“Tapi, siapalah aku, memantik api cemburu di cerutumu yang lekas jadi abu….”
Bait terakhir puisi itu diucap fasih sekali. Puisi yang kutulis 3 tahun lalu. Mendengar itu, aku langsung tergeragap dari lamunan. Rokokku jatuh. Cangkir kopi di depanku, hampir saja kusenggol jatuh.
Untung kemampuan reflek bekas kiper-ku masih amat bagus. Cangkir itu tak jadi pecah. Aku menangkapnya. Sekaligus menangkap seraut wajah tak asing yang melintas tepat di depanku.
“Kau masih sama. Suka grogi dan malu-malu.”
Aku masih belum berani menatap wajahnya dengan pandangan utuh. Aku menatap batang rokok yang kian lama kian habis, sambil sedikit tak percaya jika aku benar-benar menemuinya malam ini.
“Kok diam saja? Aku masih hafal lho, sama puisi itu…”
Aku benci dengan suaranya. Merdu dan amat fasih membaca bermacam puisiku. Aku benci karena selalu ada getar dan desir aneh di dada, saat aku mendengar suaranya, apalagi diperdengarkan langsung di depanku.
“Gimana kabarmu?”
Sesungguhnya aku ingin segera menjawab: aku baik-baik saja, dan segera pula menatap wajahnya. Tapi entah kenapa, batang rokok yang kian lama kian habis ditelan api, justru lebih menyita pandanganku.
Beberapa orang terlihat melintas di jalanan. Sementara pemilik cafe, sibuk melayani pengunjung yang seolah tak pernah usai berdatangan. Suasana memang amat riuh. Tapi di mejaku, di meja kami berdua, maksudnya, rasanya amat sepi.
Malam di tempat ini seperti menjelang subuh. Dingin dan amat berkabut. Tapi tetap saja indah. Gunung Wilis seperti berada di atas kepala. Dulu sekali, kami berdua sering berkunjung ke tempat ini.
“Kau tampak berbeda…” dengan kebodohan yang sempurna, tiba-tiba pernyataan itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Dia tertawa. Tentu saja terbahak-bahak. Dia langsung mengambil bungkus rokok di dekatku, meloloskan sebatang dan menyalakan api di ujungnya, sambil berkata, “Harusnya aku yang mengatakan itu ke kamu, dasar!”
“Dasar apa?”
“Dasar nggak ada perubahan.”
Isapan rokok pertamanya amat dalam, hingga asap yang terhempas dari isapan itu, seolah memberitahu tentang kelelahan, ketenangan juga kebijaksanaan yang amat-amat dewasa. Keibuan.
“Kau nggak berubah, masih sama.”
“Maksudnya?”
“Sekarang sama siapa?”
“Kan aku tanya maksud kalimat yang tadi.”
“Suka plin-plan dan nggak fokus sama satu orang.”
Aku tahu dia berupaya membangkitkan kenangan 3 tahun lalu. Dulu, dia sering menyindir sikapku yang plin-plan dan konon tak mau fokus sama satu orang. Meski sesungguhnya, itu hanya asumsi dia saja. Aku mulai berani menatap wajahnya. Dan seperti biasa, dia akan tersenyum malu saat kutatap begitu.
“Sekarang sama siapa?” Dia kembali menanyakan pertanyaan yang sebelumnya dia tanyakan tadi.
“Kan sedang sama kamu.”
Tentu saja itu guyonan garing. Dan aku tahu dia tak akan tersenyum, alih-alih tertawa. Dengan raut wajah yang amat datar, dia justru menggodaku dengan mengatakan, “Tiga tahun sudah berlalu dan rayuanmu tetap saja tak ada kemajuan sama sekali.”
Aku benci dengan raut wajah yang datar itu. Raut wajah yang seakan mengatakan “terserah” pada tawaran makan malam atau makan siang bersama di depan kampus. Tapi tetap saja dia tampak manis. Dan entah kenapa, aku membencinya. Aku benci saat dia terlihat manis seperti itu.
