Bengawan Solo (yang dulu bernama Bengawan Semanggi), tercatat empiris sebagai pusat moda transportasi dan jalan raya utama sejak abad 10 M.
Sebagaimana diketahui, periode sejarah pra-Islam Jawa biasanya terbagi menjadi tiga periode: periode Jawa Barat, yang berlangsung sejak awal kalender Saka hingga awal abad keenam Masehi, disusul dengan periode Jawa Tengah, abad ketujuh sampai awal abad kesepuluh, dan yang terakhir periode Jawa Timur, dari abad kesepuluh sampai abad keenam belas.
Pada abad kesepuluh, tepatnya dengan munculnya Raja Sindok pada tahun 929, kebudayaan Jawa seolah-olah berpindah dari Jawa Tengah ke wilayah Jawa Timur, hal ini terjadi sedemikian rupa sehingga seakan tidak dijumpai lagi keberadaannya di masa-masa setelahnya.
Peradaban Jawa Tengah seakan tenggelam dalam kurun waktu yang panjang, seperti yang ditulis sarjana Belanda, Krom: “Kebudayaan Hindu-Jawa di Jawa Tengah telah kehilangan arti penting sejak saat itu”. Arkeolog mengatakannya sebagai “Jawa Tengah yang sepi” pada periode Jawa Timur.
Tetapi sebenarnya data berbicara lain, betapapun sedikitnya, tetapi dapat memberikan petunjuk mengenai bagaimana keadaan Jawa Tengah yang tampak gelap. Sebuah piagam terbuat dari lempeng tembaga (prasasti), yang diterbitkan pada 1358 oleh Raja Hayam Wuruk, mengabarkan keadaan Jawa Tengah di masa kejayaan Majapahit.
Sungguh di luar dugaan bahwa pemberian hak istimewa kepada para pengelola penyeberangan (tambangan) sungai ini juga termasuk para pengelola yang berlokasi di wilayah desa-desa yang jauh dari keraton Majapahit. Bahkan termasuk desa yang menjadi ibukota Pajang dan Surakarta, hal ini menunjukan bahwa hubungan dengan Jawa Tengah tak putus pada masa Majapahit.
Para sejarawan era klasik telah menunjukkan keterkaitan sungai dengan perkembangan sebuah wilayah; Jawa Tengah dengan Bengawan Solo, Jawa Timur dengan Brantas. Ketika pusat kebudayaan dan politik masih di Jawa Tengah, Bengawan Solo merupakan jalur perdagangan utama hingga laut.
Dengan beralihnya pemerintahan Raja-raja menuju Jawa Timur yang dibarengi dengan relokasi kehidupan budayanya, Brantas sebagai jalur perdagangan ke laut akan semakin meningkat. Bengawan Solo tampak tertinggal dalam berbagai hal karena piagam tersebut lebih banyak menyebut daerah aliran sungai Brantas, yang saat itu merupakan pusat kehidupan budaya Jawa.
Ketika Majapahit akhirnya runtuh dan dengan itu pula kebudayaan Hindu-Jawa di pedalaman Jawa Timur, kita akan kembali mendengar pembicaraan tentang Bengawan Solo sebagai jalur perdagangan utama antara Mataram Islam dan pelabuhan laut Gresik. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Bengawan Solo ternyata selalu sama pentingnya untuk menghubungkan Jawa Tengah dengan laut, baik pada masa Hindu-Jawa maupun setelahnya, yaitu pada zaman Islam, dan juga Eropa (VOC).
Menjelang awal abad ke-20, navigasi di Bengawan ini menurun tajam, sebagian karena penggundulan hutan di lahan yang luas di wilayah hulu, dan sebagian lagi karena semakin banyaknya kendaraan (kereta api) jalur darat yang lebih cepat.
Pada abad-abad sebelumnya, muatan kapal terdiri dari produk-produk, terutama beras, yang diangkut dari pedalaman pertanian Jawa untuk diekspor, dan barang-barang mancanegara yang dibawa dari gudang di Gresik menuju ke Jawa Tengah.
