Dengan jasa-jasa besar dan kesengsaraan hidup yang dia alami, tentu sebuah dosa besar bagi kita —pemuda Bojonegoro— yang mengaku progresif tapi tak mengenal Tirto Adhi Soerjo.
Bagaimana mungkin saya tidak tahu, sosok terkemuka dengan sebutan populer Sang Pemula itu, pelopor pertama dunia Jurnalistik Pribumi zaman Hindia-Belanda — terlebih, punya hubungan dengan Bojonegoro.
Nabs, Tirto punya darah Bojonegoro. Hubungan Tirto dan Bojonegoro bukan klaim cuap-cuap belaka. Tapi punya nasab dan riwayat yang jelas. Punya runtutan sejarah yang jelas.
Sekiranya, yang belum tahu bakalan kepo dan melanjutkan bacaan ini sampai selesai. Sedang yang sudah tahu, harusnya lebih kepo lagi: mau dibawa kemana sih tulisan tentang sosok besar ini? Hehe
Tirto lahir di Blora pada 1880. Ayahnya, Raden Ngabehi Moehammad Chan Tirtodhipoero adalah seorang petugas pajak. Sedang kakeknya, Raden Mas Tumenggung Tirtonoto adalah Bupati Bojonegoro.
Kita tahu, Bojonegoro, Padangan, Blora, Lasem, Rembang dulunya adalah bagian dari Kadipaten Jipang. Sehingga, meski lahir di Blora, Tirto punya darah Bojonegoro. Hubungan Tirto dan Bojonegoro bukan klaim cuap-cuap belaka. Tapi punya nasab dan runtutan riwayat geografis yang jelas.
Kita, anak muda Bojonegoro yang sok-sokan progresif ini, harusnya mewarisi sifat pemberani Tirto. Sebab kita lahir di bumi di mana Tirto lahir. Sebab kita lahir di bumi di mana kakek dan bapak Tirto lahir di dunia.
Tirto Adhi Soerjo (TAS) dinobatkan sebagai Pahlawan Pers pada 2006. Bapak Pers Nasional pertama yang gagah berani menulis kecaman-kecaman pedes sepedes cabai rawit pada keangkuhan pemerintah Kolonial Belanda pada masa itu.
Tirto Adhi Soerjo, tokoh pers dan tokoh kebangkitan Indonesia yang berhasil membangun imaji tentang Indonesia melalu narasi yang memukau. Dia juga perintis persuratkabaran serta jurnalisme nasional.
Melalui surat kabar Medan Prijaji, Tirto membombardir kolonialisme Belanda dan berhasil membongkar banyak kasus sekaligus berusaha melumat kolonialisme dengan pena yang dia punya.
Semasa hidupnya, Tirto yang berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu, sempat ditangkap dan disingkirkan dari pulau Jawa dan dibuang ke pulau Bacan.
Melansir biografi Tirto yang dikemas Pramoedya Ananta Toer dari beragam sumber bertajuk Sang Pemula, Tirto setidaknya dua kali diasingkan. Yakni ke Teluk Betung, Lampung (1909) dan Pulau Bacan (1912).
Tirto dibuang pemerintah kolonial tak lain lantaran beragam tuduhan, hasil dari tajamnya pena Tirto yang menguak borok pejabat-pejabat kolonial lewat surat kabar miliknya, Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan.
Hingga akhir pekan pertama bulan 12, Tirto mangkat, ia kembali dalam keadaan sendiri, diusianya yang masih muda, 38 tahun. Pram menggambarkan momen tersebut dengan sendu saat awal pengisahan Sang Pemula.
Dalam tulisannya, Pram memapaparkan, akhir Sang Pemula dihari yang suram, 7 Desember, sebuah iring-iringan kecil menggambarkan peristirahatan terakhirnya. Tidak ada pidato-pidato sambutan sebagai penghormatan terakhirnya.
Tak ada yang memberi jasa-jasa dan amalan dalam hidupnya yang tak begitu panjang. Kemudian, orang-orang meninggalkanya seperti terlepas dari beban yang tidak diharapkannya.
Setelahnya, namanya tak lagi berbekas dalam pusaran sejarah, dan telah lenyap hingga silih berganti dan memunculkan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang baru.
Namanya baru muncul kembali saat ditemukan Pram dalam meneliti sejarah zaman permulaan Nasionalisme Indonesia. Serupa menemukan harta karun dalam gundukan sejarah, Pram mengangkat kembali sosok besar bernama Tirto Adhi Soerjo itu ke permukaan.
Perlahan, nama Tirto mendapat perhatian dari Dewan Pers Nasional, hingga pada tahun 1973 , dia dinobatkanlah sebagi Bapak Pers Nasional. Pada 2006, Tirto mendapat penghargaan lebih luas lagi, dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional di era SBY.
Semasa hidupnya, Tirto banyak sekali mendapat kesengsaraan, hingga terakhir mangkat dalam keadaan sunyi. Sebelum meninggal, Tirto sempat sakit selama bertahun-tahun.
Meski banyak kerabat dekatnya ahli kesehatan, namun hal itu tak menjadikannya melirik dan menyentuh Tirto. Tak ada yang pernah memperhatikannya, alih-alih memeriksanya.
Hingga hembusan nafas terakhir sekalipun, tak ada satupun surat kabar yang memuat berita tentang kematiannya. Meski perjuangannya banyak menorehkan kemajuan bangsa yang dicintai dan dididiknya itu.
Dengan jasa-jasa besar dan kesengsaraan hidup yang dia alami, tentu sebuah dosa besar bagi kita, pemuda Bojonegoro yang mengaku progresif, tapi tak mengenal Tirto Adhi Soerjo.
Mewarisi Tirto adalah mewarisi api bukan abunya. Sebab, bangsa kita butuh penggerak-penggerak zaman, serta pagar-pagar rakyat agar oligarki tidak semakin gila. Zaman semakin dinamis, dan untuk alasan apapun, gerakan suatu massa harus dinamis agar tidak terpapar kebodohan-kebodohan yang sistemik.
Melihat jasa-jasa Tirto, Jurnalis bukan sekadar tukang ketik. Tapi wajib bisa mendeskripsi dan menjaga marwah kemanusiaan, sekaligus menyadari betul bahwa pers adalah pilar demokrasi keempat.