Kupercepat langkahku menghindari rintik hujan di malam hari yang semakin lama semakin deras. Tempat yang ingin kutuju adalah warung nasi goreng pinggir jalan yang jaraknya sekitar 100 meter dari tempatku berdiri.
Selain untuk mengisi perut yang keroncongan dengan sepiring nasi goreng usai bekerja, aku juga ingin sekalian berteduh menunggu hingga hujan sedikit reda.
Beberapa menit kemudian aku sampai di tempat yang ingin kutuju. Kuhampiri pedagang nasi goreng yang sedang sibuk memasak di atas tungku arang yang baunya sangat khas itu.
“Pak, nasi goreng satu, makan sini ya,” ucapku sambil melepas jaket yang sedikit basah terkena hujan.
“Waduh, maaf mas, nasi gorengnya habis. Ini porsi terakhir buat mbak yang di sana,” jawab si pedagang itu.
Sial memang. Susah payah datang kesini, ternyata nasi goreng yang kuinginkan habis. Apa boleh bikin. Setelah kutimbang matang-matang, akhirnya kuputuskan tetap berada di warung nasi goreng ini sembari berteduh menunggu hujan reda. Lumayan, meski di pinggir jalan, warung nasi goreng ini punya atap terpal yang cukup kuat.
“Kalau teh hangatnya masih ada kan, Pak?” tanyaku.
“Kalau teh hangat ada,” jawabnya.
“Ya udah pak, saya pesan teh hangat satu ya,” ucapku.
Bapak pedagang nasi goreng pun menjawab dengan ramah dan mempersilakanku untuk duduk. Aku kemudian duduk di kursi panjang yang memang digunakan para pelanggan nasi goreng itu.
Saat itu hanya ada aku dan juga seorang perempuan yang nampaknya pesanannya sedang dibuatkan si bapak pedagang tadi. Sungguh beruntung perempuan itu, karena mendapat porsi terakhir dari nasi goreng yang dijual.
Tak berapa lama pedagang nasi goreng memberikan sepiring nasi goreng pada perempuan yang sabar menunggu itu. Dia duduk di seberangku. Tapi tak berada tepat di hadapanku.
Dari tempatku, aku bisa melihat dengan jelas parasnya. Rambutnya sebahu. Matanya terlihat sayu. Pipinya bulat berisi. Sebagai lelaki normal, aku bisa mengatakan jika dia, cukup menawan.
“Mas, makan dulu ya,” ujarnya tiba-tiba.
“Oh iya, silakan mbak,” jawabku gelagapan.
Pedagang nasi goreng kemudian membawakan pesanan teh hangat. Ia juga membawakan pesanan minuman dari perempuan tadi, es teh.
Agak aneh juga, di udara yang cukup dingin seperti ini, perempuan yang sedang lahap menikmati nasi goreng itu, justru memesan es teh.
“Dingin-dingin kok pesan es teh?” ujarku berupaya membuka obrolan.
“Eh iya, sudah kebiasaan dari dulu. Susah kalau nggak minum minuman dingin setelah makan” jawab perempuan tadi, di sela-sela kesibukannya mengunyah.
Kuseruput teh hangat yang telah disediakan penjual nasi goreng tadi. Di udara yang serba dingin seperti ini, meminum teh hangat rasanya sungguh melegakan.
Namun akan lebih sempurna jika teh hangat ini jadi pelengkap nasi goreng hangat. Sayang beribu sayang, nasi gorengnya habis saat aku datang.
Di sebelahku, perempuan yang tadi kuajak ngobrol tengah asik menikmati nasi goreng yang telah dihidangkan. Dari cara makannya yang begitu lahap, bisa kusimpulkan jika dia sedang lapar.
Lama kelamaan, lucu juga melihat perempuan itu makan nasi goreng dengan lahap dan nikmatnya. Tak berapa lama, sepiring nasi goreng itu ludes tak bersisa. Sebagai penutup, perempuan tadi meminum segelas es teh yang tadi dipesannya.
Hujan masih cukup deras di luar sana. Nampaknya aku akan menunggu sedikit lebih lama di tempat ini hingga hujan reda. Sedikit demi sedikit, kuteruskan meminum teh hangat yang sudah tersaji di meja.
Bapak-bapak penjual nasi goreng terlihat sedang mengisap sebatang rokok sembari duduk di dekat tungku arang yang ia gunakan untuk memanasi wajan.