“Hei jawab dulu, kamu sama siapa sekarang?”
“Sendiri.”
“Kok aku gak percaya, ya?”
Aku diam saja. Tak mau menjawab. Itu pertanyaan yang menjebak, tentu saja. Dan aku tak suka dijebak. Jadi aku tak jawab. Tapi sepertinya, dia terlihat tak percaya kalau aku sedang sendirian. Dan itu tak masalah bagiku.
“Kau tak pantas sendirian, saat bersamaku pun, bukankah kau sering tak sendirian?”
“Kan emang manusia tak bisa sendirian, ia ditemani angan-angan dan kecemasan, dan itu manusiawi kan?”
Dia tak melanjutkan perbincangan. Dia diam. Tapi diam yang diam-diam mengokang senjata. Diam yang awas dan sedang mempersiapkan. Mungkin mempersiapkan pertanyaan yang mengagetkan.
“Emang dulu siapa sih, yang sering kamu bikinin puisi itu?”
Gantian aku yang diam. Aku diam bukan karena mengokang senjata. Tapi karena benar-benar tak tahu harus bilang apa.
“Kenapa? Kamu cemburu?”
“Dulu sih iya…”
“Kalau sekarang?”
Dia tak menjawab, lalu melepas kacamatanya. Matanya tiba-tiba menyipit. Sipit sekali. Dan aku merasa, dia terlihat lebih cantik kalau tak berkacamata. Tiga tahun tak bertemu, dia banyak berubah. Tidak kekanak-kanakan dan terlihat dewasa.
Mata sipit itu pula yang beberapa tahun lalu mampu membuat mataku menjadi amat luas memandang hidup. Saat dia tersenyum, matanya hilang. Saat kutanya ke mana arah matanya itu, dia bilang: bersembunyi ke hatiku.
Aku menatap Gunung Wilis dengan perasaan yang aneh. Dia juga menatap Gunung Wilis dengan perasaan yang, mungkin sama anehnya. “Jangan PHP-in perempuan terus, kamu harus mantap memilih satu secara serius, jangan plin-plan.”
Aku seperti mendengar ucapan Dewi Kwam Im, dan memang wajahnya sangat mirip Dewi Kwam Im dalam film seri Journey to The West. Dulu dia sering kupanggil Dewi Kwam Im, dan saat seperti itu, biasanya dia tersenyum malu.
Dia tertawa terbahak-bahak saat kuingatkan jika ayam geprek itu harus digeprek. Kalau tidak digeprek, namanya ayam cerubuk pakai sambal bawang saja.
Kami berdua, dulu sering mengunjungi lokasi ayam geprek di seantero kota. Semua pernah kami kunjungi, menganalisis perbedaan bumbunya, lalu memperbincangkannya.
Tiba-tiba dia diam dengan mulut yang terkatup lucu. Terlihat sedikit cemas dengan raut wajah yan agak berubah. Tangannya bergerak-gerak seperti mencari sesuatu di dalam tas. Lalu, dengan ketegangan seorang perempuan yang ingin mengungkapkan perasaan cinta, dia memberikan sesuatu kepadaku.
“Aku hanya ingin kau tahu, dan kalau kau tak datang pun, aku tak masalah.”
“Iya, gapapa.” Kataku sambil menatap undangan dengan dekorasi bunga-bunga berwarna merah muda itu, lalu tersenyum sedikit nyesek dan sedikit lega.
Saat pengelola cafe mulai mengemasi barang-barang dan meminta izin segera menutup cafenya, kami pun mengemasi kenangan dan memutuskan kembali ke kehidupan masing-masing.
Sementara di telingaku masih terngiang sebait kalimat: Tapi, siapalah aku, memantik api cemburu di cerutumu yang lekas jadi abu.
Kadang, berkah dan kutukan batasnya amat tipis sekali. Serupa batas sedih dan bahagia. Atau seperti tangis dan tawa. Mungkin itu penyebab saat merasa bahagia, seseorang bisa sampai menangis.
Dimuat pertama: 30/11/2019