Dengan gelagat penuh malu, aku berusaha mendapat kepingan hidup, walau hanya namamu.
Malam semakin larut saja. Hawa dingin begitu nakal masuk ke pakaian yang kukenakan. Waktu masih berjalan seiring jemari mengetik huruf demi huruf.
Entah sudah berapa kata yang kusajikan untukmu. Entah sudah berapa surel yang kamu terima dariku. Aku berharap, kamu tidak cepat kenyang membaca isi surat itu, Herliana.
Herliana, sudah cukup aku menahan kangen. Batin amat tersiksa. Cambukan ingin temu yang tidak henti-hentinya kuterima. Wajahmu terus terbayang di mataku, menciptakan visual indah yang sudah lama tak diraba.
Demi menciptakan tulisan layaknya puisi, aku rela membuang benci. Aku menghapus tulisan—hapus lagi-tulis lagi dengan penuh kesabaran.
Di sebuah pendopo kecil, aku melihatmu memadu kasih dengan buku. Bibir yang riang gembira, barangkali masuk ke dunia fantasi. Aku menghampirimu, kamu ingat? Dengan gelagat penuh malu, aku berusaha mendapatkan kepingan hidup walau hanya namamu.
Ah, semua itu membuatku mengingat kejadian dua tahun yang lalu, ketika aku bertemu gadis yang sedang duduk di pendopo kampus.
Tubuhmu yang mungil dengan pipi merah merona, sontak membuatku tertarik mendekatimu, padahal aku bukan siapa-siapa. Namun, daya pikatmu membuat kobaran pada hasratku.
Awalnya malu seperti kucing, tetapi pada akhirnya, kenekatan yang membawaku berdiri di hadapanmu. Kamu masih sibuk dengan buku. Aku menegur, menyebut namamu, kamu pun menyahutku.
Aku terperanjat saat itu, padahal namamu kusebut dengan asal. Kamu menoleh, aku terbata. Sorot matamu membuatku tak kuasa menatap lama-lama. Gila! Seketika aku dibuat lemah. Kamu berdiri menyamaiku.
Aku memulai obrolan bagaikan tokoh sinetron di teve. Saat kita mengobrol, ada satu hal yang kusuka darimu—kamu mengikat rambut dengan karet gelangmu. Mungkin menurut sebagian orang, itu adalah hal biasa. kamu bak model Hollywood.
Setelah pertemuan itu, aku semakin penasaran. Hari-hari berlalu. Aku sulit menemukanmu. Di manakah kamu bersembunyi? Aku tak tahu. Aku terus berusaha dan berdoa di setiap subuh, ketika orang-orang terlelap di taman bunga. Pada akhirnya, kita bertemu dan merangkai harmoni bersama.
Langit kian berubah, dan aku belum bertemu denganmu lagi, padahal aku sudah memantapkan diri. Lalu pada suatu hari, di saat aku sedang duduk santai di kedai kopi, aku melihatmu datang sendiri.
Kamu mengambil posisi duduk di luar kedai. Aku menegur lalu berjalan ke arahmu, memberikan segelas kopi yang baru saja kupesan.
“Kopi gratis pesananmu,” kataku dengan nada bercanda.
Mendengar ucapanku, kamu tertawa. Aku bingung. Mungkinkah selera humormu rendah atau itu caramu merespons. Namun tidak apa, aku bahagia mendengarnya.
“Dari mana saja kamu? Kenapa baru kelihatan?” tanyaku, kemudian aku duduk di sampingmu.
“Dari rumahmu. Tadinya aku mau bilang ke calon mertuaku kalau aku menerima lamaranmu.”
“Eh, ngawur, tetapi kalau memang itu maumu, aku siap!” kita pun tertawa tanpa sekat di sekeliling kita.
“Aku serius, lo,” lanjutku.
“Jangan terlalu serius, nanti kopinya cepat habis.” Banyolanmu benar-benar membuatku betah.
Gadis yang humoris, tetapi sedikit aneh. Kamu acap kali memainkan jari-jari ke udara seperti menggambar sesuatu. Lengkungan yang tidak terlihat itu seolah tampak oleh indramu.
Aku menanyakan tentang gambar yang kamu buat. Burung dara berwarna merah dengan sayap berwarna putih, katamu. Kamu menjelaskan kesetian yang dilapisi keberanian.
Barangkali warna putih melambangkan kesederhanaan. Kamu pun membenarkan dengan senyuman yang membuatku terbang. Setelah itu, kamu pamit pulang ketika awan berubah kelabu.
