuat perahu untuk migrasi ke pulau lain.
Bayangkan, kita adalah makhluk darat, yang tidak mempunyai sayap dan sirip. Tapi kita mampu terbang dan mampu menyelam di kedalaman lautan. Tidak sedikit mahakarya ilmuwan yang diawali dari imajinasinya yang ndakik-ndakik.
Simon Lake, pembuat kapal selam perang pertama untuk AS terinspirasi oleh novel karya Jules Verne yang berjudul 20.0000 League Under the Sea. Elon Musk membuat roket reusable yang dapat melakukan self-landing pertama kali di dunia yang diberi nama Falcon 1 dan Falcon 9 terinspirasi dari pesawat ruang angkasa Falcon yang terdapat dalam novel trilogi Star Wars.
Meskipun kemampuan berimajinasi ini ada dalam gen kita, tapi tidak semua manusia menyadari keberadaannya. Manusia kadang meremehkan imajinasi sebagai suatu khayalan yang terlalu utopis atau tidak mungkin terwujud.
Doktrin dewasa ini kadang mendiskreditkan peran imajinasi terhadap ilmu pengetahuan, padahal ilmu pengetahuan berawal dari imajinasi yang dicari pembenarannya melalui hukum alam semesta.
Ratusan tahun lalu leluhur kita berandai kita dapat berkomunikasi tanpa bertemu. Voila, sekarang kita dapat melakukannya melalui video call.
Kedua adalah kemampuan bersosial. Mari kita coba lihat di sekitar kita, seberapa banyak binatang di sekitar kita yang mampu membuat kelompok yang saling terkoneksi satu sama lain yang jumlahnya ratusan juta hingga miliaran anggota? Tidak ada.
Secara pribadi saya tidak pernah mendengar atau melihat sekelompok kucing dari komplek sebelah bersepakat untuk mengadakan tawuran dengan kucing komplek saya kecuali manusia.
Saya juga tidak pernah mendengar bahwa kerajaan semut di Indonesia melakukan kerjasama dengan kerajaan semut di Eropa untuk melakukan perdagangan coklat kecuali manusia Indonesia dan manusia Eropa.
Saya juga tidak pernah mendengar sekelompok simpanse dan keluarga besarnya termasuk gorila, orang utan, bonobo, serta bekantan bersepakat untuk membakar hutan agar dapat ditanami sawit dan hasilnya diekspor ke negara tetangga kecuali manusia.
Hanya manusia yang mampu berkomunikasi satu sama lain mulai dari taraf yang paling kecil yaitu keluarga hingga hubungan antar negara tetangga yang menciptakan hubungan bilateral dan multilateral.
Kemampuan ini pada dasarnya diawali dari kesadaran genetik kita bahwa kita akan cenderung mulai mengalami kesulitan ketika berkomunikasi seiring dengan bertambahnya relasi yang kita punya.
Oleh karena itu kita berimajinasi untuk membuat jaringan sosial atau organisasi agar dapat mengatur pola komunikasi yang teratur sehingga dapat berhubungan dengan manusia lain agar dapat mencapai apa yang menjadi tujuan hidup kita, yakni bertahan hidup selama mungkin.
Hal ini lah yang menjadi cikal bakal ilmu sosial dan humaniora yang mempelajari aspek sosial masyarakat seperti stratifikasi sosial, kontrak sosial, ekonomi, budaya, sastra, bahasa, dan lain sebagainya.
Dua kemampuan spesial ini yang pada akhirnya menjadi titik balik ciri khas manusia dibandingkan dengan binatang lainnya. Selebihnya kita masih memiliki banyak kesamaan dengan spesies binatang lainnya.
Jika kita berpikir bahwa kita beda karena kita menyadari keberadaan kita, apakah kita tahu bahwa tikus yang 85% jaringan neuronnya sama dengan kita (Yuval Noah Harari dalam Sapiens), ternyata juga tahu bahwa dia ada? Siapa tahu ada Rene Descrates versi tikus. Tidak ada yang tahu.