Mbah Sanusi merupakan sosok pendiri Peguron Mbarangan. Berikut biografi ilmiah figur yang juga dikenal dengan Kiai Buyut Mbarangan tersebut.
Dusun Mbarangan sejak lama dikenal wilayah angker dan tersembunyi yang berada di Desa Kuncen, Padangan, Bojonegoro. Selain tempat persembunyian para pejuang, kawasan itu juga dikenal sebagai tempat belajar ilmu kanuragan bagi para pejuang anti penjajahan.
Tokoh yang cukup terkenal dari Dusun Mbarangan, bernama Kiai Sanusi (Buyut Mbarangan). Beliau figur pemuka dusun, sekaligus sosok pendiri tempat pendidikan agama dan ilmu kanuragan yang dulu dikenal dengan Peguron Mbarangan.
Peguron Mbarangan aktif pada akhir abad 19 M (sekitar 1875 M). Berlokasi di Dusun Mbarangan, tepat di atas jurang bantaran sungai Bengawan Solo. Di tempat itulah, Kiai Sanusi membuka tempat ngaji dan gemblengan kanuragan. Ini alasan ia dikenal dengan Mbah Sanusi Mbarangan.
Dusun Mbarangan masyhur sebagai lokasi berhimpun dan bersembunyi bagi para pejuang yang melakukan pemberontakan pada penjajahan Belanda (1880) dan Jepang (1942). Sementara Peguron Mbarangan, jadi benteng perlawanan masyarakat muslim terhadap kebengisan penjajah kala itu.
Sistem “Cultursteel” (Tanam Paksa) memang diberhentikan pada 1870. Tapi, 10 tahun kemudian, tepat pada 1880, Pemerintah Kolonial Belanda kembali menerapkan sistem “Koelieordonnanties” (Tata Cara Kuli) di Pulau Jawa. Sebuah sistem perbudakan yang lebih kejam dan tak kalah bengis dari Tanam Paksa.
Pada era sistem Koelieordonnanties (1880) inilah, Peguron Mbarangan jadi titik konsentrasi massa dalam melakukan perlawanan berbasis fisik maupun wirid. Lokasi yang menjorok ke dalam savana dan pemakaman, membuat tempat itu tak terdeteksi radar Pemerintah Kolonial.
Konon, tiap kali ada longsor bantaran sungai, peguron itu selalu bisa bergeser sendiri, menjauh dari lokasi longsoran sungai. Sampai saat ini pun, bekas Peguron Mbarangan masih ada. Di era Kiai Warsyi Sanusi (putra Mbah Sanusi), Peguron Mbarangan diubah menjadi Musola Al Hidayah Mbarangan.
Selain mengajar ilmu keagamaan, Mbah Sanusi justru masyhur sebagai kiai dokdeng yang mengajar debus kanuragan. Banyak santri-santri Peguron Mbarangan yang kelak dikenal memiliki ilmu kebal bedil, mampu memindah arah angin, dan bisa mengondisikan hujan.
Ilmu jadug kanuragan menjadi variabel penting dalam persebaran islam abad 19 M. Sebab, proses dakwah harus berhadapan head to head secara langsung dengan timah panas para penjajah. Karena itu, para pembawa misi dakwah, sudah seharusnya punya perisai ilahiyah.
Sepintas, riwayat Kiai Sanusi dan Peguron Mbarangan terkesan penuh dongeng. Namun, ada banyak bukti ilmiah berupa peninggalan pusaka, riwayat ageman, hingga rapalan wirid yang membuktikan bahwa keberadaan itu semua benar-benar kontekstual pada zamannya.
Biografi Mbah Sanusi Mbarangan
Kiai Sanusi hidup pada abad 19 M (periode sekitar 1840-1910 M). Ia bernama lengkap Sanusi bin Syahid bin Syihabuddin Al Fadangi. Beliau bagian dari keluarga besar FiddariNur Padangan. Kiai Sanusi merupakan putra Syekh Syahid Kembangan, sekaligus cucu Syekh Syihabuddin Padangan.