Garam rupanya adalah komoditas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pedalaman. Beberapa prasasti yang berhubungan langsung dengan wilayah Bengawan Solo mencerminkan sifat ekonominya.
Dimulai dari hulu Bengawan, dokumen pertama adalah prasasti yang berhubungan dengan penyeberangan gratis di Wonogiri. Lalu sebuah prasasti abad 10 M yang ditemukan di dekat Padangan (Papadang) dan dekat Tuban (Biluluk) yang menunjukkan adanya perdagangan yang sibuk di sana.
Dokumen tersebut juga menyebutkan “garam yang diambil dari mata air” (wuyah saking sumbul). Dengan peran pedagang (parajuru ning asambewara) dan perizinan mengambil garam (wenang acibukana banyu asin; yaitu : berwenang untuk mengolah air asin). Sampai saat ini pun, sumber “mata air asin” yang berada di wilayah itu bekasnya masih ada.
Surakarta disebut pada masa VOC masih disuplai garam dari Gresik. Garam dari laut utara ini diangkut dengan kapal menyusuri Bengawan Solo. Untuk tujuan ini, atas perintah Susuhunan, sepuluh kapal besar berangkat setiap tahun ke Gresik pada musim hujan. Pangeran Prang Wedana kemudian mengirimkan lima buah kapal.
Jika perjalanan dilakukan lebih dari satu kali dalam setahun, maka harus kembali sebelum musim kemarau, jika tidak maka akan kesulitan dengan tempat-tempat yang tidak dapat dilewati di Bengawan karena debitnya yang berkurang.
“Perahu tersebut memuat berbagai barang dagangan dalam negeri seperti kulit, padi, minyak, kapas, dan lain-lain. Barang dagangan tersebut dijual di Gresik dan Surabaya, sedangkan garam dibeli dengan uang tunai yang diterima…”,
betapa besarnya pelayaran komersial yang masih dapat disaksikan di Bengawan Solo pada saat itu, di mana penulis Belanda berbicara tentang lalu-lintas itu “dengan bantuan para pedagang yang sampai sekarang mencari nafkah dari perdagangan di Gresik”, dan terdapat “sejumlah desa makmur yang dihuni oleh pemilik dan awak kapal hingga tiga ratus perahu.”
Para pedagang itu bisa jadi adalah para Ulama yang memiliki kapal dan berhubungan baik dengan Gresik, dan desa makmur itu mungkin adalah desa-desa di sepanjang Jipang. Namun yang pasti, dari keterangan itu jelas bahwa pada zaman dahulu navigasi kapal di Bengawan Solo, adalah jalan penghubung paling penting antara pusat kebudayaan Jawa Tengah (Pajang, Mataram) dan laut (Gresik, Surabaya), sebelum berkembangnya sarana transportasi lainnya.
Dalam laporan pekerjaan di Solo-Valley yang diterbitkan pada tahun 1900, dapat ditemukan beberapa data dan angka menarik, misalnya, “terdapat kapal layar yang datang langsung dari Surabaya atau Gresik, berlayar menyusuri (muara) Kali Miring di sana… untuk menuju Surakarta. Mereka bisa sampai di Babat kapan saja, bahkan terkadang sampai ke Padangan”.
Barang dagangan dari luar negeri menumpuk di Gresik yang masuk ke Bengawan Solo melalui Kali Miring dapat dilalui kapal yang cukup besar, bahkan dengan ruang kargo 30 sampai 35 koyang, yakni 75 sampai ± 88 ton, dengan mudah bisa mencapai pedalaman sampai di Babad, di titik Widang. Pada waktu-waktu tertentu dalam setahun, misalnya pada musim hujan, bahkan sampai di Padangan.
Begitulah situasi Bengawan pada akhir abad ke-19 M, sehingga di masa lalu, ketika Bengawan Solo dikenal lebih mudah dinavigasi, kita mungkin masih bisa menyaksikan lalu-lintas itu masuk lebih jauh ke hulu, ke Jipang, dengan kapal layar.