Bilangnya ngopi pesennya es teh. Bilangnya ngeteh pesennya es jeruk. Bilangnya apa nyatanya apa ~
Jika ingatan saya tak salah, saya mulai suka nyangkruk di warung kopi (warkop) sejak duduk di bangku aliyah. Liburan semester saya pulang kampung beberapa hari untuk melepas rindu ke keluarga. Maklum, masa remaja emosi suka labil.
Sebentar, sepertinya diksi pulang kampung tidak layak saya sebut. Sebab semasa aliyah, saya masih tinggal di satu kabupaten yang sama walau berbeda kecamatan. Tapi apapun itu, saya berhak melepas rindu dengan keluarga kan? Hehe
Di salah satu malam tahun 2016, saya diajak kedua teman saya ngopi di kecamatan Sumberrejo. Sebenarnya saya tidak mau karena saya tidak suka kopi. Tapi, iming-iming ada wi-fi, runtuhlah pertahanan saya.
Seusai Isya, kami menuju warkop yang berada di halaman kecamatan Sumberrejo. Dengan menggunakan dua motor, tibalah kami di sana. Sebuah banner terpasang di tossa viar biru, “Warkop OTW”.
Transportasi beroda tiga dengan bak yang sudah dimodifikasi menjadi dapur sekaligus tempat kopi dan kawan-kawannya itu, terletak tepat di tepi jalan. Sebuah tikar biru besar terhampar di bagian selatan lapangan kecamatan. Sedangkan bagian lain, para pedagang mulai bapak penjual pentol hingga bapak odong-odong nampak senang banyak pembeli.
Penikmat kopi ramai duduk di tikar. Sahut senda gurau, kepul asap rokok dan pertandingan bola luar negeri di layar tivi menemani malam itu. Begitulah warkop OTW, dengan kesederhanaan motor roda tiga warung ini sedang berjalan menjemput rezeki, “On the Way”.
Saya mendekati penjual kopi yang terlihat masih muda. Masing-masing dari kami memesan minum. Dua teman memilih kopi hangat, sedangkan saya memesan jodoh es jeruk.
“Kok gak pesan kopi?” selidik teman saya. “Tidak. Lagi ingin minum es”. Sejatinya malam itu dingin, tapi tak membuat saya memesan kopi. Sebab dasarnya memang tak begitu suka kopi.
Menjadi lelaki yang tidak begitu menyukai kopi memang menjadi masalah sendiri bagi saya. Terlebih sekeliling saya sangat suka kopi dan menjalani ibadah ngopi di warkop. Sedangkan saya, amat jarang memesan sekaligus minum kopi.
Sebab itu kalimat “Ngopi kok pesen es!” kerap kali saya dengar ketika ngopi bersama teman-teman. Atau kalimat lain, “Ngopi tapi gak pesan kopi”. Lah apa salahnya minum es? Toh sama-sama minum kan?
Saya rasa tidak ada salahnya ketika seorang lelaki tidak meminum kopi. Juga tidak salah menurut saya ketika perempuan ngopi. Hanya saja, budaya yang mengakar di masyarakat menjadikan ini sebagai suatu konflik.
Lho, bagaimana bisa?
Begini. Budaya ngopi lazimnya di masyarakat kita dilakukan oleh kaum lelaki. Sedangkan dianggap tabu bahkan menyimpang jika perempuan yang ngopi. Tak heran jika perempuan malah menjadi korban pelabelan menyimpang.
Tetapi seiring berkembangnya penindasan terhadap rakyat teknologi dan informasi serta perubahan budaya yang ada, masyarakat mulai open minded tentang hal ini. Namun, saya merasa masih ada yang keliru jika ngopi tapi pesan es.
Saat lelaki tidak meminum kopi dianggap tidak gentle atau gak laki banget. Hal ini tentunya mengiris-iris perasaan. Buktinya, pertanyaan teman saya tadi sedikit mengoyak hati saya. Apa memang saya yang suka baper ya?
Stigma ngopi tapi pesan es dianggap perilaku aneh saat ngopi. Tentu saja ini karena yang lazim selama ini ngopi ya pesan kopi. Kalau masih ada yang nyinyir seperti itu, skip aja. Hehe
Maksud saya, biarkan orang berkata apa, yang penting aku bahagia ((pliss jangan dibaca sambil nyanyi)). Sama dengan makan, orang juga memiliki selera minum yang berbeda.
Perkataan orang semacam itu anggap angin lalu. Bodo amat aja. Perihal kopi atau es bukan menjadi masalah, karena perbedaan itu menjadi khazanah unik dalam pertemanan.
Kopi itu pahit, tapi lebih pahit hidup dalam kesia-siaan. Belajar dari gula dalam kopi, walau tak dianggap dan tak disebut, gula memberi penyeimbang dalam secangkir kopi.
Belajar juga dari es jeruk, seasam apa pun, hidup harus tetap berjalan. Tiap minuman ada kebahagiaan. Temukan itu dalam minumanmu.
Belajar dari keduanya. Kopi pahit atau es manis, cintai dengan kesederhanaan. Karena kopi juga bisa jadi perantara kematian seperti nasib Wayan Mirna Salihin. Juga es manis mengantarkan pada tangga ajal, diabetes misalnya.
Lebih penting juga, ngopi atau nge-es tetap bincangkan yang baik-baik ya. Warkop bukan tempat untuk ghibah, tapi jadi ruang temu penuh solusi dari tiap masalah.
Oh iya, barangkali kalau Bung Karno masih hidup sekarang, bisa jadi ia marah-marah melihat saya tidak termasuk pemuda yang ngerokok, ngopi dan membincangkan bangsa ini.
Tenang, Bung. Walau saya tidak merokok dan ngopi, es yang saya pesan sudah jadi panas, sebab polemik bangsa yang kami diskusikan tak kunjung menemui jalan keluar.