Bukan hanya Gus Samsudin dan Pesulap Merah yang bisa unjuk kesaktian. Melainkan hukum juga terkandung kesaktian di dalamnya.
Publik pernah digegerkan fenomena terkait pemanggilan paksa seorang tersangka kasus pencabulan dan pemerkosaan terhadap santriwati di Pondok Pesantren Majma´al Bahrain Shiddiqiyah yang bernama Mochamad Subchi Azal Tsani (42) alias Mas Bechi.
Diketahui, Mas Bechi telah dipanggil polisi untuk pemeriksaan sejak tahun 2020 serta ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO). Dilansir dari berbagai sumber, karena Mas Bechi tidak bersifat kooperatif terkait perkara yang dihadapi, Polisi kemudian melakukan penjemputan paksa kepada Mas Bechi serta melakukan upaya untuk mendatangi Pondok Pesantren Majma´al Bahrain Shiddiqiyah selama 16 jam, sejak pukul 07.00 hingga 23.30 WIB.
Selain itu, Polisi menutup akses keluar masuk jalan pondok mulai dari Jembatan Ploso hingga traffic light Bawangan.
Lebih lanjut, juga beredar video bahwa orang tua Mas Bechi yang sekaligus pengasuh Ponpes Shiddiqiyyah, Desa Losari, Kecamatan Ploso, Jombang, yaitu KH Muhammad Mukhtar Mukthi didatangi oleh polisi untuk diajak bernegosiasi.
Salah satu pernyataan dari KH Muhammad Mukhtar Mukthi tersebut adalah bahwa permasalahan ini adalah “masalah keluarga” serta apa yang menimpa anaknya hanyalah fitnah. Lebih lanjut, KH Muhammad Mukhtar Mukthi juga berjanji akan menyerahkan anaknya sendiri kepada polisi.
Pada akhirnya, Mas Bechi menyerahkan diri kepada pihak Mapolda Jatim pada Kamis, 7 Juli 2022 malam hari, sekitar pukul 23.35 WIB. Kasus Mas Bechi ini mengingatkan kita pada “beberapa” orang yang terkenal memiliki “kesaktian” dan “kekebalan” terhadap hukum.
Salah satunya adalah Harun Masiku yang menjadi daftar buronan KPK sejak 29 Januari 2020 dan hingga tulisan ini ditulis belum diketahui di mana Harun Masiku berada, Nabs.
Adanya fenomena orang-orang yang “sakti” terhadap hukum tersebut menjadi fokus tulisan ini ditinjau dari aspek sosiologi hukum. Tulisan ini adalah murni hasil analisis dan tidak ada niat merendahkan pihak tertentu apalagi adanya upaya untuk merendahkan lembaga keagamaan atau pun tokoh agama tertentu.
Kesaktian Hukum, Quod Non?
Kesaktian hukum menjadi tajuk utama dari tulisan ini sejatinya merupakan kedudukan hukum dalam kehidupan bermasyarakat yang dianggap lebih “supreme” dibandingkan dengan subsistem sosial-kemasyarakatan lainnya.
Hukum dianggap menjadi aspek tertinggi dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan tak terkecuali dalam kehidupan bernegara. Dalam bernegara, jargon “hukum adalah panglima” kian mengemuka bahkan ketika pada era orde baru jargon ini menjadi “lip-service” yang selalu didengungkan oleh para pejabat negara saat itu.
Hukum sebagai panglima sejatinya adalah hal yang positif selama hukum dimaknai sebagai “nilai” yang dicita-citakan oleh masyarakat. Hal yang menjadi problem adalah ketika hukum diidentikkan sebagai “aturan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan”.
Ketika hukum hanya dipersepsikan sebagai “aturan yang dibuat oleh penguasa” maka hukum telah tereduksi dari sesuatu yang memiliki nilai menjadi “kering” dan cenderung menindas.
Stigmatisasi terhadap hukum bukan hanya menegaskan hukum identik dengan “hukum positif berupa aturan-aturan tertulis”, tetapi juga identik dengan “segala tingkah laku aparat penegak hukum”. Bagi masyarakat awam, setiap tindakan aparat hukum baik jaksa, polisi, hingga hakim merupakan hukum itu sendiri.
Yang menjadi pertanyaan, “Apakah salah mengidentikkan hukum hanya sebagai aturan dan tindakan aparat penegak hukum?”. Tentu, terkait dengan pertanyaan tersebut perlu dipahami bahwa sejatinya hukum “tidak hanya berkaitan dengan aturan dan tindakan aparat” Paul Scholten dalam karyanya yang berjudul “Mr.C.Asser’s Handleiding tot de Studie van het Nederlandsch Burgerlijk Recht: Algemeen Deel” memberikan penegasan tentang perlunya pembedaan antara penemuan hukum (rechtsvinding), penciptaan hukum (rechtsschepping), dan penerapan hukum (rechtstoepassing).
Nabs, perbedaan ini penting untuk melihat pada dimensi pemahaman dan pelaksanaan hukum yang sejatinya memiliki orientasi yang berbeda. Rechtsvinding atau penemuan hukum merupakan kegiatan hukum yang dilakukan oleh aparat hukum khususnya dengan didukung atau didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum yang dilakukan oleh jusrist (para ahli hukum).
Dalam hal ini, rechtsvinding menekankan pada “kualitas keahlian hukum seorang jusrist” dalam penerapannya. Dalam kaitannya dengan tiga cabang kekuasaan negara, rechtsvinding dominan dilakukan oleh lembaga yudisial khususnya berkaitan dengan putusan hukum konkret dalam menghadapi masalah tertentu.
Rechtsvinding tidak hanya melihat hukum hanya sebagai “aturan tertulis” apalagi hanya sebagai “tindakan aparat” saja, hukum dalam konteks ini dimaknai sebagai moral-praksis yang berwujud norma dengan tujuan untuk menjaga eksistensi kemanusiaan.
Hal ini berimplikasi pada penggunaan asas-asas hukum, teori, konsep hukum, serta aspek-aspek non-hukum yang dapat dijadikan pertimbangan dalam penemuan hukum.
Rechtsschepping atau penciptaan hukum harus dipandang dengan karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan penemuan hukum (rechtsvinding). Dalam penciptaan hukum, perlu adanya otoritas resmi atau pihak yang berwenang dalam suatu penciptaan hukum.
Otoritas resmi atau pihak yang berwenang dapat berbentuk formal yang dalam institusi kenegaraan adalah lembaga legislatif, namun dapat juga berbentuk non-kenegaraan seperti masyarakat hukum adat, institusi tradisional, maupun berbagai variasi institusi non-negara lainnya.
Dalam rechtsschepping atau penciptaan hukum, titik tekannya bukan hukum sebagai “moral-praksis” tetapi hukum sebagai aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang harus digali bahkan diganti jika memang tidak sesuai dengan riak perkembangan zaman.
Dalam hal ini lah, maka rechtsschepping tidak memerlukan dominasi keahlian hukum secara khusus yang dilakukan oleh seorang jurist, tetapi memerlukan peran dari pihak yang secara “representatif” dan “substantif” dapat menciptakan maupun mengevaluasi hukum dalam dimensi aturan.
Selanjutnya adalah rechtstoepassing atau ranah penerapan hukum. Dalam ranah ini, hukum memang dimaknai sempit sebagai “hukum positif” atau hukum yang dibuat oleh institusi kenegaraan. Dalam penerapan hukum, yang terpenting bukanlah hakikat hukum yang berdimensi normatif dan sarat nilai, tetapi lebih kepada “penerapan aturan tertulis” secara latterlijk sebagaimana apa yang telah ditegaskan dalam aturan tersebut.
Hal yang terpenting dalam penerapan hukum adalah kewenangan serta batasan-batasan tertentu seperti Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) maupun Hak Asasi Manusia (HAM). Aspek rechtstoepassing atau ranah penerapan hukum menjadi menarik karena tidak hanya berbicara hukum dengan karakter normatif, hukum dalam hal ini lebih menekankan dimensi “sosiologis” karena harus berkaitan dengan objek penerapan hukum yaitu manusia dan masyarakatnya.
Dalam rechtstoepassing atau ranah penerapan hukum ini lah “tarik-menarik” antara hukum dan realitas sosial menjadi hal yang tidak dapat dihindari.
Dalam konteks tulisan ini, kasus Mas Bechi merupakan kasus yang berkaitan dengan penerapan hukum atau rechtstoepassing yang mana dimensi “sosiologis” menjadi dimensi yang dominan dalam penerapan hukum.
Relasi antara hukum dan aspek sosial menjadi hal terpenting dalam penerapan hukum dan hal ini menjadi hal yang relevan untuk menguji eksistensi dan “kesaktian” hukum itu sendiri.
Kesaktian suatu hukum akan mendapatkan ujian ketika hukum “bercengkerama” dengan masyarakatnya. Hukum selama ini dipahami sakti dalam tataran normatif atau dalam aspek rechtsvinding atau penemuan hukum, tetapi ketika memasuk ranah penerapan hukum, maka kesaktian hukum harus berhadapan dengan realitas masyarakat.
Hal ini dapat dicontohkan misalnya dalam asas hukum yaitu equality before the law yang bermakna bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Tentu, asas hukum ini secara moral dan hukum bagus, namun bagaimana dengan penerapannya?
Apakah dengan mengatakan semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum maka hukum sudah dapat memberikan perlindungan yang sama bagi warga negara?
Achmad Ali pernah memberikan semacam “sinisme” atas asas equality before the law ini dengan menegaskan bahwa, “Semua orang memang sama di hadapan hukum, tetapi siapa dulu bapaknya?”.
Pernyataan “siapa dulu bapaknya?” menjadi kata kunci dalam hal ini karena sekalipun hukum diharapkan diterapkan secara sama bagi setiap warga negara nyatanya akses warga negara terhadap hukum tentu berbeda-beda sesuai kapasitasnya.
Hal ini misalnya akses hukum yang dimiliki oleh seorang petani tentu berbeda dengan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), bahkan seorang dengan ekonomi menengah ke bawah, tentu berbeda akses hukumnya dengan seorang dengan tingkat ekonomi menengah ke atas.
Hal ini dipertegas oleh pernyataan Marc Galanter yang menyatakan bahwa hukum selalu berpihak kepada mereka yang berpunya (the haves) dibandingkan kepada mereka yang miskin (the poor).
Pernyataan Marc Galanter tersebut sejatinya berkaitan dengan ketidakoptimalan asas equality before the law. Asas equality before the law harus dikonstruksi ulang sehingga bukan “setiap orang sama di hadapan hukum”, tetapi “hukum harus dapat diakses oleh semua warga negara”.
Menyatakan “setiap orang sama di hadapan hukum” adalah suatu kemustahilan karena secara alamiah setiap orang atau warga negara memiliki akses yang berbeda terhadap hukum.
Dalam hal ini, seharusnya bukan orang atau warga negara yang menjadi subjek, tetapi hukumlah yang menjadi subjek dalam upaya memberikan akses yang sama kepada setiap warga negara.
Dengan demikian, pernyataan Marc Galanter dianggap benar selama masih ada “ketimpangan akses” yang membuat setiap warga negara tidak optimal dalam mendapatkan pelayanan hukum.
Lebih lanjut, dalam pandangan Robert B. Seidman dan William J. Chambliss (Martitah, 2016: 191-193) bahwa bekerjanya hukum tidak akan terlepas dari pengaruh realitas dan kekuatan-kekuatan sosial dan personal masyarakat.
Realitas dan kekuatan-kekuatan sosial dan personal masyarakat yang berpengaruh tersebut meliputi aspek: ekonomi, sosial, religi, budaya, serta politik yang kesemua faktor tersebut dapat berpengaruh terhadap bekerjanya hukum.
Selain aspek bekerjanya hukum, aspek-aspek tersebut juga dapat berpengaruh dalam menentukan suatu “karakter hukum” yang hidup di masyarakat.
Mengacu pada kasus Mas Bechi tampak jelas bahwa aspek sosial, religi, serta budaya berpengaruh besar dalam penerapan dan penegakan hukum. Sebagai anak seorang “kiai besar” di daerahnya, Mas Bechi mendapatkan konstruksi sosial sebagai “orang yang terpandang” sehingga dapat menimbulkan kesan bahwa “anak kiai besar tidak mungkin melakukan hal keji” dan berbagai stigma lainnya.
Nabs, dari aspek religi, Mas Bechi juga selalu mendasarkan apa yang dilakukannya denga dalih “atas dasar ilmu tertentu” yang belakangan dikenal sebagai ilmu metafakta. Hal ini sejatinya merupakan upaya “legitimasi” dari Mas Bechi supaya dapat melakukan apa yang dikehendakinya tanpa dicurigai pihak lain.
Dari aspek budaya, Mas Bechi hidup di lingkungan masyarakat dengan budaya pesantren yang kuat. Budaya tersebut memang di satu sisi memiliki aspek positif, namun di sisi yang lain juga memiliki aspek negatif seperti adanya “persepsi” bahwa “tidak baik memprotes dan melaporkan kiai beserta keluarganya”.
Hal ini lah yang diakui maupun tidak berpengaruh terhadap penerapan dan penegakan hukum terkait kasus Mas Bechi.
Meski pun harus diakui peran Kapolres dan jajaran kepolisian setempat yang dengan berbagai upaya (termasuk negosiasi) untuk memproses kasus ini, namun semoga saja profesionalitas dan langkah humanis serta santun dari pihak kepolisian juga ditunjukkan ketika menghadapi kasus-kasus lain yang dialami oleh mereka yang merupakan masyarakat akar rumput.