Kiai Sanusi lahir di Tlatah Padangan. Ayahnya memberinya nama Sanusi untuk ber-tabaruk (mengambil barokah dan berpengharapan baik) pada Imam Sanusi, pengarang Kitab Ummul Barahin (Kitab Sanusiyah). Sebab, pada abad 19 M, Kitab Sanusiyah sangat populer di Padangan.
Banyak kalangan Ulama Padangan yang membahas, menulis, dan men-syarh Kitab Sanusiyah. Terbukti, dari banyak manuskrip abad 19 M yang ditemukan di Padangan, mayoritas membahas Kitab Sanusiyah. Itu alasan Kiai Syahid Kembangan memberi nama anaknya dengan Sanusi.
Sanad Ilmu Mbah Sanusi Mbarangan
Sanusi belajar agama sejak kecil. Ia belajar ilmu syariat dan Al Quran pada sang ayah, Kiai Syahid Kembangan. Ia juga belajar pada Syekh Abdurrohman Klotok, yang merupakan saudara dari kakeknya. Selain itu, ia juga belajar tarekat pada Kiai Syamsuddin Betet, yang tak lain adalah pamannya sendiri.
Masyhur sebuah cerita, Sanusi remaja diminta ayahnya riyadhah dan tirakat (hidup prihatin) di Bukit Nglirip Tuban. Ia boleh berkeluarga jika sudah menjalani laku tersebut. Riyadhah di Bukit Nglirib sudah jadi tradisi keluarganya. Sebab, ada ikatan keluarga dengan Syekh Abdul Jabbar Nglirip Tuban.
Kiai Sanusi masih terhitung keturunan ke-6 dari Syekh Abdul Jabbar Nglirib Tuban. Urutannya: Sanusi bin Syahid bin Syihabuddin bin Istad bin Juraij bin Anam bin Abdul Jabbar Nglirip Tuban. Ini alasan kenapa sang ayah memintanya melakukan riyadhah di Bukit Nglirip.
Kiai Sanusi menjalani riyadlah di Bukit Nglirip Tuban selama 5 tahun. Di usia sekitar 20 tahun, ia diutus ayahnya untuk menikah dan membuka surau tempat pengajian di sudut Desa Kuncen Padangan. Tempat ia membuka pengajian itu, kelak dikenal dengan Peguron Mbarangan.
Mbarangan Era Penjajahan Belanda
Saat Sistem Koelieordonnanties (1880 M) terjadi, Dusun Mbarangan jadi tempat sembunyi para pelarian pejuang. Sebab, lokasinya sangat menjorok ke dalam dan sulit ditemukan. Di saat sama, Peguron Mbarangan juga sudah berdiri sebagai surau kecil tempat mengaji.
Savana semak belukar yang dipagari kali, sungai, dan pemakaman itulah, yang diperjuangkan Kiai Sanusi untuk dijadikan pemukiman warga. Demi mempertahankan sepetak tanah di bantaran sungai Bengawan Solo itu, ia rela mengeluarkan biaya (uang), bahkan berhadapan langsung dengan berondongan bedil penjajah.
Kiai Sanusi masyhur Kiai Suwuk yang bisa mengobati penyakit. Beliau tak hanya mengajar ngaji, tapi juga pencak dan wirid yang dikemas dalam ilmu debus-kanuragan. Atas nama perlawanan pada para penjajah, Kiai Sanusi mengajarkan ilmu kanuragan pada para santri Peguron Mbarangan.
Santri-santri Peguron Mbarangan dikenal sebagai ahli pencak debus dan ilmu kanuragan. Wirid yang beliau ajarkan, sesungguhnya beraroma Tarekat Rifai’yyah. Hal itu sangat logis. Sebab, para pendahulunya seperti Syekh Syahid Kembangan, Syekh Syamsuddin Betet, Syekh Abdurrohman Klotok, hingga Syekh Syihabuddin Padangan merupakan para ulama pengamal tarekat.
