Pembangunan di Bojonegoro tidak hanya berhubungan dengan infrastruktur, lebih penting dari infrastruktur; ada yang namanya Paradigma Tiga Ibu.
Tanggal 22 Desember lalu hari ibu diperingati oleh masyarakat Indonesia, tak terkecuali juga bagi masyarakat Bojonegoro.
Meski Bojonegoro masih dirundung duka akibat naiknya jumlah masyarakat yang positif COVID-19 akhir-akhir ini, namun hal tersebut tidak mengurangi ‘kesakralan’ hari ibu.
Nabs, masyarakat Bojonegoro banyak yang merayakan hari ibu secara digital, yaitu dengan mengunggah foto mereka bersama ibu di media sosial disertai dengan untaian kata puitis sebagai bukti kecintaan kepada ibu mereka masing-masing.
Hal tersebut sejatinya adalah hal baik, namun hanya melihat hari ibu semata-mata sebagai ekspresi seremonial, tampaknya ‘spirit’ hari ibu kurang dimaknai secara komprehensif dan paripurna.
Kurangnya pemahaman yang mendalam mengenai hari ibu juga berpotensi mereduksi makna dari hari ibu itu sendiri.
Hari ibu seolah-olah hanya dirayakan satu hari yakni pada tanggal 22 Desember. Sehingga, bukti cinta dan sayang kepada ibu seakan hanya dilaksanakan pada satu hari tersebut. Padahal, jika kita memaknai hari ibu secara mendalam dan substantif, pengejawantahan hari ibu adalah dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kehidupan sehari-hari itulah kita dapat mewujudkan rasa cinta, berbakti, serta membantu berbagai kegiatan yang ibu lakukan.
Terkait dengan memahami hari ibu secara substantif, sejatinya penulis menawarkan jika esensi hari ibu layak menjadi paradigma dalam pembangunan Bojonegoro. Oleh karena itu, penulis menawarkan supaya pembangunan di Bojonegoro mengedepankan paradigma tiga ibu yang berupa ‘ibu biologis (wanita), ibu pertiwi (negara), serta ibu bumi (kelestarian alam)’.
Ketiga pembangunan tersebut dapat diorientasikan pada tiga aspek pembangunan Bojonegoro, Nabs. Berupa, ‘pemberdayaan dan kesejahteraan wanita (kaum ibu), pemahaman semangat kebangsaan dan cinta tanah air terutama pada generasi muda di Bojonegoro, serta pembangunan Bojonegoro dengan prospek masa depan, terutama dikaitkan dengan tujuan kelestarian lingkungan.
Pembangunan Bojonegoro dengan paradigma tiga ibu tersebut layak menjadi salah satu perhatian dan dapat dilaksanakan secara langsung di Bojonegoro, dengan beberapa langkah diantaranya: pertama, pembangunan Bojonegoro dengan orientasi berupa pemberdayaan terhadap wanita. Hal ini dikarenakan, pada pertengahan Desember 2020, jumlah janda di Bojonegoro mencapai 2.888 orang.
Hal ini diakibatkan oleh tingkat perkawinan dini yang begitu masif tanpa diimbangi dengan pemahaman substantif akan fungsi, tujuan, serta orientasi perkawinan.
Dengan banyaknya jumlah janda di Bojonegoro tersebut, maka perlu adanya suatu pemberdayaan bagi janda di Bojonegoro supaya ‘produktif dan energik’ secara ekonomi. Hal ini penting supaya janda dan wanita di Bojonegoro bisa memanfaatkan aspek ekonomi kreatif untuk menambah penghasilan serta memperkuat ketahanan ekonomi Bojonegoro.
Kedua, orientasi pembangunan berupa kecintaan terhadap ibu pertiwi (negara) dapat dilakukan dengan nguri-uri sejarah dan peran pahlawan lokal di Bojonegoro.
Selama ini, terdapat berbagai bangunan, monumen, tugu, jalan, serta berbagai fasilitas umum di Bojonegoro yang dibangun dengan nama pahlawan lokal. Misalnya, Jembatan Sosrodilogo, Mako Kompi Brimob Aipda Rawi Bojonegoro, hingga patung dan nama Jalan Lettu Suyitno. Ironisnya, pembangunan infrastuktur tersebut tidak diimbangi dengan diseminasi sejarah perjuangan tokoh-tokoh tersebut.
Generasi muda Bojonegoro lebih mengenal Sosrodilogo sebagai nama jembatan yang didekatnya terdapat banyak warung kopi dan tempat nyangkruk, tapi gagal memahami substansi perjuangan dari Sosrodilogo.
Hal inilah yang ke depan perlu diperhatikan supaya kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Bojonegoro juga memfasilitasi pemahaman akan perjuangan pahlawan lokal di Bojonegoro.
Ketiga, orientasi pembangunan yang berdasarkan pada ibu bumi (kelestarian lingkungan) perlu digalakkan di Bojonegoro, mengingat Bojonegoro merupakan salah satu kabupaten yang terkenal dengan industrialisasi migas. Ke depan pembangunan di Bojonegoro tidak boleh hanya berorientasi migas semata, termasuk tidak hanya mencetak anak muda Bojonegoro yang siap terjun di sektor pertambangan. Bojonegoro tidak boleh selamanya menggantungkan pada aspek pertambangan semata serta pemuda Bojonegoro perlu juga diorientasikan untuk berpikir ke depan bagaimana jika tambang sudah habis, mau di bawa ke mana Bojonegoro tercinta?.
Oleh karena itu, saat ini paradigma pascatambang harusnya menjadi salah satu orientasi bagi pembangunan di Kabupaten Bojonegoro.
Oleh karena itu, pembangunan Bojonegoro dengan paradigma ‘tiga ibu’ bisa menjadi salah satu acuan bagi pembangunan di Bojonegoro. Bahwa pemberdayaan terhadap wanita supaya produktif, pembangunan akan pemahaman sejarah dan kepahlawanan tokoh lokal Bojonegoro, serta orientasi pembangunan pascatambang menjadi urgensi ke depan pembangunan jangka panjang bagi Bojonegoro.
Hal ini supaya Kabupaten Bojonegoro dapat menjadi ‘surga kecil’ bagi masyarakatnya serta dapat mematahkan kutukan sumber daya alam yang selalu identik dengan kemiskinan endemik, Nabs.
Artikel ini ditulis bersama Ridwan Arma Subagio.