Coba bayangkan jika saya seorang HRD dan saya membuat sistem rekrutmen dengan algoritma yang hanya cocok untuk kualifikasi pribadi, teman atau kerabat saya. Jadi, kamu bisa apa?
Kalau kamu cari tulisan soal siraman rohani, mungkin kamu salah parkir mata. Sebab, kali ini saya tidak akan menyiram rohani, karena hobi saya nyiram tanaman dan nyiram kerinduan.
Pada kesempatan ini saya akan bercerita soal orang orang titipan atau mungkin secara kasar kita sebut dengan istilah nepotisme. Fenomena ini sebenarnya dapat kita temui di mana pun dan kapan pun.
Tidak peduli di mana, di masa ini, dulu, atau masa depan. Saya rasa, sepanjang manusia hidup, hal tersebut akan menjadi bagian dari kehidupan kita sehari hari.
Dilema, mungkin adalah kata yang pantas untuk kita gunakan dalam keadaan tersebut. Orang-orang yang memiliki nilai tinggi dalam hidupnya, seharusnya tidak masalah jika mereka dihabisi dan digerus oleh sekumpulan atau sebagian besar orang yang secara berjamaah bernepotisme ria.
Pada praktiknya, secara tidak langsung, kita butuh cara tersebut untuk meningkatkan kepercayaan seseorang terhadap suatu amanah yang akan diemban dalam suatu sistem kontrak sosial yang berlaku agar dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Suatu contoh dalam pembukaan pendaftaran suatu organisasi atau bidang pekerjaan tertentu. Human Resources Department (HRD) akan mencari manusia manusia yang menurut dia mempunyai kapabilitas sesuai dengan tujuan organisasi/perusahaan tersebut.
Jika HRD menemukan seorang teman yang dia anggap bisa dan mumpuni (meskipun ternyata ada orang lain yang lebih hebat) untuk melakukan pekerjaan tersebut, saya yakin dia akan mengambilnya. Namun di sisi lain, HRD juga melihat bahwa perlu diadakannya tes yang cukup panjang untuk mencari kandidat yang cocok untuk perusahaan.
Dari kedua persoalan tersebut yang membedakannya adalah tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap orang yang telah dipekerjakan tersebut. Orang yang memasukkan temannya atau kerabatnya dalam suatu sistem, tentunya bertanggungjawab penuh atas kinerja dan kualitas orang tersebut.
Di sisi lain, sistem tes yang memiliki tanggungjawab penuh atas kinerja dan kualitas orang tersebut. Kualitas kinerja orang tersebut akan mengukur seberapa bagus kualitas orang atau sistem yang digunakan sebagai alat seleksi alam. Jika tidak bagus, maka harus diganti, pemecatan perekrut atau perombakan sistem.
Kasus tersebut membuktikan bahwa nepotisme tidak sesempit soal perbuatan tercela yang dilakukan oleh manusia secara individu atau kelompok. Namun juga kekuatan inter-subjektif yang bekerja pada masyarakat, jika masyarakat menganggapnya sah ya sah, benar ya benar. Meski kamu berkata itu salah (ini yang sering kita keluhkan dari kekolotan sekelompok orang).
Selain itu, kecanggihan nepotisme juga dapat dilakukan oleh algoritma suatu sistem. Coba bayangkan jika saya seorang HRD dan saya membuat sistem rekrutmen dengan algoritma yang hanya cocok untuk kualifikasi dan pribadi teman atau kerabat saya. Jadi, anda bisa apa?
Kita bisa bilang itu jaringan oligarki atau monopoli terhadap golongan tertentu sehingga memperkeruh jurang indeks gini di masyarakat. Tapi kenyataannya kita juga susah mempercayai orang yang baru kita kenal meskipun kadang orang yang kita curigai itu, sebenarnya orang yang baik.
Bias pengetahuan subjektif kita membuat kita sulit percaya pada orang orang di sekitar kita, sehingga kita butuh alat bantu di luar diri kita agar dapat dimudahkan dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan masyarakat.
Saya sebut itu sistem. Sistem sama halnya dengan aturan atau hukum yang di dalamnya termuat secara langsung atau tidak bagaimana sesuatu harus dilakukan dalam kontrak sosial.
Maju tidaknya sistem tersebut pada dasarnya tidak bergantung pada seberapa banyak pengetahuan yang ditemukan. Namun konsep dasarnya adalah apakah sistem tersebut mampu menyelesaikan masalah mereka dalam berkehidupan (yang tentunya ilmu pengetahuan ada di dalamnya). Jika tidak, maka sistem itu gagal dengan sendirinya.
Sehingga boleh saya tarik kesimpulan yang cukup radikal, jika nepotisme itu masih dianggap sebagai jalan yang terbaik, ya memang itu yang terbaik. Jika kalian ingin keadilan, masuk ke dalamnya dengan cara apapun dan ubahlah sistem itu. Sebab idealisme tanpa kekuatan tidak akan berhasil.