“Rumahnya dekat sini ya?” tiba-tiba perempuan tadi bertanya kepadaku.
“Ha? Ehm, iya. Dekat kok. Kalau berjalan kaki dari sini sekitar 5 menit,” jawabku.
“Asli sini ya?” tanyanya lagi.
“Bukan, di sini cuma ngekos,” dia pun mengangguk-angguk sambil meminum kembali es tehnya.
Kalau dilihat dari penampilannya, dia nampaknya seorang mahasiswi. Tak jauh dari sini, memang ada universitas negeri ternama yang biasa menjadi jujukan lulusan SMA dari berbagai daerah.
“Masih kuliah ya?” tanyaku memastikan.
“Iya, kok tahu?” jawabnya dengan pertanyaan lain.
“Feeling,” jawabku singkat.
“Aku sebenarnya juga bukan asli sini. Aku kuliah di universitas yang letaknya tak seberapa jauh dari tempat ini. Aku kuliah jurusan akuntansi. Sekarang sudah masuk semester 6. Rumahku jauh, luar kota. Selama kuliah di sini aku tinggal di rumah saudara. Kalau rumah saudaraku sendiri ada di dekat swalayan tingkat tiga, seberangnya kantor kelurahan. Untuk pergi kemana-mana aku pakai sepeda motor. Itu, motornya kuparkir di depan warung. Aku tadi mampir ke rumah temanku buat finishing tugas kuliah. Pas perjalanan pulang tiba-tiba hujan. Akhirnya belok kesini dulu sekalian makan malam,” tiba-tiba dia bercerita panjang lebar.
Cukup terkejut juga dengan ceritanya yang lumayan panjang itu. Untuk ukuran perempuan seusianya, nampaknya dia cukup terbuka. Padahal lawan bicaranya adalah orang asing yang belum pernah ia temui sebelumnya.
“Kau nggak khawatir dengan cerita panjang lebarmu itu? Kalau misalkan aku orang jahat yang ingin menculikmu, bagaimana?” candaku.
“Kalau dilihat-lihat, kau nggak punya wajah antagonis khas penjahat,”
“Apakah perlu wajah antagonis untuk menjadi orang jahat?”
“Nggak juga sih,” jawabnya sambil tersenyum.
Suasana kembali hening. Obrolan singkat dengan perempuan tadi, membuatku lupa jika di luar sana, hujan masih mengairmata. Hari semakin malam, tapi sayangnya belum ada tanda-tanda jika hujan segera reda.
“Oh ya, namaku Rara,” ucapnya sambil menjulurkan tangan.
“Aku Aska, salam kenal,”
Kami pun berjabat tangan.
“Masih kuliah juga kah?” tanyanya kembali.
“Aku baru lulus beberapa bulan yang lalu. Sekarang sudah kerja,”
“Ohhh, kerja dimana?
“Di sebuah CV yang ngurusin distribusi barang-barang telekomunikasi,”
“Wah, keren juga ya,”
“Biasa saja,” jawabku dengan ekspresi yang juga biasa-biasa saja.
“Jangan suka merendah begitu, sekarang cari pekerjaan itu sulit,” tiba-tiba dia serius menasehatiku.
“Bukan begitu maksudku,” jawabku sambil cengar-cengir salah tingkah.
“Aku cerewet ya?” tanyanya lagi kepadaku.
“Ha? Gimana ya? Lumayan, lumayan,”
“Lumayan gimana?” tanyanya lagi dan lagi.
“Kita baru kenal dan kau sudah bicara panjang lebar seperti itu. Menurutku, agak aneh karena biasanya perempuan itu tak ingin terlihat buruk di mata lawan jenisnya. Apalagi lawan jenis yang baru saja dikenalnya,”
“Jadi menurutmu aku ini aslinya buruk?” ujarnya seperti hansip yang sedang menginterogasi maling ayam.
“Bukan begitu maksudku, haduh gimana ya?”
Dia pun tertawa kegirangan melihat ekspresiku yang penuh dengan kebingungan. Mungkin baginya sangat lucu melihat seorang laki-laki tergopoh-gopoh menjawab berbagai pertanyaan penuh prasangka. Tawa penuh kemenangan.