Lagi-lagi pertemuan kita sangat singkat, tetapi aku tetap bersyukur Tuhan masih baik padaku. Herliana, kamu adalah tangkaiku, aku jatuh tanpamu. Andai waktu dapat kuputar mundur, aku berjanji tidak akan mengulang salahku.
Kecewamu adalah pisau yang siap menikam akal. Marahmu waktu itu merupakan tamparan. Aku merasa jatuh ke dalam lubang yang dalam, gelap, dan sempit.
Di kedai kemarin itu, kamu memberikan nomormu. Nomor yang kurasa cantik dengan angka sembilan puluh tujuh di bagian akhirnya. Aku mencoba menyapamu dari jauh.
Sepuluh kali kuhubungi, tetapi belum ada jawaban sama sekali, sampai akhirnya suara gadis lembut yang kurasa itu dirimu—menjawabnya. Kamu tahu betapa girangnya aku saat itu. Kamu pun harus tahu bagaimana sedihku; aku takut mengganggumu.
Kita mengobrol panjang, membuang gelisah. Kamu berbagi semua layaknya dongeng senja. Banyak hal setelah pertemuan kita. Mulai dari merajut keakraban sampai mengerti satu sama lain hingga akhirnya menjalin cinta ala-ala sinema.
Sebentar, aku ingin minum kopi seraya mengingat cerita tentang kita yang lain. Oh, iya, kita pernah jalan kaki sejauh tiga kilometer.
Di perjalanan itu kamu sedikit mengeluh tentang kelalaianku—aku lupa memeriksa mesin motor yang menyebabkan ia harus direparasi.
Walau dirimu kecewa, kamu menghiburku dengan ria. Kita berjalan tanpa alas kaki. Kamu menaruh sepatuku di dalam helm yang kamu bawa. Kamu bilang itu hukuman, tetapi kamu pun melakukan. Susah harus dirasakan bersama, katamu saat itu.
Setelah itu, kita berlomba lari, memutar lapangan yang kita lewati. Dengan manja, kamu memintaku menggendongmu. Kemudian dengan jahilnya, kamu mendorongku ke belakang. Ada-ada saja. Raut wajahmu berubah, lengkungan bibirmu juga.
Tawa kita merobek lelah, memecah bosan.
Ingin rasanya kuberjalan lebih jauh asalkan bisa bersamamu walau kaki dipenuhi kapal-kapal, boleh jadi kapal feri, bisa kujual sebagai modal untuk meminangmu.
Herliana, aku kangen ocehanmu. Selain nasi, bawelmu merupakan makanan sehari-sehari. Di mana semua itu, Herliana?
Sekarang sudah tidak bisa lagi semenjak kita saling tahu. Di hari yang tidak mujur itu, Pak Yayat, Pamanku yang bertemu kita di jalan. Sebuah pertemuan yang tidak kuinginkan.
Sepasang mata yang memerhatikan kita dari jauh, dengan sorot tajamnya, lalu menghampiri kita dengan basa-basi yang ramah. Beliau terperangah saat kamu memanggilku dengan sebutan Cinta. Aku terdiam ketika kamu menyebut dirinya Ayah. Aku tidak tahu kalau paman mempunyai anak perempuan.
Ingatku, aku menyebut itu konyol. Aku seperti tersambar petir. Kita saling beradu, menatap satu sama lain. Dengan bahasa hati, tetiba kamu menangis. Aku berusaha menjelaskannya pada paman atas cinta yang tidak masuk akal. Kita sempat bertengkar hebat, tetapi tak sampai membelah lautan ataupun menghambur gunung-gunung.
Dalam batinku, andai saja kita tidak bertemu di hari itu, kita masih bisa bermain skenario yang diciptakan-Nya. Namun, andai kita tidak bertemu di hari itu, kita tidak akan tahu kebenarannya bahwa kita adalah saudara. Ironis yang menggebu sampai membuatku kacau. Sampai saat aku menulis surat itu, yang sudah kubilang sebelumnya, aku merindukanmu.
Kenyataan pahit yang pilu itu membuat kita menyekat diri, Herliana. Sejujurnya, aku tak tahan. Inginku menjalin hubungan lagi. Anggaplah waktu diulang kembali. Herliana, aku ingin pulang.
Kamu merupakan rumah—tempatku mengusir lelah. Seandainya kamu tidak membalas surat ini, tak apa. Jika kamu membalas surat ini meski hanya salam saja, aku gembira. Terima kasih. Kututup surat kangen ini.
M. Yusuf Shabran. Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Ahmad Dahlan. Suka membaca buku misteri, kadang iseng membuat puisi.