Padangan Bojonegoro kerap disebut sebagai tlatah para aulia, kawah candradimuka para pesuluk cahaya. Di tempat inilah, pesantren Menak Anggrung pernah aktif dan berada.
Menak Anggrung merupakan episentrum peradaban islam periode 1600 M di Kedung Pakuncen (Kuncen Padangan) Bojonegoro. Di tempat ini, Mbah Sambu Lasem dan Mbah Jabbar Singgahan menjalin koneksi dengan Mbah Sabil Padangan untuk memperkuat rantai genealogi para penyebar Islam dari generasi ke generasi.
Maulana Habib Luthfi bin Yahya, KH Abdurohman Wahid (Gus Dur), hingga Syaikhina KH Maimun Zubair (Mbah Moen) merupakan ulama yang memiliki kedekatan dengan Padangan. Selain memang punya banyak santri di Padangan, beliau bertiga juga pernah bercerita tentang sisi spiritual Kota Padangan.
Habib Luthfi pernah berkata, di Padangan terdapat 300 aulia yang disemayamkan di pemakaman umum. Pada 1990, beliau datang ke Padangan dan menunjukan pada masyarakat sekitar, terkait keberadaan makam Sayyid Abubakar Alaydrus yang berada di Padangan.
Kecamatan Padangan terdiri dari 16 desa. Artinya, sesuai dawuh Habib Luthfi, 1 desa di Padangan berpotensi disemayami 18 hingga 20 aulia. Ini alasan ada semacam tradisi masyarakat, tiap melintas makam, diusahakan berkirim salam atau bersholawat, sebagai tanda takdhim dan rasa hormat pada para aulia.
Masyhur Gus Dur pernah ngendikan jika pada era Majapahit (1293-1527), Sayyid Jamaluddin Akbar Al Husein atau Syekh Jumadil Kubro pernah mukim dan berdakwah di Padangan. Syekh Jumadil Kubro adalah figur yang disebut sebagai leluhur Wali Songo. Beliau ayah dari Maulana Ibrohim Asmoroqondi dan Maulana Ishaq Al Maghribi.
Cerita dari Gus Dur kelak terbukti secara empiris. Di Padangan, tepatnya di Desa Ngeper Padangan, pernah terdapat reruntuhan candi Majapahit yang ditemukan para arkeolog dari Museum 13 Bojonegoro pada 2011 silam. Ini bukti betapa di Padangan memang pernah ada peradaban sejak era Majapahit.
Selain itu, Prasasti Canggu (Trowulan, Mojokerto) yang ditulis Raja Hayam Wuruk pada 1358 M, sudah menyebut nama Pagdangan dan Djipang sebagai pelabuhan penting sungai Majapahit. Pagdangan dan Djipang yang dimaksud, tak lain adalah kawasan yang kelak dikenal sebagai Jipang Padangan.
Bukti-bukti ilmiah tentang peradaban Majapahit di Padangan, secara tak langsung membenarkan cerita Gus Dur bahwa Syekh Jumadil Kubro pernah berdakwah di Padangan. Terkait adanya petilasan (makam?) beliau di Padangan, tentu masih butuh penelitian.
Syaikhina KH Maemun Zubair sering menyebut Kuncen Padangan sebagai tlatah sepuh. Ini tentu bukan tanpa alasan. Pada usia 17 tahun, tepatnya pada 1945, beliau pernah ber-istifadhah dan berkunjung ke Padangan. Saat berada di Kuncen Padangan, beliau mengalami ndrodog (gemetar) dan sulit berjalan.
Sebab, di tiap langkah dan pandangan mata, Mbah Moen selalu dijumpai kiai-kiai khos dan Waliyullah, hingga beliau gemetar. Kisah pengalaman Mbah Moen ini, bisa dimaknai sebagai kasyaf yang hanya bisa dirasakan ulama dan orang-orang tertentu. Atau bisa juga dimaknai sebagai pandangan mata manusia.
Cerita Mbah Moen ini, saya dapat secara langsung dari kiai saya, KM. Arifin Mustagfiri. Kiai adalah santri kinasih Mbah Moen yang mondok di Sarang pada 1978 silam. Karena tahu kiai berasal dari Kuncen Padangan, Mbah Moen sering memanggil beliau untuk sowan ke ndalem. Saat sowan inilah, Kiai mendapat cerita di atas.