“Maaf-maaf, aku cuma bercanda tadi,” ujarnya sambil terus tertawa.
Aku tak tahu harus berekspresi seperti apa. Wajahku mungkin sudah seperti kepiting yang baru saja direbus. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. Mau minum teh hangat, tapi gelasnya sudah kosong. Benar-benar seperti orang tolol.
“Maaf ya,” katanya lagi setelah berhenti tertawa.
“Iya, nggak apa. Membuat orang tertawa bahagia termasuk ibadah kan ya?” jawabku.
“Mungkin,” jawabnya singkat sambil tersenyum.
“Paling nggak kita tidak bosan menunggu hujan reda. Daripada duduk diam dan cuma mainan handphone, lebih enak ngobrol kan?” ujarku kepadanya.
“Iya juga sih. Apalagi ngobrol sama orang yang doyan ngomong,”
“Maksudnya aku doyan ngomong?” tanyaku.
“Iya. Kayaknya,” jawabnya.
“Nggak juga ah, aku itu orangnya pendiam. Bicara seperlunya, baru ngomong kalau diajak ngomong duluan,” balasku.
“Percaya, percaya,” jawabnya sambil menaikkan alis.
“Kok jadi aku sekarang yang lebih cerewet ya?” ujarku sambil tertawa, yang kemudian diikuti oleh tawa kecilnya.
“Ngomong-ngomong, gambar yang ada di kaosmu itu siapa sih?” tiba-tiba dia bertanya tentang kaos yang kukenakan.
“Oh ini? Coba tebak siapa,”
“Nggak tahu, penyanyi ya?”
“Bukan,”
“Lalu siapa?”
“Namanya Socrates,” jawabku.
“Socrates? Filsuf terkenal itu kan?”
“Bukan. Socrates yang ini pemain sepakbola,”
“Oh ya? Apa hebatnya Socrates yang itu sampai-sampai kau punya kaos dengan wajahnya?”
“Menurutku dia sangat hebat. Dia itu satu-satunya pesepakbola yang berhasil meraih gelar dokter saat masih aktif bermain,” jelasku padanya.
“Masa sih?” jawabnya
“Iya. Dia itu pemain timnas Brazil era 70an, angkatannya Pele. Meskipun aku nggak pernah nonton Socrates saat masih aktif bermain, tapi aku sangat suka dengan karakternya. Jarang-jarang kan ada pesepakbola yang merangkap sebagai dokter,”
“Aku nggak terlalu suka bola sih, jadi nggak terlalu paham,” jawabnya sambil tersenyum kepadaku.
“Terus, apa dong yang kau sukai?” tanyaku.
“Apa ya? Hmmm. Aku sih suka banget nonton film,”
“Film Korea?” potongku.
“Nggak juga, aku suka semua film, dari lokal, Korea, Hollywood bahkan Bollywood pun aku juga suka nonton,” jelasnya.
“Film India?”
“Iya. Banyak film India yang bagus kok, nggak cuma cinta-cintaan plus tari-tarian. Seperti 3 Idiot, PK, My Name is Khan,” jawabnya.
“Bagus juga ya referensimu. Aku kira doyannya film-film Korea seperti kebanyakan remaja perempuan lainnya,”
“Ih, aku kan beda! Aku bukan tipikal remaja perempuan kebanyakan. I’m One in Million,” ucapnya membanggakan diri sambil tertawa.
Tanpa sadar hujan di luar sudah mulai reda menghentikan tangis. Sudah satu jam lebih aku terjebak di warung nasi goreng ini. Mungkin sudah saatnya untuk bergegas pulang. Tak apalah kehujanan sedikit, toh kostku tak jauh.
“Hujannya sudah mulai reda nih,” ujarku membuka pembicaraan kembali.
“Lagi buru-buru ya?” tanyanya.
“Nggak juga sih, cuma ingin cepat-cepat pulang buat mandi, dan juga makan,”
“Oh iya, tadi nggak kebagian nasi goreng ya? Harusnya tadi kita makan sepiring berdua,” godanya.
“Kalau dilihat dari cara makanmu tadi, makan sepiring berdua bukan ide yang bagus,”
“Makanku seperti kuli yang baru selesai kerja ya, tadi?”
“Bukan, lebih mirip kuli yang baru selesai kerja terus disuruh kerja lagi,” jawabku.
Kami pun tertawa bersama.