Jangan sampai, hanya karena kasus Mas Bechi yang merupakan anak kiai kemudian jajaran kepolisian melakukan upaya humanis dan santun, tetapi jika dengan masyarakat akar rumput bersifat represif dan sesuka hatinya sendiri.
Hal ini yang tidak kita harapkan bersama. Semoga, komitmen jajaran kepolisian tetap menjadi yang utama supaya kepolisian dapat mengimplementasikan jargon “presisi” yang selalu dijadikan moto dan pedoman dalam menegakkan hukum.
Berdasarkan uraian di atas, aspek penerapan hukum atau rechtstoepassing memang menekankan pentingnya aspek non-hukum dalam hal ini adalah realitas sosial dalam bekerjanya hukum. Kesaktian hukum sejatinya diuji ketika dia diterapkan dalam realitas sosial di masyarakat. Tetapi yang masih menjadi pertanyaan, “Apakah iya hukum itu memang sakti?”.
Membangun Sistem yang Sakti
Kesaktian hukum yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini sejatinya menimbulkan suatu antinomi ketika dikaitkan dengan istilah “orang yang sakti terhadap hukum”. Di satu sisi “hukum itu sendiri yang sakti” tapi di sisi lain “terdapat orang yang sakti terhadap hukum”.
Pertanyaan selanjutnya, “Yang sakti itu hukumnya atau orangnya?”. Terhadap pertanyaan tersebut penulis terlebih dahulu menjelaskan bahwa “hukum itu sakti” ketika berada dalam tataran normatif.
Dalam tataran normatif, kesaktian hukum dapat dilihat ketika hukum dimanifestasikan dengan sifat “sarat nilai” dan merupakan konkretisasi dari moral. Kesaktian hukum dalam tataran normatif ini lah yang menegaskan bahwa hukum itu memang “supreme”.
Akan tetapi, kesaktian hukum secara normatif tersebut dapat saja berubah ketika berbicara penerapan hukum atau bekerjanya hukum di masyarakat (law in society). Dalam penerapan hukum, kesaktian hukum hanyalah “fatamorgana” karena yang lebih sakti adalah kekuatan sosial-personal yang berpengaruh terhadap hukum.
Hal ini yang kemudian menimbulkan kesimpulan sederhana bahwa jika dalam tataran normatif hukum memang sakti namun lain hal nya ketika hukum diimplementasikan di dalam realitas sosial-kemasyarakatan, “kesaktian hukum” dapat bergeser menjadi “kesaktian orang dan/atau pihak tertentu” yang memiliki kekuatan sosial-personal untuk dapat “mengelabuhi hukum”.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa, kesaktian hukum hanya lah dalam tataran normatif, sedangkan dalam tataran realitas praktis, kesaktian hukum tereduksi oleh kekuatan sosial-personal yang bahkan dapat mengarahkan pada “kesaktian orang atau pihak tertentu” terhadap hukum.
Fenomena kesaktian hukum pada tataran normatif namun berbanding terbalik dengan realitas praktis bahwa hukum tidak lagi sakti sejatinya menimbulkan dualitas kesaktian dalam hukum. Di satu sisi “hukum memang sakti” namun di sisi yang lain kesaktian hukum dikalahkan oleh “kesaktian orang atau pihak tertentu” yang memiliki kekuatan sosial-personal.
Pertanyaan selanjutnya, “Lalu siapa yang sejatinya harus sakti?”. Dalam pertanyaan tersebut, sejatinya yang harus sakti adalah “sistem yang sakti” yang dapat membangun hukum baik dalam tataran normatif maupun implementasinya secara konsisten.
Sistem yang sakti berupaya menempatkan normativitas hukum sejalan dan linier dengan penerapan hukum. Hal ini sejatinya sejalan dengan pandangan dari D.H.M. Mauwissen bahwa sejatinya antara pengembanan hukum praktis dan teoretis adalah satu kesatuan yang tidak dapat dispisahkan.
Sistem yang sakti menuntut pemahaman mendalam akan hukum normatif sekaligus pemahaman akan realitas sosial di masyarakat. Hal ini supaya nilai-nilai hukum dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat.
Dengan demikian, daripada memperdebatkan apakah hukum itu sakti atau tidak lebih baik berbicara mengenai upaya untuk membentuk “sistem yang sakti” yang berorientasi pada pendalaman pemahaman atas hukum normatif disertai pemahaman kondisi sosial-kemasyarakatan yang bertujuan melaksanakan dan menjaga konsistensi nilai-nilai hukum normatif dalam pelaksanaannya di masyarakat.