Kisah dari Habib Luthfi, Gus Dur, hingga Mbah Moen di atas, tentu bisa dibuktikan secara empiris melalui amatan historiografis. Terutama terkait keberadaan pusat peradaban islam periode pasca Wali Songo yang berada di Desa Kuncen Padangan. Tempat itu masyhur dikenal Menak Anggrung.
Historiografi Menak Anggrung
Mbah Sabil atau Pangeran Kedung Pakuncen (c. 1578-1650), merupakan putra Kesultanan Pajang yang melakukan perjalanan dalam rangka mengamankan diri jelang runtuhnya imperium Kesultanan Pajang (1587 M), sekaligus menuju almameternya, Pondok Pesantren Ampel Denta Surabaya.
Mbah Sabil adalah putra Abdul Halim Benawa II bin Sultan Hadiwijaya. Mbah Sabil melakukan perjalanan dari Keraton Pajang menuju Surabaya, melalui jalur sungai dengan menaiki sebuah keranjang motoero (anyaman bambu). Ini untuk mengamankan sekaligus menyembunyikan identitas sebagai seorang putra Kesultanan Pajang.
Sesampainya di tempat yang kini dikenal dengan nama Kuncen Padangan, perjalanan beliau dihentikan seorang kiai dan pemilik musola yang berada di pinggir Bengawan Solo bernama Katib Hasyim. Mbah Hasyim seperti tahu jika sosok yang ia temui bukan orang biasa, melainkan Menak (bangsawan) dan ulama.
Karenanya, Mbah Katib Hasyim meminta agar Mbah Sabil menghentikan perjalanan untuk kemudian, menyebarkan Islam di wilayah tersebut. Tawaran dari Mbah Hasyim diterima. Singkat cerita, Mbah Sabil bersedia mukim dan berdakwah di Kuncen Padangan.
Mbah Sabil juga dikenal dengan nama Mbah Menak. Secara harfiah, menak berarti bangsawan. Kedatangan Mbah Sabil sebagai putra Kesultanan Pajang, membuat beliau dikenal sebagai seorang menak. Ini alasan utama beliau dikenal dengan nama Mbah Menak.
Mbah Sabil dan Mbah Katib Hasyim menjadikan mushala pinggir bengawan yang semula kecil menjadi lebih besar, disertai pondokan tempat santri belajar. Posisi pondok yang naik keatas dan tampak magrung-magrung (besar) dari arah sungai, membuat tempat ini kelak dikenal Menak Anggrung — pondoke Mbah Menak sing magrung-magrung.
Menak Anggrung aktif pada 1600 M. Ini sejurus dengan runtuhnya Kesultanan Pajang (1587), dan mulai menetapnya Mbah Sabil di Kuncen Padangan. Lokasi Menak Anggrung berada di Kuncen sebelah utara. Tepatnya arah timur-laut dari Tugu Pahlawan Kuncen. Tempat itu, saat ini sudah tergerus menjadi aliran sungai.
Kelak, Menak Anggrung dikenal sebagai kawah candradimuka para pesuluk cahaya. Sementara Mbah Sabil dan Mbah Hasyim dikenal dengan sebutan Mbah Menak Anggrung. Makam beliau berdua juga berdampingan. Makam tersebut dikenal dengan nama makam Menak Anggrung Kuncen Padangan.
Sayangnya, Pondok Menak Anggrung tak meninggalkan sisa reruntuhan. Sebab, tergerus aliran sungai. Bahkan, makam Mbah Sabil dan Mbah Katib Hasyim (Makam Menak Anggrung) sempat dipindah sebanyak 3 kali, untuk menghindari longsor bantaran sungai.
Meski tak menyisakan reruntuhan fisik, keramat Menak Anggrung masih ada hingga saat ini. Masyhur, wilayah lokasi pesantren Menak Anggrung yang berada di Kedung Pakuncen (Desa Kuncen bagian utara), tak bisa dihuni aristokrat dan birokrat jahat.
Kawasan ini dikenal Tanah Keramat, neraka bagi para birokrat jahat. Selain tak bisa dihuni birokrat jahat, juga tak bisa digunakan menggelar hiburan. Baik gong-gongan, wayangan, atau apapun yang berhubungan dengan hiburan.
Keberadaan Tanah Keramat sudah jadi konsensus para ulama di Padangan, dari zaman ke zaman. Terkait hikayat Tanah Keramat, semoga bisa saya tulis secara lebih mendalam di lain kesempatan. Agar tulisan ini lebih fokus dan tak melebar kemana-mana.
Mbah Sabil, Mbah Sambu, Mbah Jabbar
Menak Anggrung dikenal sebagai pusat pendidikan legendaris dan tempat berkumpul para ulama. Di tempat inilah, Mbah Sambu Lasem dan Mbah Jabbar Singgahan berkonsolidasi dengan Mbah Sabil Padangan dalam perjuangan melawan penjajah sekaligus syiar islam.
Pada abad 16-17, ada sejumlah punjer peradaban islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Diantaranya adalah Padangan Bojonegoro, Lasem Rembang, dan Singgahan Tuban. Ini sejurus dengan keberadaan tiga Waliyullah asal Kesultanan Pajang; Mbah Sabil, Mbah Sambu, dan Mbah Jabbar.

Ketiga ulama itulah, yang kelak jadi cikal bakal lahirnya para ulama pejuang dan penyebar islam di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mayoritas ulama besar abad 18, 19, dan 20 yang berdakwah di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, jika diurut ke atas, akan bersambung nasab pada ketiga ulama besar tersebut.
Selain sama-sama putra Kesultanan Pajang, Mbah Sambu Lasem dan Mbah Jabbar Jojogan adalah anak mantu dari Mbah Menak atau Mbah Sabil Padangan. Hubungan genealogis antara ketiga ulama tersebut, disebut secara jelas dalam Manuskrip Padangan karya Syekh Abdurrohman Klothok yang ditulis pada awal abad 19 (1800 M).
Manuskrip Padangan (hal.3) menyebut, Mbah Sabil memiliki empat orang anak. Dua anak lelaki dan dua anak perempuan. Di antaranya adalah; Kiai Syaban, Nyai Sambu, Nyai Moyokerti, dan Bagus Abdurrohim. Nyai Sambu adalah istri dari Mbah Sambu. Sementara Nyai Moyokerti adalah istri dari Mbah Jabbar.
Putra pertama Mbah Sabil bernama Kiai Syaban kelak menurunkan banyak ulama di Padangan dan sekitarnya. Putra keempat Mbah Sabil bernama Bagus Abdurrokhim kelak menurunkan banyak ulama di wilayah Kasiman. Putri kedua Mbah Sabil bernama Nyai Sambu ikut suaminya di Lasem Rembang. Sementara putri ketiga Mbah Sabil bernama Nyai Moyokerti ikut suaminya di Singahan Tuban.
Mbah Sambu dan Nyai Sambu bin Sabil kelak memiliki banyak keturunan di Lasem. Satu diantara yang terkenal adalah Kyai Yusuf, yang kemudian berputra Barda’i Azroi berputra Asy’ari berputra Sholeh Tirto Wijoyo berputra Abdullah berputra KH Mohammad Shiddiq Jember.
Mbah Jabbar dan Nyai Moyokerti dikaruniai 3 keturunan; Kiai Mursyid, Kiai Anom, dan Nyai Dalem. Kiai Anom memiliki beberapa putra, diantaranya Kiai Juraij, Kiai Ngaustad, Kiai Syahiddin, dan Nyai Dalem. Kiai Juraij berputra Istad berputra Syihabuddin. Sementara Kiai Syahiddin menurunkan beberapa anak, diantaranya adalah Kiai Abdurrohman Klothok dan Nyai Betet.
Adik kandung dari Abdurohman Klothok, yakni Nyai Betet, kelak dinikahkan dengan Kiai Syihabuddin. Pertautan genealogis kembali terjadi. Dari pernikahan antara Syihabuddin dan Nyai Betet, kelak melahirkan para aulia abad 19 yang berdakwah di Bojonegoro, Gresik, Tuban, Lamongan, hingga Nganjuk.
Mbah Sabil, Mbah Sambu, dan Mbah Jabbar masyhur ulama anti penjajah. Hubungan genealogis antar ketiga ulama tersebut, selain memperkuat daya persebaran islam dan perlawanan terhadap penjajahan, juga untuk menjaga silaturahim antar para dzuriyah Kesultanan Pajang, pasca dihantam badai perang saudara dan transisi rezim.
Tlatah Aulia Padangan
Seperti namanya, Padangan adalah ranah pepadang. Ruang cahaya. Tlatah aulia. Syekh Abdurrohman Klothok menyebut Padangan sebagai Fiidarinnur— di dalam Kota Cahaya. Ini terbukti dari banyaknya ulama yang selalu ada di Padangan, dari zaman ke zaman.
Dalam peta Belanda yang dibikin pada 1887, Tlatah Padangan dipenuhi dengan titik-titik bulan sabit. Oleh Belanda, simbol itu disebut sebagai Mohammedaansche Beegrafplatseen, pusat pengikut Muhammad Saw. dengan bukti adanya banyak pesanggrahan islam.
Simbol bulan sabit yang berada di Padangan ini, merupakan reruntuhan lokasi Menak Anggrung dan petilasan para aulia di Padangan. Peta ini dibuat pada akhir abad 19. Sementara Menak Anggrung aktif pada akhir abad 16 hingga 17.

Tak heran jika di dalam peta, yang tampak hanya sisa-sisa peradaban islam berupa pesanggrahan dengan simbol bulan sabit. Peta Padangan ini, sampai saat ini masih bisa diakses dan tersimpan rapi sebagai bagian dari Digital Collections of Leiden University Libraries.
Keberadaan peta buatan Belanda itu, menunjukan bahwa Padangan sebagai tlatah para aulia, bukan sekadar imajinasi folklore belaka. Ini bahkan bisa dibuktikan dengan adanya para alim alamah yang selalu hidup di Padangan, dari zaman ke zaman.
Diawali dari keberadaan Sayyid Jamaluddin Akbar atau Syekh Jumadil Kubro, lalu era Mbah Sabil dan Katib Hasyim (Menak Anggrung), Mbah Sambu, Mbah Jabbar, Mbah Nursalim Jimat Tebon, Mbah Abdurrohman Goco, Mbah Syaban Sabil, hingga Bagus Abdurrokhim Sabil.
Kemudian dilanjut era 4 santri kinasih Mbah Sabil yang bernama Mbah Kamaluddin, Mbah Abdurrohman Syaban, Mbah Moyomuddin, dan Mbah Jenuddin. Empat santri Mbah Sabil ini masyhur sebagai para aulia pemegang khodam binatang buas.
Lalu dilanjut zaman Kiai Syahiddin Oro-oro Bogo, Mbah Matsuni Tinggang, Syekh Abdurrohman Klothok, Syekh Syihabuddin Alfadangi, Syekh Munada Ali Husein, Syekh Syamsuddin Betet, Sayyid Abdurrohman Hasyim Basyaiban, Sayyid Abu Bakar Alaydrus dan Mbah Kiai Tanggono Pura (Malang Negoro).
Kemudian era Syekh Abdul Qodir Pethak, Syekh Ahmad Rowobayan, Syekh Abu Syukur Tinggang, Mbah Wali Suryadi Kuncen, Mbah Kiai Musa Rowobayan, Mbah Abdullah Syihabuddin Mbasangan, Mbah Murtadlo Kuncen (kakek KH Muslich Tanggir), hingga Raden Mukmin (ayah KH Zaenuddin Mojosari Nganjuk).
Disusul kemudian era KH Asnawi Padangan, KH Hasyim Jalakan, KH Muntaha (Mbah Ho), KH Ahmad Basyir Pethak, Kiai Zarkasyi Mbasangan (ayah KH Mustajab Gedongsari Nganjuk), Kiai Sanusi Mbarangan (kakek KH Ahmad Bisri Mbaru), KH Ibrahim Rowobayan, hingga KH Abdul Hadi Padangan.
Nama-nama disebut di atas, belum termasuk makam aulia yang belum teridentifikasi identitasnya, tapi sudah sering diziarahi. Makam dengan kategori ini, di Padangan, jumlahnya juga banyak hingga tak bisa dihitung jari. Ini alasan Padangan dijuluki Segorone Kiai.
Keberadaan Menak Anggrung dan para ulama waliyyun minauliyaillah dari zaman ke zaman, membuat Tlatah Padangan dijuluki kawah candradimuka para pesuluk cahaya. Sebuah tempat yang pernah dibicarakan Habib Luthfi bin Yahya, Syaikhina KH Maimun Zubair, hingga KH Abdurrohman Wahid.
Risalah manakib ini ditulis dalam rangka Haul datuk kami, Mbah Sabil dan Mbah Katib Hasyim (Menak Anggrung) Kuncen Padangan, pada Kamis 18 Agustus 2022 M/ 20 Muharram 1444 H.