“Hujannya sudah benar-benar reda nih, mau pulang sekarang? ”
“Iya,”
“Kostmu masih jauh ya? Bagaimana kalau kuantar pakai motorku?”
“Nggak perlu, sudah dekat kok. Jalan 5 menit sampai,”
“Bener nih?”
“Iyaaa,”
“Yakin?”
“Yakin!”
Kami pun mulai bersiap untuk angkat kaki dari warung nasi goreng. Sebelum pergi, perempuan tadi memanggil bapak penjual nasi goreng untuk membayar pesanannya.
“Pak, berapa semuanya?” tanyanya.
“Nasi goreng sama es teh manis ya?” ujar penjual nasi goreng.
“Sama teh hangat yang itu sekalian,” jawabnya sambil menunjuk gelas teh hangatku yang sudah kosong.
“Biar kubayar sendiri,” cegahku.
“Nggak apa, sekalian,” jawabnya.
“Jangan gitulah, biar kubayar sendiri teh hangatnya tadi,”
“Sudah, nggak apa, lagian cuma teh hangat kan. Nanti kalau ketemu lagi gantian traktir,” ucapnya sambil memberikan senyumnya ke arahku.
“Ya sudah. Terima kasih ya,”
“Sama-sama,”
“Totalnya Rp16,000 mbak,” ucap penjual nasi goreng.
Setelah memberikan sejumlah uang untuk membayar semua pesanan, kami berdua kemudian berjalan bersama keluar warung nasi goreng yang cukup sederhana tersebut.
“Sekali lagi terima kasih ya untuk teh hangatnya,”
“Iya sama-sama,” jawabnya sambil melemparkan senyumannya.
Dia mulai mengambil sepeda motornya lalu mengenakan jaket biru dengan motif bintang-bintang. Sebelum mulai menaiki sepeda motor, dia kembali berjalan ke arahku.
“Yakin nggak mau bareng?” tanyanya lagi.
“Nggak usah, tempatku sudah dekat kok,”
“Punya uang seribu atau dua ribu?” tanyanya tiba-tiba.
“Buat apa?” jawabku.
“Punya nggak? Aku pinjam sebentar,”
Kurogoh kantong celanaku untuk melihat apakah ada uang seribu atau dua ribu di dompetku. Untungnya ada secarik uang seribuan yang terselip di dompetku. Kuambil dan langsung kuberikan kepadanya.
“Ini ada seribu,”
“Oke, sekarang aku pinjam punggungmu ya. Tolong berbalik sebentar,”
“Buat apa lagi,” tanyaku penuh kebingungan.
“Sebentar kok,”
Tanpa diminta dua kali aku langsung membalikkan badanku membelakanginya. Aku tak tahu apa yang akan dilakukannya. Tiba-tiba punggungku terasa ada yang menindih.
Nampaknya perempuan tadi sedang mencoba menulis sesuatu dengan punggungku sebagai alasnya. Tak beberapa kemudian , dia memasukkan sesuatu ke dalam saku jaketku.
“Sudah,” ucapnya.
Aku pun berbalik menghadapnya kembali.
“Uangmu tadi sudah kukembalikan ke dalam sakumu ya,”
“Oh iya,” jawabku tanpa rasa curiga.
“Oke, aku pulang dulu ya,” jawabnya seraya memberikan tangannya untuk berjabat tangan.
“Iya, hati-hati ya,” jawabku sambil kuraih tangannya untuk berjabat tangan.
Setelah itu, bersama motor matic bercat lucu itu, dia melaju meninggalkanku.
Aku langsung melangkahkan kaki pulang. Jalanan yang kulalui masih becek gara-gara hujan yang sedari tadi mengguyur. Dan sialnya, perutku masih terasa lapar karena gagal membeli nasi goreng.
Masa bodohlah, yang ada di pikiranku sekarang ini adalah segera pulang, mandi dan rebahan di kasur. Perkara makan atau tidak, dipikir nanti.
Dalam perjalanan pulang, aku ingat sesuatu. Uang yang sempat dipinjam perempuan tadi. Uang itu kurogoh. Ia dalam keadaan terlipat.
Setelah kubuka lipatannya, ada tulisan kecil di salah satu sisi uang kertas itu. Tepatnya sederet angka dengan sebuah nama: Rara, tepat di atasnya. Aku hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala.