“Tolong cermati setiap sudutnya. Ini adalah warisan kita. Untuk peradaban dunia!” Abdurrahman Al – Dakhil
“Cordoba! Cordoba! Cordoba!” Gumam itu, entah kenapa, meluncur pelan dari bibir saya, beberapa tahun yang lalu, mengiringi langkah kaki saya dan sebuah keluarga dari Bandung. Kala itu, kami sedang melangkah pelan di pelataran sebuah bangunan megah yang telah berusia 1.239 tahun. Itulah “Masjid Cordoba”, Andalusia.
Sebelum melangkah masuk ke dalam “masjid”, kami berdiri sejenak. Ya, berhenti sejenak di pelataran “masjid”: mencermati setiap jengkal bangunan yang memancarkan keindahan arsitektur Islam klasik. Tiba-tiba, bayangan Abdurrahman al-Dakhil, pendiri Masjid Cordoba di Andalusia ini, muncul dalam benak saya.
Seolah, ia mengajak saya memasuki masjid yang ia dirikan itu. “Silakan masuk,” bisiknya. “Tolong cermati setiap sudutnya. Ini adalah warisan kita. Untuk peradaban dunia. Setiap pilar yang didirikan di sini lebih indah dari yang ada Masjid Umawi di Damaskus,” bisiknya.
Shahn (pelataran) itu seluas hamparan sajadah raksasa: 65 x 75 meter, dihuni 129 tiang marmer merah-putih yang diimpor dari Gunung Syraeus. Di sini, geometri adalah zikir. Setiap lengkung tapal kuda yang bersusun dua—merah bata dan putih kapur—adalah tasbih yang terukir di udara.

Di pelataran selatan, pohon jeruk nipis bergetar. Kami pun duduk di tepi kolam tua tempat Ibn Arabi pernah membasuh muka sebelum menulis karyanya yang kondang Fushûsh al-Hikam. Airnya masih sama: dingin, bening, dan menyimpan gema diskusi Ibn Rusyd dan Maimonides tentang Aristoteles. Di sini pula, dulu, airnya pula yang membasuh kaki Ibn Thufail sebelum sang filosuf menulis karya legendarisnya Hayy ibn Yaqzhan.
Kami pun, kemudian, masuk ke dalam masjid. Ketika kami berada di dalam “masjid”, terlihat di bawah kubah mihrab, langit terbelah. Ribuan keping mosaik Byzantium—hadiah Kaisar Nikephoros II—berpendar bagaikan bintang yang dijemur. Di sini, pada tahun 961 M, al-Hakam al-Mustanshir membangun mahakarya yang membuat sejarah arsitektur Eropa gemetar: lengkung duri ikan (intersecting arches) yang saling menyilang, melahirkan pola bintang segi delapan. Arsitek Gotik abad ke-12 kemudian mencuri pola ini, lalu menyebutnya “karya Tuhan”.
Kini, kita lihat lebih cermat. Ternyata, di sela-sela emas Byzantium, ada kaligrafi Kufi yang meliuk seperti aliran Sungai Nil. “Kekuasaan milik Allah”—tulisnya. Ternyata, tangan yang memahatnya adalah Pablo de Segovia, seorang mualaf Andalusia yang mati buta karena memandang emas terlalu lama.
Di sudut timur laut, kubah kecil menyembunyikan rahasia: gambar zaitun tersembunyi di antara ayat-ayat. “Ini untuk ibu saya,” bisik Pablo pada marmer, “seorang biarawati yang selalu mengirimiku minyak zaitun.”

Selepas menikmati berbagai penjuru “masjid”, kami kemudian melangkah menuju ruang bawah tanah di situ. Di ruang bawah tanah yang gelap itu, air mata mengalir. Saluran air abad ke-10 ini masih deras—mengalir dari Pegunungan Sierra Morena, menyusuri terakota Romawi, membasahi akar pohon jeruk di pelataran. Di sini, di terowongan yang dihuni laba-laba, ada prasasti kecil: “Di tempat ini, Khalid ibn Yazid menangis karena kehilangan anaknya. Air matanya menggenang, lalu menjadi kolam ini.”
Kolam itu, saat itu, kering. Namun, di dindingnya, ada cap tangan berusia 900 tahun—telapak kanan seorang cewek dengan cincin perak di jari manis. Seorang pemandu memaparkan, “Itu adalah Inés, putri Alfonso VIII. Saat ia kabur dari pernikahan dan bersembunyi di sini. Lalu, ia memeluk Islam.” Kisahnya? Tak ada yang tahu pasti. Namun, setiap fajar tersenyum, sinar pertamanya senantiasa menyentuh cap tangan itu. Sehingga, membuat cap itu berpijar seperti pesan yang tak terbaca. Lama, kami “menikmati” masjid yang lahir dari rindu ini.
Lembaran sejarah menuturkan, pada tahun 169 H/784 M, Abdurrahman al-Dakhil—penguasa pertama Umawiyah di Andalusia—merancang masjid ini sebagai syukur atas kemakmuran yang Allah Swt. anugerahkan kepadanya. Ia ingin menyaingi kemegahan Masjid Umawi di Damaskus. Namun, dengan jiwa Andalusia: harmoni antara geometri Islam dan kelembutan Sungai Guadalquivir.