Di antara peninggalan Kiai Sanusi yang masih terawat hingga saat ini adalah Wirid Donga Jawa dan Suluk Lembu Sekilan yang meliputi Ageman Kebonambang, Wirid Bisteguh (Bismillah tafsir Jawa), Wirid Surat Qadr, hingga Wirid Telung Kul (3 surat terakhir dalam Al- Quran), yang menjadi ajaran khas Peguron Mbarangan.
Selain itu, Kiai Sanusi juga meninggalkan pencak debus yang dikenal dengan Pencak Mbarangan. Sampai pada dekade 1990, banyak masyarakat sekitar yang menjadikan Pencak Mbarangan sebagai bagian dari seni kearifan lokal setempat.
Amalan wirid dan pencak debus-kanuragan ini, memiliki kesamaan dengan Peguron Kedungkebo Senori (Mbah Syarif Kedungkebo) dan Peguron Trembes Malo (Mbah Yakub Trembes). Sebab, peguron-peguron itu bermuara dan berafiliasi pada Syekh Syahid Kembangan.
Mbarangan Era Penjajahan Jepang
Kiai Sanusi wafat sebelum era Pendudukan Jepang. Namun, Peguron Mbarangan masih dan dilanjutkan putra-putranya. Di antara putra Kiai Sanusi adalah; Kiai Khosman Sanusi, Kiai Warsun Sanusi, Kiai Warsyi Sanusi, dan Kiai Waridin Sanusi.
Peguron Mbarangan cukup terkenal di era Penjajahan Jepang (1942-1945). Sebab, tempat itu jadi pusat perlawanan bagi para pejuang islam. Baik perlawanan berbasis fisik maupun amalan wirid. Di era pendudukan Jepang inilah, Mbarangan terkenal akan pencak-debusnya.
Selain terkenal pencak-debus, di era Pendudukan Jepang ini, Peguron Mbarangan jauh lebih terkenal sebagai tempat pengobatan (suwuk) berbasis wirid. Ini sangat logis. Sebab, waktu itu, belum banyak Rumah Sakit didirikan.
Setelah pendudukan Jepang berakhir, salah satu putra Kiai Sanusi yang bernama Kiai Warsyi Sanusi, menjadikan tempat itu sebagai musola. Kiai Warsyi Sanusi juga mengajar ngaji Quran di sana. Saat ini, musola bekas Peguron itu dikenal dengan nama Al Hidayah Mbarangan.
Makam Pundung Serut Widara
Mbah Sanusi dimakamkan di Makbaroh Mbarangan, lokasi yang tak jauh dari Peguron tempat ia mengajar. Masyarakat setempat mengenal makam Mbah Sanusi dengan istilah Pundung Serut Widara (Pundung Witdoro).
Disebut Pundung Serut Widara karena lokasinya tertutup gundukan bukit tanah (pundung). Sementara di atas pundung terdapat pohon serut dan pohon bidara (widara) berukuran besar. Pundung beserta dua pohon besar di atasnya itu, terakhir terlihat pada tahun 1990.
Di Makbaroh Mbarangan, Pundung Serut Widara dikenal masyarakat sebagai lokasi angker dan dikeramatkan. Masyarakat sekitar banyak yang tak mau mengambil sesuatu (ranting kayu/tanah) di lokasi tersebut, karena takut pamali. Tepat di lokasi Pundung Serut Widara itulah, Kiai Sanusi beserta keluarganya disemayamkan.
Penerus Kiai Sanusi Mbarangan
Mbah Sanusi Mbarangan memiliki 4 orang putra. Di antaranya Kiai Khosman Sanusi, Kiai Warsun Sanusi, Kiai Warsyi Sanusi, dan Kiai Waridin Sanusi. Dari putra bernama Kiai Warsun Sanusi, kelak Mbah Sanusi memiliki cucu bernama KH Ahmad Bishri Mbaru, salah satu muasis dan pengurus pertama NU Padangan (1938 M).