Awalnya, masjid ini hanya seluas 65 x 75 meter. Shahn (pelataran)-nya seluas ruang shalat, dihiasi tiang-tiang yang berbaris laksana tentara berdoa. Tiap pilar adalah puisi: batang marmer merah-putih yang tinggi menjulang, menyangga lengkung tapal kuda berlapis emas.
Lantas, sejarah pun bergulir. Hisyam al-Ridha (796 M) menambah baris shaf ke arah pelataran. Abdurrahman al-Ausath (848 M) memperluas ruang shalat delapan baris ke kiblat, memindahkan mihrab ke marmer yang lebih anggun. Abdurrahman al-Nashir (951 M) membangun menara berlian setinggi 47 meter—kini menjadi menara lonceng gereja, tapi jejak azannya masih terpatri di batu.
Sedangkan al-Hakam al-Mustanshir (961 M) mendorong masjid hingga ke tepi sungai. Di sini, mihrab baru lahir: mosaik emas Byzantium berpendar di bawah kubah berbentuk cangkang kerang, dikelilingi kaligrafi Kufi yang meliuk bak sungai.
Di sisi lain, dibalik keindahannya, sejatinya Masjid Cordoba menyimpan revolusi arsitektur. Kubah-kubah kecil di atas mihrab masjid ini bukan sekadar hiasan. Kubah-kubah itu adalah cetak biru langgam Gotik Eropa. Selain itu, para arsitek Umawiyah menciptakan lengkung duri ikan—jendela batu berbentuk duri yang saling bersilang di puncak kubah.
Inilah pertama kalinya lengkung runcing (pointed arch) muncul dalam sejarah, 300 tahun sebelum Katedral Notre Dame tegak. Saat Pasukan Salib pulang dari Andalusia, mereka membawa teknik ini—lalu melahirkan langgam Gotik yang mengubah wajah Eropa.
Kemudian, pada tahun 987 M, al-Manshur bin Abu Amir—si Jenius Ambisius—memekarkan masjid ke sisi timur. Ruang shalatnya mencapai 19 baris ke kiblat dan 35 baris ke samping. Total luasnya 22.500 m²—setara lima kali lapangan bola. Shahn-nya adalah taman surgawi: pohon jeruk nipis berbaris di antara kolam air yang memantulkan bayangan menara.
Sehingga, di sini, air wudhu mengalir dari saluran bawah tanah ke sembilan kolam berkubah. Orang-orang menuruni tangga batu untuk menyentuh air yang sama yang pernah membasuh tangan Ibn Rusyd dan Ibn Arabi.
Tragedi menimpa Masjid Cordoba pada tahun 634 H/1236 M, ketika Cordoba jatuh ke tangan penguasa Kristen. Masjid agung ini pun diubah menjadi katedral. Pada abad ke-14 M, sebuah katedral kecil dibangun di sisi barat masjid.
Kemudian, pada tahun 930 H/1523 M, sebuah katedral besar bernama “La Mezquita” didirikan di jantung bangunan ini. Pembangunan katedral ini menuai protes. Malah, dari Kaisar Carlos V sendiri. “Kalian telah merusak sesuatu yang unik untuk menciptakan sesuatu yang biasa,” katanya. Namun, terlambat. Sebagian pilar diruntuhkan, altar Barok menggantikan mihrab. Namun, arsitektur Islam tetap bertahan—seperti ruh yang tak mau pergi.
Di sisi lain, sebelum menjadi katedral, masjid ini adalah Oxford-nya Abad Pertengahan. Di bawah lengkung-lengkungnya, Ibn Hazm menulis Thauq al-Hamamah: filsafat cinta yang abadi, dan Ibn Firnas merancang sayap manusia pertama.
Di sini pula, hukum Islam dan risalah Aristoteles didiskusikan dalam satu napas. Sistem pengajarannya pun revolusioner: kurikulum terstruktur, guru bergaji negara, perpustakaan dengan 400.000 manuskrip. Malah, sidang pengadilan digelar di sini—suara hakim berbaur dengan lantunan ayat Alquran.
Kini, Masjid Cordoba masih berdiri dengan gagahnya: simfoni lengkung Islam yang mengapit altar Barok, kaligrafi Kufi yang berdesakan dengan patung Santo. Namun, di balik pertentangan itu, ada pelajaran abadi: “Peradaban sejati bukan milik satu agama atau bangsa. Ia adalah warisan manusia—kristal dari air mata, darah, dan doa yang mengeras menjadi keindahan.”
Meski demikian, dapat dikatakan Masjid Cordoba adalah bukti nyata pencapaian peradaban Islam di Andalusia. Masjid ini adalah mahakarya arsitektur yang menginspirasi dunia, sekaligus simbol toleransi dan kebhinekaan. Meski kini berfungsi sebagai katedral, jejak-jejak keislamannya tetap terpelihara, mengingatkan kita pada masa keemasan Islam di Eropa.
Ketika kami berjalan menuju pintu keluar, saya pun menyentuh prasasti Arab dan Spanyol yang berdampingan; “Bismillah” dan “En el nombre de Dios“—dua bahasa, satu makna. Tiba-tiba saya membayangkan, seakan “Masjid Cordoba” ini mengajak kita untuk menghargai warisan budaya, merawat kebhinekaan, dan terus belajar dari masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih baik. Ini seperti pesan Abdurrahman al-Dakhil, “Masjid ini adalah ungkapan syukur kami kepada Allah Swt.! “